Kamis, 31 Desember 2009

HAPPY NEW YEAR 2010!

Selamat Tahun Baru dalam gegap gempita Gondang Batak tradisonal.
Horas! Horas! Horas!

Rabu, 30 Desember 2009

ビルマの竪琴 ~ Biruma no tategoto



The Burmese Harp

For ENGLISH please see THE BURMESE HARP

Dengan latar belakang berakhirnya Perang Dunia II, film ini menggambarkan kisah sekelompok tentara Jepang yang letih dan jemu berperang. Mereka bersiap untuk kembali ke Jepang seusai perang. Tokoh utama, Shoji Yasui yang mahir bermain harpa, disangka mati saat markas mereka hancur diserbu. Shoji mencuri seperangkat jubah bhikkhu dan mengembara mencari kawan-kawannya. Namun sepanjang jalan ia terpana menyaksikan ratusan korban perang dan secara tanpa sadar berangsur mulai berkelakuan mirip sebagai seorang bhikkhu yang sebenarnya.


Akankah teman-temannya berhasil mengajak Shoji kembali ke Jepang?

Sutradasa Kon Ichikawa membuat film ini berdasarkan buku yang ditulis oleh Michio Takeyama, yang mulanya dimaksudkan untuk memperkenalkan kanak-kanak kepada prinsip-prinsip ajaran Buddha.


Dibuat tahun 1956, film ini berhasil mendapat nominasi Oscar sebagai Academy Award for Best Foreign Language Film pada tahun 1957.

Tahun 1985, Ichikawa membuat kembali film ini dalam tata-warna dan dengan aktor yang berbeda.

Aktor asli (1956):
Rentaro Mikuni, Shoji Yasui (sebagai Mizushima), Jun Hamamura, Taketoshi Naito, dan Kō Nishimura.



Penghargaan dan nominasi:
* 1957 Academy awards - best foreign film - nominated - Masayuki Takagi
* 1957 Mainichi Film Awards - best film score - won - Akira Ifukube
* Venice film festival - OCIC Award - Honorable Mention - Kon Ichikawa
* Venice film festival - San Giorgio Prize - Kon Ichikawa
* Venice film festival -Golden Lion - Nominated - Kon Ichikawa

Trailer yang sangat indah :

Selasa, 29 Desember 2009

Finding happiness is mostly a matter of perspective

Aku ingat suatu sore, aku duduk di tangga vihara kami di Nepal.

For ENGLISH please read A Way of Being

Musim hujan mengubah halaman menjadi lapangan yang becek, dan kami harus menaruh beberapa potong bata untuk menjadi pijakan.

Seorang temanku tiba, melihat ke sekeliling dengan pandangan tidak senang, dan mengeluh setiap kakinya menjejak ke bata. Setiba di dekatku, ia menjulingkan bola matanya keatas dan menukas : "Wew! Untung saja aku engga sampai jatuh ke lumpur! Di sini semuanya serba kotor!"
Karena aku sudah sangat mengenalnya, aku mengangguk kecil, sekedar untuk menghibur hatinya tanpa suara.

Tak lama kemudian, Raphaele, seorang temanku yang lain, berjalan menempuh lumpur yang sama. "Hop, hop, hop!" Ia bernyanyi sambil melompat dari bata ke bata. Ia mencapai daerah kering dambil berseru : "Oh, asyiknya!" Matanya berbinar dan ia berkata : "Salah satu kebaikan musim hujan adalah tak ada lagi debu yang beterbangan."

Dua orang, dua cara pandang.
Enam milyar manusia, enam milyar dunia.


~Matthieu Ricard, "A Way of Being"~

Minggu, 27 Desember 2009

SELALU ADA ALASAN.....

Memang manusia pandai mencari alasan. Selalu ada alasan. Sayangnya, alasan itu dikemukakan untuk hal-hal yang kurang baik.

Sebenarnya, alasan itu bisa digunakan untuk hal-hal yang baik.
Misalnya, merasa bahagia.

Pada umumnya manusia membutuhkan alasan untuk merasa bahagia. Naik kelas, kena lotere, menang perlombaan, ulang tahun, jalan-jalan, keinginannya terkabulkan, dan lain-lain. Nah, karena kita jarang sekali naik kelas, atau kena lotere (atau lain-lain itu), maka jarang pula kita merasakan kebahagiaan.

Yang harus kita lakukan tak lain tak bukan adalah menciptakan alasan, dan kita toh sudah sangat pandai untuk membuat alasan ya?

Cermatlah melihat hal-hal yang kecil dalam kehidupan, yang biasanya terlewatkan oleh kita. Ada suara butung yang merdu? Bahagialah. Melihat sebuah rangkaian bunga yang indah (atau gaun yang bagus di etalase toko)? Jangan dibeli, tapi kagumi dan bahagialah. Teman lama tiba-tiba kirim sms? Rayakan dan bahagialah. Anak laki-laki tiba-tiba rajin dan merapikan kamarnya? Jangan tanya alasannya, beri pujian dan bahagialah. Suami membelikan pisang goreng dalam perjalanan pulang dari kantor? Luar biasa, bersyukurlah dan berbahagialah.

Banyak sekali alasan buat kita untuk berbahagia. Hanya seringkali alasan itu kita anggap kecil dan biasa, sehingga terlewatkan. Akibatnya kita kehilangan kebahagiaan yang seharusnya kita miliki.

Kalau listrik mati, hampir semua orang mengeluh dan di FB banyak kita temui status yang memaki-maki PLN. Tapi kalau listrik berjalan normal, dianggap normal, dan tidak dijakan alasan untuk berbahagia. Sayang sekali ....

Lain kali, kalau listrik lagi oke-oke begini, nyalakan lampu dan bahagialah!

Ayo, bikin alasan, dan bahagialah!

Be The Change



This is a short summary of a powerful, inspirational video which documents the moving transformation of a group of teenagers as they follow Challenge Day’sBe the Change” program.

The Be the Change movement inspires people to notice what’s happening in the world around them, to choose actions that create positive change, and to act as a living example of the power of contribution and compassion.

Step 1Notice
Wake up. Keep your eyes open and notice what’s happening around you.

Step 2Choose
Once you decide to get involved in any situation, think through your list of options and alternatives for dealing with the situation. Take your time and choose the course of action you believe will best serve everyone involved.

Step 3Act
Once you have made a decision about what you feel would be the best way to help, take action! Now is your time to "Be the Change!"

An Act of Change is:
* A conscious intervention or a contribution performed by a person with the goal of creating a positive change in the world.
* An intentional action performed to lovingly interrupt hurtful or destructive behaviour and support the choice of a compassionate alternative.
* Anything you do for yourself, another person or the world around you that has a positive impact; an intentional act of love, kindness or service.


» Imagine families where every member is consciously looking for ways to contribute.

» Imagine schools where every student is given time to share and celebrate their positive acts of change.

» Imagine corporations where contribution and service are the basis of the company culture.

» Imagine a world where people of every country join hands and commit to generating peace on the planet.

» Imagine our media and daily news no longer dominated by violence, fear, and destruction, instead focusing on the celebration and recognition of the positive difference people are making in the world.

What if people everywhere were inspired to share food, shelter, and resources?
What if our human family could unite as one?

Kamis, 24 Desember 2009

Twas The Night Before Christmas (full video)

Twas the night before Christmas, when all through the house
Not a creature was stirring, not even a mouse.
The stockings were hung by the chimney with care,
In hopes that St Nicholas soon would be there.

The children were nestled all snug in their beds,
While visions of sugar-plums danced in their heads.
And mamma in her ‘kerchief, and I in my cap,
Had just settled our brains for a long winter’s nap.

When out on the lawn there arose such a clatter,
I sprang from the bed to see what was the matter.
Away to the window I flew like a flash,
Tore open the shutters and threw up the sash.




The moon on the breast of the new-fallen snow
Gave the lustre of mid-day to objects below.
When, what to my wondering eyes should appear,
But a miniature sleigh, and eight tinny reindeer.

With a little old driver, so lively and quick,
I knew in a moment it must be St Nick.
More rapid than eagles his coursers they came,
And he whistled, and shouted, and called them by name!

"Now Dasher! now, Dancer! now, Prancer and Vixen!
On, Comet! On, Cupid! on, on Donner and Blitzen!
To the top of the porch! to the top of the wall!
Now dash away! Dash away! Dash away all!
"

As dry leaves that before the wild hurricane fly,
When they meet with an obstacle, mount to the sky.
So up to the house-top the coursers they flew,
With the sleigh full of Toys, and St Nicholas too.

And then, in a twinkling, I heard on the roof
The prancing and pawing of each little hoof.
As I drew in my head, and was turning around,
Down the chimney St Nicholas came with a bound.

He was dressed all in fur, from his head to his foot,
And his clothes were all tarnished with ashes and soot.
A bundle of Toys he had flung on his back,
And he looked like a peddler, just opening his pack.

His eyes-how they twinkled! his dimples how merry!
His cheeks were like roses, his nose like a cherry!
His droll little mouth was drawn up like a bow,
And the beard of his chin was as white as the snow.

The stump of a pipe he held tight in his teeth,
And the smoke it encircled his head like a wreath.
He had a broad face and a little round belly,
That shook when he laughed, like a bowlful of jelly!

He was chubby and plump, a right jolly old elf,
And I laughed when I saw him, in spite of myself!
A wink of his eye and a twist of his head,
Soon gave me to know I had nothing to dread.

He spoke not a word, but went straight to his work,
And filled all the stockings, then turned with a jerk.
And laying his finger aside of his nose,
And giving a nod, up the chimney he rose!

He sprang to his sleigh, to his team gave a whistle,
And away they all flew like the down of a thistle.
But I heard him exclaim, ‘ere he drove out of sight,
"Happy Christmas to all, and to all a good-night!"

Selasa, 22 Desember 2009

Patung Buddha gaya Gandhara di Sarnath

Lucknow, 1 Nov 2009: Salah satu patung Buddha tertinggi di dunia akan segera diresmikan di Sarnath, India,tempat Buddha membabarkan ajarannya untuk pertama kali.

