Rabu, 31 Maret 2010

PANCA SILA dan SEPEDA ROMO

Seorang romo pandita menelepon sahabatnya, seorang romo pandita juga, yang bertugas di vihara lain.
"Hallo romo, Namo Buddhaya!"
"Ya hallo. Namo Buddhaya! Apa kabar romo?"
"Kabar kurang baik nih. Sepeda saya hilang."
"Lho, hilang di mana?"
"Kayaknya di vihara deh. Minggu lalu waktu saya ceramah tentang Panatipatta."
"Ooo, kayaknya engga mungkin deh. Umat di vihara kan baik-baik semua, masak hilang di halaman vihara? Tapi coba deh, minggu depan kan romo ceramah lagi? Coba ceramah tentang Adinadana. Umat diberitahu, supaya tidak mengambil yang bukan miliknya, gitu lho. Mudah-mudahan sepeda romo dikembalikan."

Bulan berikutnya kedua romo pandita bertemu.
"Gimana sepedanya? Sudah dikembalikan?"
"Ternyata bukan dicuri. Sudah ketemu kok. Waktu minggu ketiga saya ceramah tentang Kamesu-micchacara, eh, tiba-tiba saya teringat deh di tempat mana saya parkir sepeda itu. Ehm...."




Nah lho! Sila ke tiga?
Romo.... romo.... aduh!



Catatan:
1. Cerita ini fiktif. Segala kesamaan atau kemiripan tidak ada unsur kesengajaan.
2. Penulis hanya bertanggung jawab atas apa yang tertulis.
3. Apabila pembaca mengambil kesimpulan/asumsi berdasarkan imajinasi/khayalan atau asosiasi/menjurus maka hal itu terjadi di dalam pikiran pembaca sendiri dan pembaca yang harus bertanggung jawab.
4. Apabila "sepeda" dianggap tidak logis, silakan ganti dengan "sepeda motor", atau "kacamata", atau "handphone", atau apa saja. Silakan....


PANCASILA
Panatipata Veramani Sikkhapadam Samadiyami
Adinnandana Veramani Sikkapadam Samadiyai
Kamesu Micchacara Veramani Sikhapadam Samadiyami
Musavada Veramani Sikhapadam Samadiyami
Surameraya Majjapamadatthana Veramani Sikkhapdam Samadiyami


Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan mahluk hidup
Aku bertekad akan melatih diri menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan
Aku bertekad akan melatih diri menghindari perbuatan asusila
Aku bertekad akan melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar
Aku bertekad akan melatih diri menghindari segala minuman keras atau zat zat yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran

Selasa, 30 Maret 2010

Tumimbal Lahir

Tiga orang sahabat sedang asyik berhayal, kelak setelah mati mereka akan bagaimana nasibnya.

Yang Katolik berkata : "Saya akan masuk surga bersama para malaikat untuk bernyanyi memuji Bapa".

Yang Muslim berkata : "Saya akan masuk surga yang penuh dengan para bidadari yang cantik-molek."


Yang Buddhis bermeditasi. Selesai meditasi ia termenung sebentar, kemudian menjawab dengan suara pelan dan tertahan :
"Saya akan tumimbal lahir lagi ...."

Tiba-tiba matanya bersinar seakan telah menemukan suatu solusi.
Lalu ia buru-buru menambahkan dengan mantap:
"... tapi lahirnya sebagai seorang Muslim aja ah!"

Ha ha ha ... Dunia! Dunia!

Repost dari "Senyum sejenak - Kamis", 23 Juli 2009

Minggu, 28 Maret 2010

Payung Cinta Kasih

Seorang wanita, umat Buddha dari Amerika ingin belajar meditasi di Myanmar. Bersama seorang temannya yang juga wanita, mereka sedang berjalan-jalan ketika tiba-tiba diganggu oleh seorang pemabuk. Untunglah mereka berhasil meloloskan diri dan kembali ke vihara.