For ENGLISH please see THE TELEGRAPH

Di sebuah vihara Thai di Sarnath, pemerintah Thailand mendanai pembuatan sebuah patung setinggi 33 meter dengan gaya Gandhara. Gaya ini sama dengan kedua patung Buddha di Bamiyan, Afghanistan, yang dihancurkan oleh Taliban bulan Maret 2001.

Proyek ini sebenarnya sudah dimulai 10 tahun lalu namun terhenti karena Thai Buddha Vihar kekurangan dana. Pembangunan dimulai lagi tiga tahun lalu setelah mendapat bantuan dari pemerintah Thailand.

Pengerjaan dilakukan oleh Mohan Lal, pembuat patung terkenal dari Uttar Pradesh yang sudah banyak membuat patung Buddha di tempat lain.

"Patung ini akan menjadi salah satu patung Buddha tertinggi yang dalam posisi berdiri dan dengan gaya Gandhara. Walaupun bukan merupakan replika dari patung di Bamiyan, namun akan membuat orang terkenang akan Bamiyan," kata Lal yang terlebih dahulu pergi ke Afghanistan sebelum memulai karyanya. Ia menggunakan batu sandstone dari Chunar yang terkenal.

Bhante Rashim, pimpinan Vihara Thai, berharap "Sarnath akan bangkit sebagai salah satu pusat ziarah umat Buddha apabila patung ini sudah selesai dan orang-orang dari seluruh dunia mendengar beritanya."

Pengurus vihara tidak menyebutkan berapa biaya pembuatan patung tersebut, namun sumber-sumber lain mengatakan sekitar US$50juta (sekitar 450 milyar rupiah).

Wiku Sadayana ~ Yang Cerdas Lebih Beruntung?

Ditulis oleh Tatang Gowarman


Musim penghujan baru saja usai. Seluas mata memandang seluruh lembah di bawah bukit tempat Padepokan Wiku Sadayana berada diselimuti oleh warna hijau segar dari kuncup daun yang baru tumbuh diselang seling oleh warna warni bunga yang bermekaran.

Pada saat itu terdengar suara Wiku Sadayana yang berkata dengan nada lembut: "Sunyaprajna, yang harus dicabut adalah rumput-rumput dan tanaman liar yang seperti ini , dan ini, kalau yang itu, jangan, itu bisa tumbuh menjadi tanaman bunga yang indah, mengerti?"
Tampak Wiku Sadayana sedang berjongkok menemani Sunyaprajna mencabut rumput dan tanaman liar yang tumbuh sangat cepat di akhir musim penghujan.

"Eh, yang itu jangan dicabut. Itu adalah pohon pepaya yang masih kecil, nanti bisa besar dan berbuah. Engkau suka pepaya Sunyaprajna?"

"Aku suka pepaya, Eyang guru," kata Sunyaprajna. "Ini juga anak pohon pepaya ya Eyang? Tidak boleh dicabut."

Citramatra yang berada agak jauh dari situ mendengarkan pembicaraan Wiku Sadayana dengan Sunyaprajna, menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sunyaprajna sudah lebih dari setahun tinggal di padepokan. Meskipun sudah berusia 17 tahun dan berbadan kekar, cara berpikir Suryaprajna masih seperti anak umur 7 tahun, akibat sakit panas yang dideritanya pada waktu masih bayi. Sedangkan ibu dari Sunyaprajna telah meninggal dunia ketika dia berusia 12 tahun. Oleh ayahnya yang masih keponakan dari Wiku Sadayana, Sunyaprajna dititipkan di Padepokan, karena dia sering bertugas keluar kota, sehingga tidak ada yang memperhatikan Sunyaprajna.

Yang bisa dilakukan oleh Sunyaprajna tidak lebih dari mengambil air di sumur dan memasukkannya ke dalam tempayan besar di tiap kamar mandi. Memotong kayu bakar dan membantu mencabut rumput. Itu pun kalau tidak ditemani, tanaman lain yang berguna ikut tercabut. Dia belum bisa membedakan mana yang tanaman liar dan mana yang berguna walaupun sudah setahun diajarkan oleh cantrik, sampai mereka bosan dan malas mengajar Sunyaprajna yang bebal. Apalagi untuk menghafal tembang mantra suci, belum ada satupun yang bisa dihafal dengan sempurna. Watak yang baik dari Sunyaprajna adalah jarang rewel atau menimbulkan keributan. Mudah puas, selalu senyum, dan tetap tertawa kalau ditegur oleh cantrik yang lain. Selain itu jika sedang bekerja, tidak memperhatikan hal hal lain, asyik dengan pekerjaannya sendiri.

Seperti biasa penguncaran tembang mantra suci dilakukan di Sanggar Pamujan. Malam itu Sunyaprajna juga hadir, walaupun hanya bisa mendengarkan tanpa bisa membacakan tembang mantra apapun. Dia duduk dengan tenang di sudut belakang yang jauh dari tempat duduk Wiku Sadayana.

Setelah usai pembacaan tembang mantra, Wiku Sadayana menjawab pertanyaan pertanyaan para cantrik yang membutuhkan petunjuk untuk kemajuan olah batin masing masing. Dan akhirnya Citramatra bertanya: "Guru, jika ada seseorang yang dilahirkan dengan tidak beruntung, karena sejak kecil menderita penyakit yang mengakibatkan dia tidak bisa berpikir dengan baik seperti manusia yang lain, apakah dia bisa mencapai kemajuan batin, Guru?"

Dengan tersenyum Wiku Sadayana menatap Citramatra, lalu berkata:
"Citramatra, pertanyaanmu ini mungkin bertautan dengan keadaan Sunyaprajna?"

"Betul, Guru."

Wiku Sadayana melayangkan pandangan matanya ke sudut, ke tempat duduk Sunyaprajna yang masih duduk dengan tenang. Dan dengan lembut berkata:
"Sunyaprajna, mari kesini, duduk di sebelah Eyang Guru."

Setelah mengangguk, Sunyaprajna bangkit dan menuju ke depan dan duduk di samping Wiku Sadayana.

"Muridku, kalian semua tahu pikiran Sunyaprajna sangat sederhana. Mantra yang lebih dari satu kalimat, tidak mampu dihafalnya. Dalam bekerjapun hanya pekerjaan yang tidak rumit yang bisa dilakukan dengan baik, itupun terbatas mengisi air di tempat mandi, dan memotong kayu bakar. Mencabut rumput masih perlu ditemani, salah salah benih jagung yang baru tumbuh dicabutnya pula. Tapi hari ini Sunyaprajna bisa membedakan mana yang pohon pepaya dan mana rumput yang harus dicabut, bukan begitu Sunyaprajna?"

"Bisa Eyang guru, pohon pepaya daunnya bercabang, kalau rumput tidak bercabang," sahut Sunyaprajna dengan bangga.

"Bagus Sunyaprajna, engkau sudah makin pandai," puji Wiku Sadayana sambil mengelus kepala Sunyaprajna, yang dibalas dengan senyum bangga oleh Sunyaprajna.

"Citramatra, engkau dilahirkan dengan memiliki kecerdasan yang melebihi orang orang lain. Suatu tembang mantra yang rumit, dengan mudah engkau hafalkan. Kemampuanmu membaca dan mengerti lontar yang berisi Darma Suci yang dibabarkan dari Hyang Guru Buddha tidak diragukan lagi. Itulah kelebihanmu Citramatra," kata Wiku Sadayana sambil mengurut jenggotnya yang panjang.

"Tetapi engkau sering mengungkapkan betapa sulitnya untuk bersamadhi, pikiranmu bagaikan kuda liar yang melonjak-lonjak, berkelana kian kemari, sehingga untuk mencapai ketenangan , sulitnya luar biasa," lanjut Wiku Sadayana sambil menatap Citramatra.

Dengan menangkupkan telapak tangan di dahi, Citramatra menjawab: "Betul guru, pikiranku terus bermunculan, disertai berbagai keinginan. Ada yang baik ada yang jahat, sangat sukar untuk dikendalikan, kadang kadang sampai menjelang pagi, aku tidak dapat membuat pikiranku menjadi tenang."

Sambil matanya berkeliling menatap para cantrik, Wiku Sadayana bertanya: "Coba murid-muridku ingat ingat, selama ini apakah Sunyaprajna pernah berkelakuan yang didasari oleh keinginan yang jahat, menyiksa hewan kecil seperti burung, ikan, atau semut misalnya? Salah memotong kayu, salah mencabut pohon yang dilakukan, bukan didasari oleh keinginan jahat, tetapi karena dia tidak mampu membedakan."

"Betul Guru, selama ini Sunyaprajna berkelakuan baik, tenang, selalu senyum walaupun ditegur karena salah mencabut anak pohon pepaya atau anak pohon singkong, dan mudah kumintai tolong," kata Citrabala, yang disusul oleh anggukan kepala cantrik yang lain.

"Pikiran Sunyaprajna sederhana, dan tidak memiliki banyak keinginan. Karena bentuk pikiran yang disertai keinginan tidak bermunculan, maka dia mudah menjadi tenang. Paling-paling pada waktu lapar, dia menjadi gelisah, tapi itupun dialami oleh setiap orang, termasuk engkau Citrabala," tutur Wiku Sadayana sambil tersenyum.

"Sebaliknya sangat sulit bagi orang yang cerdas untuk menenangkan pikirannya. Menyadari ini, pikiran yang buruk jangan dikembangkan. Pikiran yang baik perlu dikembangkan. Selain itu begitu banyak kecemasan yang bermunculan dalam diri orang yang cerdas. Dia harus terus menerus bergulat sampai suatu ketika semuanya menjadi reda. Bukankah ini suatu penderitaan? Apakah ini bisa disebut suatu keberuntungan?

"Tetapi bagi orang seperti Sunyaprajna, berbagai bentuk pikiran yang rumit, tidak ada. Karena pikirannya kosong, kebutuhannya pun mudah dipuaskan. Jika dia bekerja, seluruh perhatiannya tercerap pada pekerjaannya. Maka dia selalu tenang, gembira, dan banyak tersenyum. Bukankah ini keberuntungan?

"Mungkin pada kelahiran saat ini, Sunyaprajna tidak mampu mencapai kemajuan batin. Karena itu bisa kita katakan, dia tidak beruntung. Tetapi dengan mengajarkan dia untuk selalu tenang, bersikap welas asih terhadap semua mahluk hidup; mungkin saja dalam kelahirannya yang akan datang dia akan mendapat kemajuan batin yang pesat. Kita semua sudah ribuan, mungkin ratusan ribu kali bertumimbal lahir, bila ada satu masa kehidupan,- karena karma masa lampau-, dilahirkan dalam kondisi tidak mampu berpikir dengan jernih, sehingga kita tidak bisa mendapatkan kemajuan batin, tetapi apalah artinya satu kehidupan itu jika dibandingkan dengan ratusan ribu kali tumimbal lahir? Anggap saja jeda dalam satu masa kehidupan, toh pada masa kehidupan itu karena ketidak mampuan kita untuk berpikir, atau kebodohan kita, kita tidak menyadari sama sekali, seperti keadaan Sunyaprajna saat ini," ujar Wiku Sadayana.

Setelah menyeruput wedang jahe yang disediakan salah satu cantrik, Wiku Sadayana melanjutkan : "Tetapi sebaliknya jika dalam kehidupan ini, kita mampu berpikir dengan baik, mengerti untuk berperilaku welas asih, -terutama pada yang dilahirkan dengan kemampuan terbatas seperti Sunyaprajna-, dan kita berkesempatan untuk berlatih samadhi; lalu kita mensia-siakan bekal kemampuan yang ada ini untuk mendapat kemajuan batin, itu sama artinya mensia-siakan buah karma baik pada saat kehidupan sekarang; bukankah hal ini merupakan suatu kebodohan yang luar biasa?"
Sunyi senyap dalam Sanggar Pamujan ketika para cantrik mencerna ucapan Wiku Sadayana.

"Bagaimana Citramatra? Engkau lebih beruntung atau Sunyaprajna? Engkau yang karena cerdas adalah orang yang beruntung, atau sebaliknya karena mensia-siakan peluang untuk kemajuan batin, sebenarnya engkau bodoh luar biasa, dengan demikan berarti engkau yang cerdas adalah yang kurang beruntung?" tanya Wiku Sadayana melanjutkan sambil tersenyum.

"Aku pikir, akulah yang bodoh luar biasa dan karena itu kurang beruntung, Guru," jawab Citramatra sambil tertawa, disambut derai tawa cantrik yang lain.

Senin, 21 Desember 2009

Wiku Sadayana ~ Mengurus Diri Sendiri

Ditulis oleh Tatang Gowarman

Seperti lazimnya, seusai penguncaran mantra, para murid Wiku Sadayana berkumpul di ruang pamujan disertai dengan wedang jahe hangat. Kali ini agak istimewa karena hampir semua murid tetap hadir ingin mendengarkan petunjuk dari Wiku Sadayana atas pertanyaan Danaviriya kemarin, mengenai tata krama masyarakat yang makin merosot.
Setelah berdehem-dehem sejenak untuk melonggarkan tenggorokannya, Wiku Sadayana berkata : "Muridku semua, kemarin Danaviriya menuturkan keresahannya, karena melihat dan mengalami sendiri, betapa merosotnya tata krama masyarakat sekarang ini. Sikap adigang-adigung, meremehkan orang lain, kata-kata yang kasar, mudah tersinggung dan marah, pertengkaran dan perkelahian karena hal sepele makin sering terjadi. Dan ini semua membuat Danaviriya risau, karena selain tidak sesuai lagi dengan ajaran dari ayahandanya, juga sudah jauh berbeda dengan keadaan yang terjadi pada saat Danaviriya masih remaja. Dan ini disebut-sebut dalam perbincangan di kedai, di pasar dan di warung, sebagai penyebab dari makin sering terjadinya bencana akhir akhir ini, bukankah demikian Danaviriya?"

Dengan menghatur sembah, Danaviriya menjawab : "Betul Guru".

"Kemarin aku menjelaskan mengenai terjadinya bencana alam. Ada yang terjadi karena hukum alam sendiri memang demikian, dan ada juga yang terjadi karena ulah manusia. Adalah kurang tepat kalau dikatakan semua bencana akibat tata krama yang makin merosot. Tetapi kalau terjadi karena keserakahan manusia yang membuat dia bertindak mengabaikan hukum alam, hal itu memang betul dan bisa terjadi. Contohnya jika sebuah desa, untuk mengejar kemakmuran, terus menerus menebangi hutan di sekelilingnya. Selain mengakibatkan hawa makin panas, mata air menjadi kering, pada musim hujan kebanjiran, terjadi pula longsor yang membahayakan penduduk. Terus menerus mengambil pasir dari sungai sehingga alur sungai menjadi berubah dan menggerus tebing, mengakibatkan longsor. Itu semua karena keserakahan dan kebodohan, bukan karena penduduk di desa itu mudah marah, sering bertengkat, sudah tidak rendah hati lagi. Tata krama yang makin merosot lebih merupakan akibat dari keserakahan, kebencian dan ketidak-tahuan masing masing orang.

"Danaviriya, orangtuamu benar dengan mengatakan bahwa manusia yang tidak mampu mengendalikan marah adalah manusia yang kurang beradab. Karena pada saat marah, manusia dapat mengucapkan kata kata kasar, mengayunkan tinju dan bahkan menebas orang lain dengan parang. Bukankah itu semua adalah perilaku dari orang yang tidak beradab? Perilaku seperti itu jika tidak diwaspadai akan menjadi kebiasaan. Dia menjadi mudah tersinggung, di rumah juga menjadi ringan tangan. Jika sudah jengkel, maka keluarga yang menjadi korban. Tata-tentrem dan keselarasan dalam hidup berkeluarga menjadi kacau, semua menjadi menderita.

"Manusia menjadi kurang sabar, karena kebiasaan mawas diri yang dahulu diajarkan para leluhur kita sudah ditinggalkan. Alih-alih bersemedi, mereka sibuk menghamburkan nafsunya dengan minum minum tuak di kedai, bertayub dengan ronggeng. Jelaslah kemampuan mereka untuk menahan diri menjadi turun, menjadi mudah tersinggung dan marah. Dan untuk membiayai kehidupan seperti itu, mereka menjadi lebih serakah. Tidak mempedulikan lagi aturan yang baik yang berlaku. Mencuri, menipu, memeras, menghabiskan sumber alam yang berharga tanpa mempedulikan akibatnya yang berbahaya bagi penduduk, karena hukum alam berlaku dan berjalan dengan aturannya sendiri."

"Guru, bagaimana selanjutnya kita bersikap menghadapi keadaan seperti itu?", tanya Citramatra.

"Hyang Guru Budha memberikan wejangan kepada kita semua untuk tidak bergaul dengan orang yang bodoh atau dungu. Yang dimaksud di sini dengan orang dungu adalah orang yang tidak bisa membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk. Mereka menganggap wajar perbuatan membunuh, mengambil milik orang lain, melakukan hubungan kelamin bukan dengan pasangan hdupnya, menipu dan berbohong, ataupun bermabuk mabukan , madat selama perbuatan ini menyenangkan hatinya dan memuaskan nafsunya, dianggap sebagai hal yang biasa; orang orang ini disebut sebagai orang dungu, oleh karena itu sebaiknya kita tidak bergaul dengan mereka.
Seperti kemarin aku katakan, kita tidak bisa mengendalikan pikiran orang lain, tetapi kita bisa mengendalikan pikiran kita sendiri, sesuai dengan petuah dari para leluhur kita untuk selalu eling dan waspada, artinya selalu mawas diri dan berhati-hati.


"Selalu bertindak jujur, berbicara dengan ramah kepada siapapun, hormat kepada orang lain apalagi kepada orang tua kita, guru dan orang yang lebih tua dari kita, janganlah mengharapkan kemalangan terjadi pada orang yang tidak kita sukai, kita harus selalu mengharapkan agar yang terbaik dan bermanfaat yang terjadi pada diri kita maupun pada orang lain."

"Danaviriya," lanjut Wiku Sadayana, "tidaklah mudah melakukan hal hal tersebut dalam lingkungan masyarakat yang kurang memperhatikan tata krama dan pekerti yang luhur, tetapi engkau perlu melakukannya untuk kebaikanmu sendiri, selain memberi teladan kepada keluargamu, pekerja yang membantumu, orang sedesa denganmu. Jika ada yang mengolok olok atau menghinamu, anggap saja itu adalah bagian dari olah batinmu untuk melatih kesabaran. Jangan mengurusi apa pikiran orang lain, tetapi urus saja pikiranmu, perkataanmu dan perbuatanmu".

Selamat Hari Ibu!

NYANYIAN KASIH SAYANG KEPADA SEMUA MAKHLUK
Oleh: Shabkar


Hatiku tertuju pada mereka semua yang sekarang menderita,
Ibu saya sendiri yang telah menyayangi aku dengan begitu baiknya,
Sepanjang waktu, sejak awal mula hingga sekarang.

Para ibuku dulu membantu mendinginkan saya ketika saya panas,
Tetapi sekarang sebagian telah lahir di delapan neraka panas
Sedang tersiksa oleh panas yang membakar - hati saya terkenang pada mereka!

Para ibuku dulu memberi saya kehangatan saat aku kedinginan,
Tapi sekarang sebagian telah lahir di delapan neraka dingin
Sedang tersiksa oleh dingin yang membeku - hati saya terkenang pada mereka!