Kedua wanita itu sangat takut dan terkejut, apalagi mereka berada di negara asing dan belum kenal budayanya. Mereka ingin belajar Agama Buddha yang penuh cintakasih, dan tahu-tahu ada insiden yang menakutkan. Sambil tetap masih ketakutan mereka melaporkan hal itu kepada pimpinan vihara. Guru meditasi yang menjadi pimpinan vihara menerima mereka dengan ramah-tamah.

Wanita itu dengan suara yang sangat sopan bertanya, apa yang seharusnya ia lakukan dalam keadaan seperti itu sebagai seorang umat Buddha yang baik.



Dengan suara berat, penuh wibawa dan penuh ketenangan, Guru Meditasi menjawab :

"Dengan penuh kesadaran, dan dengan penuh cintakasih, HANTAM AJA KEPALANYA pakai payung!"




Repost dari "Senyum sejenak - Senin", 19 Juli 2009

Kamis, 25 Maret 2010

Makan kue dan minum teh

Seorang bhikshu Jepang sangat pandai dalam menghafal Sutra Teratai (Saddharmapundarika-sutra /Myohorengekyo /Miauw Fa Lien Fa Cing).

Suatu hari dalam perjalanan ia merasa sangat lapar dan haus. Tapi Jepang adalah negara yang sangat komersial, tak ada yang gratis! Padahal ia tak punya uang.

Ia pun berkata kepada nenek penjual kue dan teh di pinggir jalan :
"Nenek, kalau kamu bagi saya kue dan teh, saya akan membagi kamu pengetahuan mengenai Sutra Teratai yang luar biasa ini."

Nenek itu menjawab : "Oh, rupanya bhikshu ahli sutra. Tolong terangkan kepada saya, kalau bhikshu makan kue dan minum teh, pakai batin yang mana? Batin yang dahulu, batin yang sekarang atau batin yang akan datang?"

Bhikshu itu mengernyitkan dahi. Ia coba mengingat-ingat tapi rasa-rasanya dalam Sutra Teratai tidak ada penjelasan mengenai hal itu. Ia pun duduk dan membuka Sutra Teratai dari bungkusan berat yang selalu digendongnya.

Sampai sore hari ia membaca Sutra Teratai, namun tetap tidak berhasil mendapatkan jawabannya. Hari sudah semakin sore dan nenek itu mulai mengemasi dagangannya.

"Kamu memang bhikshu yang pandai membaca Kitab!", kata si nenek.
"tapi, makan kue dan minum teh mah tetap aja mesti pakai mulut, atuh, bukan pakai batin."

Wkwkwkwkwk....!

Repost dari "Senyum sejenak - Jumat", 24 Juli 2009

Rabu, 10 Maret 2010

Not Far From BUDDHAHOOD

For ENGLISH please CLICK HERE.

Gasan Jōseki (峨山 韶碩 1275–23 November 1366) was a Japanese Soto Zen master. He was a disciple of Keizan Jokin, and his disciples included Bassui Tokushō, Taigen Sōshin, Tsūgen Jakurei, Mutan Sokan, Daisetsu Sōrei, and Jippō Ryōshū.

Seorang mahasiswa mengunjungi Gasan dan bertanya: "Pernahkah Anda membaca Kitab Injil?"

"Belum pernah. Coba bacakan," kata Gasan.

Mahasiswa itu membuka kitabnya dan membaca Injil Matius 6:34 : "Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri."

Gasan berkata: "Siapa pun yang mengatakan kalimat itu, aku anggap sudah tercerahkan."

Mahasiswa itu melanjutkan Matius 7:7~8: "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat, dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan."
Gasan menukas: "Sungguh luar biasa! Siapa pun juga yang mengatakannya, tidak jauh dari kebuddhaan."