Para ibuku dulu memberi saya makanan dan minuman saat aku lapar dan haus,
Tapi sekarang sebagian telah lahir di alam preta
Tersiksa oleh kelaparan dan kekeringan - hati saya terkenang pada mereka!

Para ibuku senantiasa menyayangiku seperti itu dengan penuh cinta kasih,
Tapi sekarang sebagian telah lahir di antara para hewan
Tersiksa oleh perbudakan dan eksploitasi - hati saya terkenang pada mereka!

Para ibuku dulu dengan penuh kasih sayang memberi apa pun yang kuinginkan,
Tapi sekarang sebagian telah lahir di antara manusia
Tersiksa oleh rasa sakit penuaan dan kematian - hati saya terkenang pada mereka!

Para ibuku dulu melindungiku dari segala mara bahaya,
Tapi sekarang sebagian telah lahir di antara para asura
Tersiksa oleh konflik dan perselisihan - hati saya terkenang pada mereka!

Para ibuku telah mengasuhku dan mangajri aku hanya hal-hal yang baik,
Tapi sekarang sebagian telah lahir di antara para dewata
Tersiksa oleh kematian dan perpindahan kehidupan - hati saya terkenang pada mereka!

Olehmu sendiri, engkau tak punya kesempatan untuk keluar dari penderitaan samsara,
Dan karena sekarang engkau tak memiliki kekuatan untuk memberi perlindungan bagi dirimu sendiri -
Oh ibuku, yang didera oleh semua penderitaan itu, hatiku terkenang kepadamu!

Ketika saya menyadari penderitaan tersebut, yang kita semua akan mengalaminya,
Aku berpikir sendiri, "Alangkah baiknya jika aku bisa mencapai Pencerahan!
Bukan besok, tapi biarlah terjadi pada saya hari ini!"


Secepatnya, bahkan lebih cepat lagi, semoga saya dapat mencapai pencerahan,
Dan, setelah mencapainya, menghalau semua penderitaan makhluk hidup,
Membimbing mereka semua menuju kebahagiaan sempurna, saya berdoa!




Catatan kaki:
1. Ini ditulis ketika, tergerak oleh penderitaan penduduk miskin, yang senantiasa kekurangan makanan serta pakaian, datang berulang kali dalam jumlah banyak untuk mengemis di pintu gubuk penyepianku, rasa iba tak tertahankan muncul dari lubuk hatiku yang paling dalam dan aku menitikkan banyak air mata.

2. Kata 'ibu' disini mengacu pada semua makhluk hidup. Buddha: Sulit sekali mencari mahluk yang belum pernah menjadi ibu kita dalam kelahiran2 terdahulu..

Dikutip dari "Komunitas Bhumisambhara"

Minggu, 20 Desember 2009

Wiku Sadayana ~ Menghadapi Bencana

Ditulis oleh Tatang Gowarman

Suatu siang yang sangat panas, Upasaka Danaviriya salah seorang pengikut Wiku Sadayana datang dari kota ke padepokan tempat Wiku Sadayana tinggal. Dia membawa kain untuk diberikan kepada para murid Wiku Sadayana yang sudah membutuhkan pakaian.

Menjelang senja setelah istirahat dan mandi di pancuran yang dingin airnya, Danaviriya menuju ruang pamujan, dan disana telah berkumpul penghuni padepokan yang lain untuk memulai penguncaran mantra suci. Setelah mendapatkan tempat duduk yang sesuai, Danaviriya dengan sungguh-sungguh mengikuti penguncaran mantra suci sampai selesai.

Seperti biasanya, para murid wiku yang membutuhkan petunjuk, masih tetap berada di ruang tersebut. Sedangkan yang lainnya kembali ke pondok masing-masing untuk bersemedi atau membaca lontar, atau beristirahat bagi yang sudah merasa lelah. Seorang murid masuk, membawa seteko wedang jahe hangat dengan beberapa cangkir bambu, dan dibagikan kepada yang masih hadir disitu.

Danaviriya tetap berkumpul dengan beberapa murid lain. Setelah Wiku Sadayana mengetahui kehadirannya, dengan gembira Wiku Sadayana menyapa: "Damai dan sejahtera bagimu Danaviriya. Ayo mari duduk di sini. Berapa malam kau akan bermalam disini Danaviriya?".
Danaviriya segera mendekat dan memberikan sembah sujudnya kepada wiku yang telah dianggapnya seperti orang tuanya sendiri, kemudian berkata : "Rahayu Guru, aku berniat menginap 2 malam di sini", setelah itu dia mundur, mencari tempat duduk bersama-sama dengan murid wiku yang lain.

Seperti biasa para murid satu per satu menceritakan apa yang mereka lakukan dan menanyakan hal hal yang kurang jelas bagi perkembangan batin mereka. Selama pembicaraan itu, Wiku Sadayana sekali-sekali melirik Danaviriya yang tampaknya sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri, dengan kening berkerut.

Ketika perbincangan dengan para murid telah usai, Wiku Sadayana dengan senyum lebar menegur Danaviriya : "Danaviriya, ayo ini wedang jahenya diminum dulu! Setelah itu, ada berita menarik apa yang akan kau ceritakan kepada kami?"

Danaviriya tertegun sejenak. Setelah meneguk wedang jahe yang sudah mulai dingin dia berkata:
"Guru, sebetulnya tidak ada berita yang penting. Namun aku gelisah memikirkan beberapa hal yang tampaknya kini sudah jauh berbeda dibandingkan dulu pada waktu aku masih kecil".

Wiku Sadayana: "O, apa itu yang kini berbeda dibandingkan ketika masih kecil?"

"Mungkin ceritanya agak panjang guru," sahut Danaviriya.

"Tidak apa apa, toh kau bermalam di sini, dan tidak ada kegiatan apa apa lagi selain beristirahat setelah ini. Ayo ceritakan dengan santai”, kata wiku.

"Begini guru", tutur Danaviriya. "Pada waktu aku masih kecil, ayahku sering memberikan nasehat dan contoh yang baik, seperti tepo-seliro, kita berusaha menghindari kata kata atau perbuatan yang menyakiti orang lain; bebasan, bertutur kata yang ramah dan menyejukkan; tetapi sekarang ini sudah sangat berbeda. Orang berbicara dengan kata-kata yang kasar, yang dibalas lagi dengan kata-kata yang kasar. Berlaku semau-maunya tidak memperdulikan perilakunya kurang menyenangkan bagi orang lain. Misalnya, sudah larut malam, masih saja menabuh gamelan keras keras. Jika dulu, orang yang menunggang kuda sudah turun dari kuda sebelum masuk ke pekarangan rumah, sekarang sudah tidak begitu lagi. Sikap santun kepada orang yang lebih tua sudah berkurang, yang dikedepankan adalah harta, manusia diukur dari harta yang dimilikinya.

"Andap asor, sifat rendah hati yang diajarkan sebagai budaya kita yang luhur sudah jarang terlihat, malahan menyombongkan pangkat kedudukan. Yang kaya memamerkan kekayaannya walaupun kita tahu cara mendapatkan kekayaanya kurang jelas. Tapi si kaya ini karena banyak menyumbang, dipuja-puja oleh orang banyak. Yang miskin berusaha mendapatkan lebih dari apa yang seharusnya, sedangkan yang pintar tidak segan-segan menggunakan kepandaiannya untuk mengakali yang tidak waspada. Ayahku mengatakan bahwa orang yang beradab adalah orang yang mampu mengendalikan batinnya untuk tidak marah, dan aku dinasehati untuk melatih kesabaran, karena kesabaran adalah cara membina diri yang paling baik. Tetapi kenyataan sehari-hari, aku melihat banyak orang menjadi marah hanya karena masalah kecil, mereka mudah tersinggung dan bukannya mampu menahan diri, malahan kemarahan dipertontonkan agar orang lain takut. Hampir tiap hari kita bisa mendengar terjadinya kemarahan, pertengkaran, penipuan, pemaksaan dan lain lain yang sudah tidak sesuai dengan tata krama luhur yang dulu selalu diajarkan oleh para sesepuh. Ini semua membuat hatiku risau, akan kemanakah kita-kita ini?

"Seiring dengan bencana kekeringan, banjir bandang, gunung yang meletus, longsor yang berulang ulang terjadi, banyak dibicarakan di kedai sebagai akibat dari ulah kita, para manusia yang serakah dan sudah kelewat batas melanggar tata krama, menyinggung hati para dewa karena petuahnya tidak diturut. Namun yang berbicara seperti itu, perilakunya juga sama saja, tidak ada bedanya dengan yang lain. Apakah benar semua ini hukuman dari para dewa bagi kita, Guru?"

Senyap ruangan itu, semua yang hadir meresapi kata kata Danaviriya, dan meng-ia-kan dalam hati bahwa apa yang diungkapkan Danaviriya memang benar, telah terjadi dan bahkan tampaknya makin menjadi-jadi.

"Danaviriya", tukas Wiku Sadayana setelah merenung cukup lama; "Hyang Guru Buddha, pernah mengajarkan bahwa ada hukum alam yang bekerja sesuai dengan aturannya, dan ada hukum Karma yang bekerja sesuai aturannya juga. Bencana alam ada yang disebabkan karena ulah manusia, misalnya banjir dan kekeringan karena hutan sudah habis dibabat untuk membangun rumah dan kayu bakar, tetapi juga bisa karena memang hukum alam yang bekerja sendiri misalnya musim kemarau berkepanjangan yang menimbulkan kekeringan dimana mana atau hujan deras yang berlebihan sehingga terjadi banjir; atau gempa, atau gunung meletus. Jadi jangan semuanya disama ratakan sebagai akibat dari ulah manusia. Tetapi hal ini kadang kadang dimanfaatkan oleh orang pandai yang sedang mencari pengikut, orang yang tidak mengerti, ditipu. Kejadian alam yang memang sudah waktunya terjadi, dianggap sebagai hukuman dari para dewa akibat dari ulah manusia yang tidak menghormati para dewa, dan orang orang ini lalu dianjurkan untuk lebih taat lagi melakukan upacara-upacara pemujaan kepada dewa tertentu."

"Lalu kita harus bagaimana Guru?", tanya Danaviriya.

Wiku Sadayana mengelus-elus jenggotnya dan sambil tersenyum dia meneruskan: "Perlu kita pahami bahwa kita hanya bisa mengendalikan pikiran, perkataan dan perbuatan kita. Sedangkan pikiran, perkataan dan perbuatan orang lain, tidak bisa kita kendalikan. Oleh karena itu, Danaviriya dan muridku sekalian, berpikirlah dahulu sebelum berkata dan melakukan sesuatu, apakah hal itu bermanfaat bagimu dam bagi orang lain. Jika bisa menyebabkan kemalangan, kerugian atau kesedihan kepada orang lain seperti juga kepada dirimu sendiri; maka perkataan atau perbuatan tersebut sebaiknya jangan dilakukan. Sebaliknya jika baik bagimu dan juga bagi orang lain, maka perkataan dan perbuatan itu memang patut dilakukan."

"O, Guru, indah sekali petuah Guru. Selanjutnya bagaimana menyikapi bencana yang terus menerus terjadi?", sahut Citramatra, murid paling senior dari Wiku Sadayana.

"Bencana yang terjadi karena hukum alam yang bekerja, tidak bisa kita cegah, tetapi bukan berarti kita pasrah saja. Kita perlu selalu menimbang, selalu berpikir dengan bijaksana, misalnya, padepokan ini berada di lereng gunung yang curam tetapi aku tidak membangunnya di tempat yang ada kemungkinan terkena bencana longsor jika terjadi gempa, atau banjir. Aku memilih di lereng yang terlindung oleh lembah, sehingga jika bukit dibelakang ini longsor, maka longsoran tersebut akan masuk kedalam lembah yang cukup dalam tersebut, tidak langsung menghancurkan padepokan beserta penghuninya. Selain itu juga bukankah kita semua sudah menanam banyak pohon yang berakar kuat di belakang pondok ini dan di seberang lembah untuk mengurangi kemungkinan buruk dari longsor.

"Sebaliknya jika kita mengetahui bahwa penebangan pohon yang berlebihan di hutan di atas bukit itu dapat menjadi penyebab longsor saat gempa atau hujan, kita perlu berupaya merawatnya, seperti kukatakan tadi, dengan menanam pohon yang berakar kuat.. Jika kau Citrawirya menebang pohon untuk mendapatkan kayu untuk memperbaiki pondok, aku selalu menanyakan berulang-ulang, apakah sudah menanam pohon pengganti. Karena aku berulang kali menanyakan, kau kadang-kadang jengkel dan menganggapku cerewet, bukankah demikian Citrawirya?", tukas Wiku Sadayana sambil terkekeh-kekeh.

Dengan muka merah, Citrawirya menghaturkan sembah kepada Wiku Sadayana seraya berkata : "Mohon maaf guru. Memang kadang-kadang aku merasa jengkel, tapi sekarang setelah tahu mengapa harus menanam pohon pengganti, aku lebih paham. Dan selanjutnya aku berusaha tidak jengkel lagi jika Guru menanyakan."

"Bagus, bagus Citrawirya. Mungkin Gurumu waktu itu lupa menjelaskan mengapa perlu menanam pohon pengganti. Selanjutnya dengan pemahaman ini, tentunya kau akan melakukan hal yang terbaik untuk mencegah dan melindungi padepokan ini dari bahaya longsor".

"Baik Guru, akan aku perhatikan dan lakukan", sahut Citrawirya.

"Nah, karena aku lihat beberapa dari kalian sudah mulai mengantuk, pembicaraan mengenai berkurangnya tata krama di masyarakat, akan kita bicarakan besok pagi saja, ayo kita habiskan wedang jahe masing masing, dan cangkirnya dibersihkan serta dikembalikan ke tempatnya".


(bersambung .... Mengurus Diri Sendiri)

Sabtu, 19 Desember 2009

We spend too much building temples but not people

..., dalam hatiku, kita terlalu banyak berusaha membangun gedung-gedung vihara, namun sedikit sekali berkarya membangun manusia melalui pengajaran Dharma dan penyebaran ajaran...

by Alvin Wong, Singapore, The Buddhist Channel, Dec 15, 2009

I refer to the news item on the launch of the pavilion sheltering the Goddess of Mercy at the Penang Kek Lok Si temple.

My last visit to Kek Lok Si in Penang was few years ago, and felt that it is just another tourist attraction instead of centre of Wisdom learning.

Having visited many ancient temples in China, most of the temples are amazing well design with colourful decorations.

However, something deep inside me is that we spend too much effort in building the temples, but there are little works on the building of the people like teaching of the Dharma and propagation activities.

End of the day, it attracts tourists. But this is not what the devotees want, the central function of the temples and monastries are to spread and practise the teaching, and organising value added activities and not tourism.

Imagine that we spend RM40 million (US$ 12 mil) to renovate the pavillion, but little do we know that the temples has done any great effort to propogate the religion. End of the days, the younger generation will abandon the religion, and the temples serve no value added function to serve the Buddhist community.

If one study the history, why once a Buddhist China easily wiped out by the short wave of communism, partly because there are little engagement of the clergy with the general lay Buddhists in general who are the majority.

So many have no basic Buddhist educations and understanding of the religion. Even there are hundred thousands monastries and temples, but its unable to resist the ideology that reject religion.

It is our sincere wish that our respectable monks and Sangha to have a deep thought on this issue.

Tante Aki ikut meditasi

Sejak muda tante aki sudah pakai kacamata. Beliau memang kurang jelas kalau melihat benda-benda yang terlalu jauh.

Suatu saat seorang lama dari Tibet datang mengajar meditasi di vihara kami.

Setelah semua umat duduk relaks dan siap dalam posisi untuk meditasi, mulailah beliau mengajar:
"Bayangkanlah di dalam dirimua ada sepuluh ribu bunga."

Semua orang duduk, mata terpejam, dan bermeditasi dengan tenang.

"Setiap bunga mekar dengan indahnya. Setiap bunga mempunyai sepuluh ribu helai daun bunga".

Semua umat bermeditasi dengan tenang, tenggelam dalam visualisasi puluhan ribu bunga bermekaran.

Tiba-tiba terdengar suara tante aki memecah kesunyian:
"Ntar dulu! Aku ngambil kacamata dulu. Engga keliatan, nih!"



Wkwkwkwkwk....!

Jumat, 18 Desember 2009

Tante Aki Berpesta Tiap Hari

Tante aki selalu rapi. Menyenangkan sekali bertamu ke rumahnya. Di ruang tamu selalu ada bunga. Suasananya menyegarkan. Kalau bertamu saat makan, tante akan menjamu kita dengan perabotan yang bagus. Piring keramik indah, gelas yang berdenting, dan sendok garpu perak berkilau.
Jangan tanya penampilannya. Tante selalu berpakaian rapi. Setelah mandi pagi, tante tidak pernah pakai daster, meskipun cuma di rumah. Daster cuma buat tidur, kata tante, tidak layak dipakai siang hari.

Bukan berarti tante boros. Tidak sama sekali. Beliau tetap selalu hemat. Pengeluaran yang tidak perlu, tante tidak mau. Buat apa boros, katanya.

Tapi kok tante kayak berpesta tiap hari?

O, tentang itu pasti pernah aki tanyakan, dan tentu pernah juga tante jelaskan secara tegas tidak terbantahkan :

"Kita semua punya benda-benda kesayangan, yang kita simpan baik-baik. Cuma untuk digunakan pada saat-saat tertentu.

Tapi seringkali benda itu akhirnya bahkan tidak pernah kita pergunakan sama sekali. Cuma disimpan di dalam lemari, dan tidak pernah kita nikmati. Mungkin sampai mati pun, benda itu masih utuh seperti baru kita beli.

Saat ulang tahun, kita rayakan. Tapi cuma satu tahun satu kali. Kenapa kita membatasi diri, kenapa hanya bergembira setahun sekali?

Bisa dong kita bergembira setiap hari?
Alangkah bagusnya, daripada cuma setahun sekali."


Wkwkwkwk.....
Selamat hari biasa
(bukan hari ulang tahun), tante!

Kamis, 17 Desember 2009

PRICELESS - The Most Precious Thing

Seorang biksu bertanya pada Ts'ao-shan: "Apakah yang paling berharga di dunia ini?"

Ia menjawab: "Tengkorak kucing yang mati terkapar di tanah."

Biksu itu terkejut dan bertanya menegaskan: "Kenapa tengkorak kucing menjadi benda yang paling berharga?"

Ts'ao-shan menjawab: "Karena tidak ada nilai dan tidak ada harganya."



A monk asked Ts'ao-shan, "What is the most precious thing in the world?"
He answered, "It is the skull of a dead cat on the ground."
The monk was surprised by this answer and again asked, "Why is the skull of a dead cat the most precious thing?"

Ts'ao-shan said, "It is beyond any value and price."

Rabu, 16 Desember 2009

Tribune Chronicle, 8 Desember 2009

LUCASVILLE -- Kenneth Biros Buddhist spiritual advisers, Eric Wineburg and Bradley Butters, asked prison officials if the condemned killer could wear a white scarf for his scheduled execution.

A prison spokeswoman said she did not know the significance of the white scarf. Biros advisers request was denied, but the Trumbull County murderer would be permitted to hold the scarf during his death by lethal injection.

Wineburg and Butters met with Biros Monday and this morning. Monday afternoon they gave Biros three communion wafers. They returned early in the evening to give Biros five meditation CDs.

Biros listened to CDs, wrote, watched TV and read from a book throughout the evening. After asking for his cell lights to be turned off around 12:30 a.m. he listened to CDs with headphones until falling asleep around 3:30.