Minggu, 07 Maret 2010

How to Hang Out at the Dalai Lama's Brother's Place

By Susan Eberman for HUNDRED MOUNTAIN

TWO BROTHERS LITERALLY LIVE a world apart. His Holiness the Fourteenth Dalai Lama is in exile in India while his eldest brother, Thubten Jigme Norbu, is a 79-year-old retired Indiana University professor who resides in rural south-central Indiana. His home is located on 90 wooden acres in Bloomington, Indiana, an hour's drive south from Indianapolis. This picturesque pastoral setting, which also houses The Tibetan Cultural Center and the Jangchub Chorten, is a great destination for people interested in Buddhism to experience a relaxing getaway.

The Tibetan Cultural Center, dedicated to teaching the general public the history, culture, and values of Tibet, as well as to support Tibetans worldwide. The center is home to a full program of workshops, teachings, seminars, initiations, retreats, and ceremonies relating to Tibetan religious practices. People of all different backgrounds are encouraged to participate in an atmosphere designed to promote love, peace, and compassion amidst spectacular natural beauty.

The building is open regularly on Sunday afternoons. Meditations are held every Sunday at 1 p.m. followed by informal discussions on selected readings. Visitors can view a permanent sand mandala of the Medicine Buddha as well as many other works of art on display. Persons wishing to visit it at other times should contact the center. Every effort is made to accommodate visitors at other times.

The grounds are open to the public from 12 to 4 p.m. daily, weather permitting. A self-guided tour map may be picked up from the mailbox across from the flagpole.

OF SPECIAL INTEREST IS THE 35-foot-high Jangchub Chorten, a monument to Tibetans killed in political and religious repression. Inside the chorten are hair clippings from 13 of the 14 Dalai Lamas of Tibet (only hair from the first one is missing), hundreds of Buddhist scriptures and other writings, and thousands of small figurines. Guns and knives are also enclosed to encourage peace by what is best known in the 21st century as "burying the hatchet." Jangchub Chorten received international attention when the Dalai Lama consecrated it in 1987. And do note -- when observing a chorten or other sacred object, it is important to show respect by walking around with the right arm facing toward it, which is clockwise.
Renting a cabin would be an ideal retreat for a person wanting solitude in order to engage in a creative project such as art or writing or to pursue meditation. The center is also a convenient place to stay while enjoying other area attractions. It is a 15-minute drive from Indiana’s largest inland body of water, Lake Monroe. Nearby Indiana University offers a full program of cultural and sporting events. Nashville, a small community known for its artists’ galleries and eclectic boutiques, is a 30-minute drive.

For more information about the Tibetan Cultural Center, check their website at www.tibetancc.com or call (812) 334-7046. Details about attractions and activities in the Bloomington area are available from the Monroe County Convention & Visitors Bureau at www.visitbloomington.com or (800) 800-0037.

SUSAN EBERMAN is a travel writer who lives in Bedford, Indiana.

Sabtu, 06 Maret 2010

PENCURI DAN PENDETA - (Indonesian/English notes)

Ada seorang pendeta yang sangat populer. Karena sifatnya yang baik dan kepandaiannya membawakan kotbah, gerejanya selalu ramai.

Namun di antara jemaatnya, ada seorang pencuri. Ia selalu berusaha mencuri setiap mengikuti kebaktian. Sudah sering ia tertangkap basah. Namun pendeta selalu meminta agar jemaatnya sudi memaafkan, lalu pendeta itu memberi nasehat kepada pencuri tersebut.

Karena kejadian ini terlalu sering berulang, akhirnya para jemaat merasa kesal. Salah seorang pimpinan umat menghadap pendeta dan memberi ultimatum: Pencuri itu harus dikeluarkan dari gereja, atau seluruh umat akan meninggalkan gereja.

Dengan tenang pendeta itu berkata :
"Kalau begitu, semua umat silakan meninggalkan gereja ini."