Kenneth Biros, seorang terpidana yang dihukum mati dengan cara suntikan tunggal tidak diperkenankan memakai kata - sebuah selendang putih yang biasa digunakan sebagai persembahan umat Buddha Tibet. Pengacara Biros telah mengajukan permohonan agar klien mereka dapat menggunakan selendang tersebut saat eksekusi. Permintaan tersebut ditolak pengadilan, namun Biros diperkenankan memegang selendang itu dalam genggaman tangannya.

Biros dinyatakan bersalah atas pembunuhan dan mutilasi seorang wanita yang bertemu dengannya di bar tahun 1991.

Selasa, 15 Desember 2009

TAKE HIM OUT? Ha ha ha .....

Konon khabarnya, sebuah toko baru saja dibuka di New York, khusus menyediakan SUAMI untuk para wanita yang serius ingin membelinya. Cuma ada syaratnya :
1. Setiap wanita hanya boleh datang SATU KALI SAJA.
2. Toko itu bertingkat. Semakin tinggi lantainya, semakin tinggi kualitas suami yang tersedia di lantai tersebut.
3. Apabila ingin memilih suami yang lebih bagus kualitasnya, wanita calon pembeli boleh naik tangga ke lantai yang lebih tinggi. Tetapi, tidak diperkenankan berubah pikiran dan turun kembali ke lantai yang lebih rendah.
4. Kalau mau turun, harus lewat lift dan langsung KELUAR GEDUNG.

Demikianlah ada seorang wanita yang pergi ke toko tersebut dan mencari suami yang cocok untuknya.

Di lantai satu, terbaca tulisan : Lantai satu - Para calon suami di lantai ini semua mempunyai penghasilan yang mapan dan bertanggung jawab.

Di lantai dua tertulis : Lantai dua - Para calon suami di lantai ini semua mempunyai penghasilan yang mapan, bertanggung jawab, dan menyayangi anak-anak.

Di lantai tiga tertulis : Lantai tiga - Lelaki di lantai ini mempunyai penghasilan mapan, bertanggungjawab, mencintai anak-anak dan ganteng.

"Wow," gumam wanita itu, tapi ia merasa tetap ingin naik ke lantai atas dan memilih yang lebih baik lagi.

Ia pun naik tangga ke lantai empat dan membaca : Lantai empat - Lelaki di lantai ini semua memiliki penghasilan mapan, bertanggungjawab, mencintai anak-anak, guanteeeeng banget dan pandai memasak.

"Oh, aduhai!" katanya, "mana tahan...!"

Namun ia tetap memilih naik ke lantai yang lebih tinggi dan membaca : Lantai lima - Para lelaki di lantai ini semua memiliki penghasilan mapan, bertanggungjawab, mencintai anak-anak, sangat ganteng sekali, pandai memasak, dan romantis!

Wanita itu sudah sangat tertarik dan sebenarnya ingin segera memilih dari lantai lima itu saja, tapi akhirnya toh ia memutuskan juga untuk naik ke lantai enam.

Di lantai enam terbaca : Anda pengunjung yang ke 4,363,012 ke toko ini. Di lantai ini tidak ada lelaki. Lantai ini disediakan khusus untuk membuktikan bahwa kaum wanita itu selalu tidak pernah bisa merasa puas.
Terimakasih telah datang memilih suami di toko ini. Hati-hati di jalan, dan selamat menunggu suami ideal Anda!


Wkwkwkwkwk....!
Terimakasih kepada Nithya Shanti atas ceritanya, dan mohon maaf kepada para wanita.
Sebenarnya sih harus ada juga cerita TOKO CALON ISTRI dan ada lelaki yang datang mencari istri ke sana, ya?

Senin, 14 Desember 2009

MAURITIUS

Seperti saya jelaskan, catatan ini bukan secara kronologis.

Sebenarnya sebelum ke Afrika Selatan saya telah lebih dahulu mengunjungi Mauritius. Negara ini adalah sebuah pulau kecil yang hampir tidak nampak di peta. Letaknya di sebelah timur negara pulau Madagaskar. Luasnya sekitar dua kali lebih besar daripada Singapura, dan penduduknya sekitar 1,2 juta jiwa saja. Kebanyakan keturunan India, keturunan Eropa, keturunan Afrika dan keturunan Cina. Jadi sulit mencari penduduk aslinya. Pendek kata semua sudah merasa sebagai Orang Mauritius, dan bangga dengan kekayaan mereka sebagai bangsa multi rasial.
Mereka semua berbicara dalam bahasa Creol, yaitu campuran bahasa asli dengan bahasa Prancis. Aneh juga rasanya mendengar 'bonjour' diucapkan pagi-pagi oleh seorang yang jelas-jelas etnis India dan dijawab dengan 'ca va?' oleh seorang yang jelas-jelas etnis Cina!

Kunjungan pertama saya ke Mauritius melulu kerja. Untunglah dalam perjalanan pulang, pesawat dari Afrika Selatan tidak bisa langsung ke Singapura melainkan harus stop satu malam di Mauritius. Jadi saya punya kesempatan sejenak untuk menelusuri pulau ini secara santai. Cuma satu yang ingin saya kunjungi, yaitu mudah-mudahan ada sebuah vihara.

Harap-harap cemas saya tanyakan kepada bung Yousouf, yaitu sopir taksi langganan saya di pulau ini. Ternyata keturunan etnis India yang beragama Islam ini mengetahui bahwa ada sebuah 'boudhis temple'. Kami pun meluncur ke sana.

Sebuah bangunan bergaya Cina segera mengesankan sebuah kelenteng. Setelah melewati gerbang, saya masuk ke halaman yang bersih tertutup lantai semen. Di depan seperti layaknya tempat ibadah Cina, ada sebuah tempat dupa yang besar. Pintunya tidak terkunci, jadi saya langsung saja masuk ke altar utama. Namo Omitofo tertulis di mana-mana. Di altar utama, tiga Buddha (Bhaisajya Guru, Sakyamuni dan Amitabha) bersaput keemasan bertahta dengan agungnya. Saya pun bernamaskara.

Ternyata vihara itu dihuni oleh para wanita awam yang menjalani kehidupan seperti anagarini. Mungkin di Indonesia kita lebih mengenal dengan sebutan Cayci/Cayma. Ada empat orang yang saya temui, dan mereka menyambut ramah apalagi setelah mengatahui saya datang dari negeri yang jauh sekali.
Indonesia? Di mana itu? Ooo, di sebelah Singapura ......

Komunikasi berlangsung alot dengan bahasa gado-gado. Kalau sudah kepepet masing-masing bergegas menggunakan bahasa yang paling dikuasainya.
Mandarin, Inggris, Prancis, Hakka, Kongfu campur aduk semua.

Saya diajak naik ke lantai dua. Di sana ada altar lagi. Lalu ke lantai tiga. Bagian ini terbuka, namun sebuah buddharupa dari Thailand setinggi satu meter lebih bertahta anggun dalam sebuah bangunan berkaca yang sengaja dibuat. Patung ini hadiah dari Kementrian Luar Negeri Thailand dan Konsulat Jendral Thailand di Mauritius. Wah, aktif juga ya orang-orang Thai ini.

Para Cayci/cayma itu menjelaskan bahwa cukup lumayan umat yang datang membaca sutra pada hari-hari uposatha. Selain itu tentu seperti di Indonesia mereka juga meyelenggarakan upacara khusus untuk para arwah. Saya lihat di belakang ada yang sedang asyik membuat sesuatu dari kertas sembahyang untuk dibakar.

Begitulah. Di Mauritius, Agama Buddha menciut jadi agama segolongan orang Cina. Para penduduk etnis India di sana kebanyakan malah Muslim, atau Hindu, atau (sebagian kecil) Kristen. Untunglah di tengah himpitan masa, Agama Buddha itu masih bisa bertahan. Mungkin dengan bentuknya yang begitu, justru malah ia lebih ulet berkutet melawan waktu.

Dengan ini berakhir dulu catatan perjalanan saya. Sampai jumpa dalam catatan selanjutnya, kalau Anda belum bosan.

9 Oktober 2000

Minggu, 13 Desember 2009

TANJUNG PENGHARAPAN

Tempat lain yang juga "wajib" di negeri Afsel tentunya adalah Tanjung Pengharapan atau "Cape of Good Hope". Titik paling selatan dari benua Afrika ini, mulanya dinamakan Tanjung Badai atau Cape of Storm oleh Vasco da Gama, karena saat ia tiba di sana, ia putus asa mencari jalan ke India karena diterjang badai. Untunglah beberapa tahun kemudian dalam percobaan pelayaran berikutnya ia bisa mengitari tanjung ini, sehingga dengan penuh pengharapan ia bisa mencapai India melalui laut (waktu itu tentu saja belum ada terusan Suez).

Sesingkat apapun waktu yang saya punya, saya nekatkan pergi ke Tanjung Pengharapan ini pada pagi hari sesaat sebelum saya berangkat ke bandara Cape Town. Dari hotel, begitu selesai sarapan, sopir taxi segera ngebut sebab jaraknya cukup jauh. Sekitar satu setengah jam. Asyik juga saya menikmati pegunungan batu karang di sekitar Cape Town. Ada Puncak Kepala Singa (Lion's Head Peak), ada juga Pegunungan Meja (Table Mountain) yang kadang bila diselimuti awan putih nampak seperti meja yang rapi dengan taplaknya, sampai-sampai penduduk setempat mengatakan Sang Ibu (Cape Town adalah salah satu Ibukota Afsel) sudah siap menjamu tamu-tamunya!

Deretan bukit lainnya antara lain disebut 12 apostles, yaitu 12 murid utama Yesus. Memang agama Kristen cukup terasa pengaruhnya di sini. Namun ketika saya tanyakan kepada penduduk asli, umumnya mereka mengatakan bahwa mereka beragama Sion, dan tidak mempunyai gereja. Mereka melaksanakan kebaktian dengan berkumpul di bawah pohon, menyanyikan puji-pujian sambil bertepuk tangan dan menari sesuai budaya Afrika. Suatu akulturasi yang bagus, pikir saya.

Sejak sebelum berangkat, sampai sepanjang jalan, sopir taxi yang merangkap pramuwisata ini menjelaskan berulang-ulang kepada saya bahwa di Tanjung Pengharapan, kita bisa mengagumi dua samudra sekali gus. Di Timur tentu Samudra Hindia, dan di Barat Samudra Atlantik. Katanya lagi, air Samudra Hindia itu hangat, sedangkan air Samudra Atlantik terasa dingin. Apakah benar begitu saya tidak sempat merasakannya sendiri, sebab Tanjung Pengharapan yang kita singgahi terletak di atas bukit karang dan air laut berada jauh, jauh sekali di bawah kita.

Karena Tanjung Pengharapan adalah titik paling selatan dari benua Afrika, maka jika kita memandang ke Selatan, tidak tampak ada daratan lagi. Sejauh mata memandang, hanya laut lepas yang indah membiru. Pemandangan dari atas sini memang menakjubkan. Ombak seakan memecah dengan gerak-lambat (slow-motion), kemegahan alam tak terkatakan. Samudra Hindia maupun Samudra Atlantik memang terlihat sekali gus. Suatu hal yang tidak bisa kita alami di tempat lain.

Bagi saya pribadi muncullah perenungan, bahwa yang disebut Samudra Hindia maupun Samudra Atlantik itu hanya sekedar nama yang diberikan manusia. Pada kenyataannya, kita tidak bisa menarik garis batas secara tegas, tidak ada batas yang memisahkan keduanya. Kita hanya melihat satu samudra maha luas, yang isinya sama dan tak terbatas.

Kehidupan seakan terpisah menjadi kesatuan-kesatuan individu yang terpisah dan bisa diberi nama sendiri-sendiri. Namun pada hakekatnya, kehidupan itu sama, tak ada batasnya. Naiklah ke Tanjung Pengharapan dan kita akan melihat satu samudra. Panjatlah Gunung Cintakasih dan kita akan merasakan kesamaan semua mahluk.

Di Tanjung Pengharapan saya terdiam sejenak, merasakan hilangnya batas-batas.
Merasakan anatta?


(besok - Mauritius)
6 October 2000

Sabtu, 12 Desember 2009

KEJUTAN KEDUA

Kejutan kedua saya alami ketika bangun pagi di hotel. Bosan menonton CNN, saya ganti channel televisi. Nampak seorang berdasi sedang bicara di hadapan khalayak yang juga rupanya dari kalangan eksekutif. Gaya bicaranya sangat meyakinkan. Dari isi pembicaraan, saya simpulkan bahwa ia sedang melakukan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan pribadi, katakanlah semacam motivational-training, gitu.

Yang menarik, ia lalu mengajak hadirin untuk memperhatikan kedua hal ini : Sebab dan Akibat. Wah, hukum karma, nih, pikir saya. Asyik juga untuk disimak, ah!

Pembicara itu, A.R. Bernard, mengatakan bahwa kita sering mendengar kata-kata "sebab" dan "akibat". Karena ada sebab, maka ada akibatnya. Ia menekankan kepada hadirin, bahwa kini sudah saatnya kita melihat kata-kata ini dengan suatu sudut pandang baru, yaitu : "Bahwa segala sesuatu itu merupakan akibat (effect) dari suatu sebab (cause)". Karena itu dengan asumsi yang sama, kita bisa menarik kesimpulan, katanya, bahwa keadaan kita sekarang pun ada sebabnya!
Kita menjadi seperti kita sekarang ini, karena suatu sebab, dan sebabnya itu adalah diri kita sendiri!"
(Hadirin bertepuk tangan riuh rendah).

Pembicara juga mengajak hadirin untuk mengulang kata-kata :
"Saya menjadi seperti sekarang ini, karena sesuatu sebab yang saya lakukan, atau yang lalai saya lakukan, di masa lalu. Saya menjadi seperti sekarang ini, karena sesuatu yang saya lakukan di masa lalu, baik positif, maupun negatif."

Selanjutnya pembicara meminta sidang hadirin saling bertatap muka dengan orang yang duduk di sebelahnya. Ia kemudian menyuruh para hadirin untuk mengulangi kata-katanya, seakan berkata kepada orang yang duduk di sebelah tersebut :
"Kamu menjadi seperti sekarang ini, karena SALAH KAMU SENDIRI"!

Hadirin bertepuk tangan lagi dan tertawa-tawa.

Ya, ia menegaskan, semua terjadi karena kesalahan kamu.
Karena itu, kalau kamu ingin menjadi lebih baik, lebih kuat, lebih maju, lebih kaya, lakukan sesuatu SEKARANG! Hal itu akan mengubah kehidupanmu, akan mempengaruhi kehidupanmu, akan membuat kamu menjadi orang yang kamu inginkan.

Setelah itu datanglah kejutan buat saya.
Pembicara lalu meminta hadirin untuk mengaminkan kata-katanya, dan para hadirin menggumamkan amin secara serempak. Haleluyah, puji Tuhan! Kata pembicara itu. Inilah, saudara-saudara, rahasia yang diungkapkan Tuhan kepada kita semua melalui Yesus.

Lha! Saya ternganga ... ...

Selanjutnya kutipan demi kutipan ayat Alkitab mengalir dengan lancar, yang pada pokoknya menyatakan bahwa sukses duniawi adalah sesuatu yang memang sudah disiapkan Allah bagi mereka yang percaya, yaitu orang-orang Kristen.
Bisa saja ada umat yang tidak percaya tapi sukses, dan hal itu terjadi karena mereka menerima Hukum Tuhan tetapi tidak menerima Yesus sebagai Tuhan, sehingga dikatakan oleh Yesus bahwa mereka itu bagai "pencuri" di Kerajaan Allah.

Sungguh sulit saya katakan apa perasaan saya ketika itu. Inilah Hukum Karma yang dijelaskan secara modern dan diterima oleh para orang modern, tapi menjadi komoditi Kristen yang laris dijual . . .

Apa yang sudah kita lakukan, rekan-rekan umat Buddha pecandu facebook .....?

(besok : Tanjung Pengharapan)
Ditulis 6 October 2000, diedit ulang 10 Desember 2009

Jumat, 11 Desember 2009

SUN CITY

Salam jumpa!
Mudah-mudahan rekan-rekan tidak bosan dengan catatan perjalanan saya. Kalau bosan ya engga usah dibaca deh.

Kali ini catatan saya dari perjalanan ke Afrika Selatan dan Mauritius.
Hanya sedikit, tidak seperti biasanya, karena selain waktunya lebih banyak saya curahkan untuk mengurus pekerjaan, juga karena perjalanan sangat melelahkan sehingga saya biasanya langsung tertidur begitu tiba di hotel.

Catatan yang saya tuliskan di sini tidak secara kronologis, karena toh merupakan flash-back dari apa yang muncul begitu saja.

Baiklah. Salah satu hal yang "wajib" bagi wisatawan di negara Nelson Mandela ini adalah kunjungan ke "Sun-City", sebuah kota dunia khayal yang terletak sekitar satu jam bermobil dari Johannesburg. Begitu masuk ke gerbang, kita diingatkan bahwa di wilayah kota ini berlaku "Sun-Buck", yaitu kepingan plastik senilai 15 rand (rand adalah satuan mata uang Afsel. Satu dollar Amrik setara dengan kurang lebih 7 rand, waktu itu).

Pengunjung membayar 40 rand untuk karcis masuk, dan otomatis menerima 2 keping sun-buck yang bisa Anda gunakan untuk belanja, atau berjudi!

Ya, Sun-City memang tempat judi maha luas. Aneka jenis judi bisa Anda temukan di sini. Mulai dari mesin-mesin jackpot dan sejenisnya yang bertebaran, sampai permainan Kim Bingo (ingat jaman Jakarta Fair di Gambir dulu), bahkan Casino ala Monaco. Roulette, baccarat, sebutlah apa saja, saya tidak tahu namanya tapi pasti ada di Sun-City ini, sehingga mungkin lebih tepat disebut "Sin-City", ya?

Pengunjung biasa mesti turun di pelataran parkir, lalu naik kereta api gratis menuju lokasi yang diinginkan. Para tamu hotel serta tamu penting (artinya yang punya banyak uang untuk dijudikan), bisa masuk langsung lewat gerbang khusus. Saya sendiri karena ikut taksi dari perusahaan tour, boleh masuk sampai Pusat Informasi. Sopir taksi menurunkan kami di sana dan berjanji akan menjemput sore nanti. Tak lupa ia berpesan, bahwa di sini segala sesuatu yang kita pegang bisa berubah menjadi "emas", tentunya kalau nasib kita baik. Kalau tidak, ya jadi emas juga, tapi buat bandarnya!!

Dari Pusat Info ada bis yang bisa mengantar kita keliling. Mulai dari Hotel Cabana yang paling murah, sampai Hotel Cascade yang dimiliki oleh Michael Jackson yang katanya dulu sering juga datang mengunjungi miliknya ini. Lalu Sun-City Hotel yang isinya judi melulu, terus ke hotel termahal di dunia, yaitu Palace of the Lost City. Semuanya indah-indah belaka dipandang mata.

Ada juga kolam renang raksasa yang menyerupai pantai lengkap dengan ombak buatan, serta papan luncur yang mirip air terjun. Sebuah jembatan menampilkan patung-patung gajah, kera raksasa, singa dan binatang rimba lainnya. Pada waktu-waktu tertentu daerah itu bergetar, mengeluarkan asap dari dry-ice dan terdengar suara menggelegar seakan-akan gempa bumi dan gunung mau meletus. Pada malam hari katanya ditambah dengan sinar laser sehingga tambah mengesankan sambaran petir!

Aneh. Buat saya dalam tempo yang tidak terlalu lama segenap kekaguman akan keindahan yang begitu wah itu tiba-tiba berganti dengan rasa muak karena rasanya jenuh. Sungguh terasa begitu palsu, artifisial. Semuanya semu, segalanya bentukan tanpa sedikitpun menyiratkan sesuatu yang alami.