Para jemaat bingung melongo.
Akhirnya pendeta menjelaskan kepada para umat yang terkejut:
"Kalian semua menyadari bahwa mencuri adalah perbuatan yang tidak baik. Namun orang ini tidak menyadarinya. Kalau saya tidak mengejari dia, siapa lagi yang akan mengajarinya? Orang ini lebih membutuhkan bimbingan saya dan kasih sayang saya dibandingkan kalian. Kalaupun saya harus kehilangan Anda semua supaya ia bisa selamat, maka biarlah hal itu terjadi."

Pencuri itu sangat tersentuh dan menangis.
Sejak saat itu ia bertobat dan tidak mencuri lagi.


There was once a very popular priest. Due to his virtue & his skillful delivering of sermons, his church was always full.

There happened to be a thief among his congregation. This guy would steal every once in while a during service. Everytime he was caught, the priest would counsel him & then ask the congregation to forgive him.

This went on for a while until the congregation got sick of this thief. On one particular day, a church leader, representing the congregation, issued an ultimatum to the priest. Either he expels the thief or the entire congregation would leave.

The priest answered, "Then all of you, please leave". He then explained to the shocked crowd, "All of you know that stealing is wrong, but he doesn't. If I don't teach him, who will? This man needs my guidance and my love more than any one of you. If I have to lose all of you to keep him, let this be the case".

The thief was so touched by this that he started to cry. From that day on, he never stole again.

Jumat, 05 Maret 2010

DI MANA BATAS KESABARAN

Oleh Sonny Wibisono
Dikutip dari wanita-muslimah@yahoogroups.com

"Walaupun seseorang dapat mengalahkan ribuan musuh dalam pertempuran, tapi sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat mengalahkan dirinya sendiri." (Buddha)


SEMINGGU yang lalu saya bertemu dengan seorang teman. Dalam pertemuan sore hari di sebuah kedai kopi di bilangan Jakarta Selatan, ia menumpahkan unek-uneknya. Artikel yang dia kirimkan ke sejumlah media, tak jua muncul.

Padahal, seperti diuraikan olehnya, ia sudah mengirimkan artikel tersebut ke tujuh media cetak. Hasilnya sama, artikelnya tidak dimuat. Ah, ini pengalaman saya beberapa tahun silam. Saya katakan kepadanya, bahwa sekitar tahun 2000-an, artikel pertama saya yang saya buat ditolak oleh lebih dari 8 media cetak. Setelah dilakukan perbaikan di sana-sini, artikel tersebut akhirnya muncul juga di satu media cetak. Saya mencoba untuk memberinya semangat. Saya katakan padanya artikel tersebut perlu diperbaiki. Dengan memasukkan isu hangat agar up to date. Dia telah melakukan itu semua. Dengan setengah frustrasi, dia berujar bahwa kesabaran ada batasnya. Dia menggugat, "mau sampai kapan artikel tersebut harus dikirim?"

Sang teman nampaknya telah lelah.

Tapi, kisah tentang John Grisham bolehlah disimak. Grisham adalah penulis novel terlaris era 1990-an. Novel pertamanya yang berjudul "A Time To Kill", ditulis pada 1984 dan selesai 3 tahun kemudian. Saat ia menulis novel tersebut, Grisham masih menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Mississippi. Dia berprofesi pula sebagai pengacara.
Tahun 1990, ia melepaskan jabatannya sebagai anggota dewan. Nama besar sebagai anggota dewan dan pengacara ternyata tak menjamin bahwa novel pertamanya diminati oleh penerbit.


Coba tebak, sampai berapa kali novel pertamanya harus ditawarkan ke penerbit? Tak kurang dari 16 agen dan lebih dari 30 penerbitan menolak novel pertama Grisham.

Novelnya tersebut akhirnya dibeli juga oleh satu penerbit, Wynwood Press. Dicetak sebanyak 5 ribu eksemplar dan terbit bulan Juni 1988. Novel ini disambut adem ayem oleh para pembaca di negeri Paman Sam. Walau Grisham sendiri telah membeli 1000 kopi untuk ia jual sendiri dengan berkeliling ke daerah Selatan Amerika, tapi novel pertama Grisham di pasaran dapat dikatakan tidaklah sukses.