Kemegahan buatan manusia itu tidak terasa menghibur, tapi menyakitkan.

Segera saya cari kedai makanan karena hari sudah semakin siang (untung ada pizza vegetarian!). Saya habiskan Sun-Buck buat makan dan minum. Daripada....

Saya segera menelepon sopir supaya langsung menjemput, tidak usah menunggu sore. Ia heran kok saya bisa begitu cepat selesai (mungkin ia mengira paling-paling saya kalah taruhan dan duit saya sudah habis).

Di perjalanan pulang ke Johannesburg saya malah lebih menikmati pemandangan alam. Satu-dua peternakan burung unta kami lalui. Juga karena hari itu libur maka ada beberapa pasar barang kerajinan yang digelar penduduk di sepanjang tepian jalan raya. Menjelang kemacetan di sebuah jembatan, saya sempatkan membeli sekotak strawberry yang menggiurkan. Harganya 5 rand, rasanya segar dan enak. Tapi yang besar hanya bagian atasnya saja, di bawahnya diisi dengan buah yang kecil-kecil. Sama aja kayak di Indo, ya?

Tahukah Anda apa yang diucapkan pedagang starwberry asongan itu? Ia berkata : "Thank you, Buddha! Shab, Buddha!"
Sopir taksi pun langsung menyambar : "Shab, Buddha! Thank you!"

Saya bingung, dan sopir taksi lalu menjelaskan bahwa itulah ucapan yang populer di Afrika Selatan. Bahkan sesama teman yang bertemu di jalan akan saling menyapa : "Hai, Buddha!"
Saya lebih bingung lagi karena sopir taksi itu malah bertanya pada saya, sebenarnya siapakah Buddha itu? Saya coba jelaskan sebaik mungkin, dan ia manggut-manggut tapi entahlah apakah ia mengerti atau tidak.

Saya masih menduga-duga bagaimana istilah Buddha bisa menjadi begitu populer tanpa orang mengerti siapa maksudnya. Karena tetap merasa gelap, saya simpulkan sederhana saja : Barangkali mereka nonton film kungfu Shaolin, dan Amitabha diterjemahkan di text film itu sebagai "Thank you, Buddha!". Barangkali ... ..?

(masih bersambung. Tunggu : "Kejutan Kedua")

CHENNAI ~ BANGALORE

Bulan Oktober tahun 2000 saya menempuh perjalanan dari Chennai ke Bangalore.

For ENGLISH please click this link STCI

Nama kota Chennai mungkin terdengar asing. Itulah nama sebuah kota pelabuhan utama di India Selatan. Sejak diserbu oleh orang-orang Islam, nama kota itu diganti dan menjadi terkenal dengan nama Madras. Pemerintah kolonial Inggris tetap mempertahankan nama itu. Baru beberapa tahun belakangan ini orang-orang India mencoba mengembalikan nama lama, dan mulai mempopulerkan kembali sebutan Chennai untuk kota Madras. Seperti Makassar untuk Ujungpandang, gitu kali ya?

Kota Bangalore sendiri adalah kota yang ideal dalam benak masyarakat India.
Soalnya katanya udaranya nyaman. Tidak terlalu dingin di musim dingin dan tidak terlalu panas di musim panas. Curah hujannya cukup, tidak sampai berlebihan sehingga menimbulkan banjir, namun cukup untuk membuat kota ini tampak hijau sepanjang tahun. Banyak taman dan kebun yang menyegarkan merata di semua penjuru kota. Tidak heran banyak kaum pensiunan lebih suka pindah dan bermukim di Bangalore ini.

Perjalanan saya tempuh dengan naik pesawat Jet Airways. Inilah untuk pertama kalinya saya naik pesawat domestik swasta India ini.
Biasanya saya naik Indian Airlines yang merupakan jaringan domestik Air India, semacam Merpati untuk Garuda kita. Wah, rasanya sungguh luar biasa. Tidak bisa kita bandingkan. Suasana ruang di dalam pesawat, pelayanan para awak kabin, sangat terasa bedanya antara perusahaan negara dengan perusahaan swasta.

Jauh lebih nyaman naik Jet Airways ini.

Saat sempat merogoh ke kantung kursi, saya menemukan sebuah amplop kosong.
Amplop itu bertuliskan "Gift a Smile. Please help the underprivileged children". Ternyata ini adalah bagian dari program "Save The Children". Dengan cerdik Jet Airways membantu kegiatan amal ini, dan di akhir perjalanan pramugara akan berkeliling mengedarkan "Magic Box" untuk mengumpulkan amplop yang telah diisi dana oleh para penumpang.

Organisasi yang berpusat di Mumbai (ha! ini juga nama lama yang 'baru' untuk Bombay!) ini menyatakan, bahwa :
- 50 rupee akan membantu biaya pendidikan dasar bagi seorang anak selama sebulan.
- 100 rupee berarti menyediakan makanan bergizi untuk seorang anak selama sebulan.
- 150 rupee memungkinkan biaya pelatihan ketrampilan kerja bagi seorang anak selama sebulan.
- 200 rupee akan membantu biaya kesehatan dan pengobatan untuk seorang pasien selama sebulan.
Satu dolar Amerika senilai kurang lebih 46 rupee (waktu itu), sehingga satu rupee kurang lebih bernilai 200 rupiah. Tidak terlalu berat untuk kantung Indonesia , memang, karena biaya di India termasuk murah.

Buat Anda yang ingin lebih banyak tahu tentang kegiatan ini, silakan kunjungi website mereka :
http : www.savethechildrenindia.org

Silakan langsung saja, ya?


8 Desember 2000

Kamis, 10 Desember 2009

Maitreya Bodhi Stupa

Gurpa, Bihar, India - 2 Desember 2009

H.H. Gyalwang Karmapa meresmikan Maitreya Bodhi Stupa, yang terletak di puncak bukit di Gua Mahakassappa (Rewo Jakhang).

For photos please click this link PICASSA WEB ALBUM.

Gunung Kukkutta Padagiri terletak di daerah Gurpa, Bihar, dua jam dengan kendaraan dari Bodhgaya. Dari tempat parkir mobil ke puncak bukit mesti ditempuh dengan jalan kaki selama hampir satu jam.

Bhikkhu S.T. Ananda dari the Asian Buddhist Culture Center, Bodhgaya, menyambut H.H. Karmapa di puncak bukit. Bhikkhuni Sik Tsi, sponsor utama pembangunan Stupa, bersama dengan Master Ching Yao dan para anggota Sangha lainnya turut hadir.

Stupa ini dibaktikan untuk Buddha Maitreya, Maha Kassappa dan Arya Asanga. Menurut kitab-kitab Tibet, Arya Asanga pernah bermeditasi selama 12 tahun di gua di puncak bukit ini.

Rabu, 09 Desember 2009

Usulan nominasi Nobel Perdamaian untuk Master Cheng Yen

The China Post, December 4, 2009
Taipei, Taiwan -- Penerima Nobel Perdamaian tahun ini, President Barack Obama dari Amerika Serikat, sebenarnya belum banyak berperan bagi perdamaian dunia.

For ENGLISH please click here THE CHINA POST

Karena itulah seorang penerima Nobel dari Jerman yang sedang berkunjung ke Taipei merencanakan untuk mengusulkan Venerable Dharma Master Cheng Yen sebagai penerima hadiah tersebut tahun depan.

Dr. Harald zur Hausen, direktur the German Cancer Research Center di Heidelberg dan penerima Hadiah Nobel Kedokteran tahun lalu, ingin merekomendasikan Master Cheng Yen atas usahanya yang penuh cinta kasih bagi seluruh dunia. Beliau dapat disetarakan dengan Ibu Teresa dari Calcutta, yang merintis Missionaries of Charity dan memenangkan Nobel Perdamaian tahun 1979.

Professor Hausen mengunjungi Hualien, kantor pusat Buddhist Tzu Chi Foundation yang didirikan oleh Master Cheng Yen. Seperti juga Society of Missionaries, yayasan yang didirikan oleh Master Cheng Yen pada tahun 1966 ini dimulai sangat sederhana dengan peserta awal 30 ibu rumahtangga. Saat ini telah lebih dari 5 juta anggota di 45 negara dalam waktu 43 tahun.

Selasa, 08 Desember 2009

Kuan Yin tertinggi di Asia Tenggara

PENANG, Malaysia ~ The Star, 7 Desember 2009

For ENGLISH pleasee see video below this text.

Anjungan setinggi bangunan 20 tingkat yang menaungi patung Kuan Yin di Vihara Kek Lok Si, Air Itam, Penang, diresmikan kemarin.

Hadir lebih dari 3.000 bhikkhu dari Malaysia, Cina, Taiwan, Cambodia, Thailand dan Bhutan.
Selain itu tak kurang dari 10.000 wisatawan dan umat turut menyaksikan menyaksikan peristiwa bersejarah peresmian anjungan setinggi 60,9 meter yang ditunjang oleh 16 tiang granit. Anjungan itu menelan biaya 40 juta ringgit Malaysia (atau sekitar Rp.111.307.830.000,-)

Dalam kesempatan itu Minister in the Prime Minister’s Department Tan Sri Dr Koh Tsu Koon, menyerahkan sumbangan pemerintah federal senilai satu juta ringgit Malaysia untuk vihara yang sudah berusia 118 tahun itu. Prime Minister Datuk Seri Najib Tun Razak juga mengirimkan salam dan ucapan selamat untuk para umat Buddha Malaysia. Dr Koh mengatakan Vihara Kek Lok Si telah menjadi vihara Mahayana terbesar di Asia Tenggara, dan sekali gus menjadi lokasi wisata yang menarik, serta bukti kebebasan beragama di Malaysia.

Vihara Kek Lok Si didirikan oleh mendiang Most Venerable Miao Lian pada tahun 1891 dan menjadi semakin maju saat pimpinan mendiang Ven. Bai Sheng.