Menyerahkah Grisham menulis novel?
TIDAK. Ia kemudian melanjutkan menulis novel keduanya, `The Firm'. Grisham tetap konsisten dengan aturan yang ia buat sendiri. Setiap pagi dirinya harus bangun jam lima pagi dan menyempatkan untuk menulis selama satu jam. Setelah selesai dengan novel keduanya ini, ia kembali menawarkan pada penerbit yang sama. Tetapi Grisham kaget bukan kepalang, karena novelnya dibeli seharga 600 ribu US dolar, bukan oleh penerbitnya, tapi oleh Paramount Pictures.
Pihak Paramount Pictures yakin bahwa film yang diangkat dari novel `The Firm' akan sukses bila dibintangi oleh pemain sekaliber Tom Cruise. Tentu saja perjanjian yang melibatkan uang dalam jumlah besar membuat banyak pihak dan para penerbit yang tadinya menolak karya Grisham mau tak mau menoleh kembali. Begitulah kisah Grisham di awal ketika ia pertama kali menulis novel.

Balik kembali ke pertanyaan: di mana batas kesabaran sesungguhnya?

Saya ingin bertanya, bila Anda ingin menegaskan kembali pernyataan Anda kepada lawan bicara Anda, berapa kali Anda perlu mengulang. Dua kali? tiga kali? atau lima kali? Saya menduga, bila Anda mengulang hingga lima kali, Anda akan merasa jengkel dibuatnya.

Sabar merupakan kata yang berulang kali disampaikan oleh Allah SWT di dalam al-Qur'an. Dia menyinggung masalah kesabaran ini di sekitar tujuh puluh tempat. Hal ini untuk menegaskan betapa pentingnya arti kesabaran bagi manusia.
Situs Sabda Alkitab menyebutkan bahwa dalam Injil setidaknya terdapat 51 ayat yang berkaitan dengan sabar.
Sedangkan Toni Yoyo dalam artikelnya, "Sabar? Yes!" menjelaskan bahwa dalam Dhammapada bait 184, Buddha mengatakan, "Kesabaran adalah praktek bertapa atau pengendalian diri yang terbaik. Nibbana (Nirwana) adalah yang tertinggi. Begitulah sabda Para Buddha. Dia yang masih menyakiti dan menganiaya orang lain sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana)."
Dalam Agama Hindu, sikap sabar dijabarkan begitu luhurnya dalam ajaran Panca Yama Brata. Sikap sabar menjadi landasan spiritual di dalam memandang masalah yang dihadapi. Orang yang sabar lebih banyak mendapatkan berkah dari yang tidak sabar. Demikian dijelaskan dalam artikel 'Melatih Diri Menjadi Lebih Sabar' yang ditulis oleh Putu Sumardhaya.

Itulah mengapa dalam setiap agama, diajarkan bahwa sabar merupakan kata kunci dalam menjalani hidup ini. Jelaslah, bahwa sesungguhnya tak ada istilah, "sabar itu ada batasnya" atau "kesabaran saya sudah habis!".

Orang yang tabah dalam menghadapi segala kesulitan akan dianugerahi kesabaran yang sempurna. Semoga saja.(180110)


*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media Komputindo, 2009

Kamis, 04 Maret 2010

BE HAPPY

by H.E. Situ Rinpoche

Semua persoalan hanya sementara dan relatif.



Rabu, 03 Maret 2010

BOUNDLESS

I am boundless space.
The world is a clay pot.

This is the truth.

There is nothing to accept,
Nothing to reject,
Nothing to dissolve.

(Ashtavakra Gita 6:1)


From http://www.myspace.com/gurusogyalrinpoche