Senin, 21 Juni 2010

AJE, AJE, BARA AJE

Karma mengantarkan dua orang wanita muda, cantik, ke gerbang vihara. Keduanya menjadi bhikshuni, namun menjalani kehidupan dengan dua sikap bebeda.

For ENGLISH please see COME, COME, COME UPWARD

Sun Nyog kurang disiplin. Ia menyelamatkan seorang pemabuk yang nyaris bunuh diri; sayang akhirnya diperkosa. Sun Nyog terpaksa keluar dari vihara. Seorang bhikshuni lain, Jin Song, tekun dan taat, bahkan sempat melaksanakan retreat di sebuah gua di pegunungan sepi.


Akhir cerita memunculkan Sun Nyog sebagai manusia yang lebih bijaksana dan kembali ke vihara untuk selamanya, menggantikan kepala vihara yang meninggal karena sudah tua. Sebaliknya Jin Song malah beralih, kembali menjadi umat biasa.


Cerita yang sederhana dan digarap dengan sederhana pula oleh sutradara Im Kwon-taek. Kang Soo-yeong yang memerankan Sun Nyog, sebenarnya bermain secara lebih cemerlang dalam film "The Surrogate Woman" arahan sutradara yang sama. Perannya di film itu memenangkan penghargaan sebagai aktris terbaik dalam Venice Film Festival.


PENGHARGAAN dari Moscow International Film Festival :
- Best Film (Grand Bell Awards)
- Best Actress (Bronze St. George) untuk Kang Soo-yeon
- Special Prize untuk Im Kwon-Taek

Produksi tahun : 1989
Sutradara : Im Kwon-taek
Produser : Lee Tae-won
Naskah : Han Sung-won
Artis : Kang Soo-yeon, Jin Yeong-mi, Yu In-chon, Han Ji-il dll
Musik : Kim Jeong-kil
Cinematography : Ku Jung-mo
Editor : Park Sun-duk
Masa putar : 134 minutes

Sabtu, 12 Juni 2010

Katanya..., katanya...

Imajinasi dan daya khayal memang sangat memegang peranan penting di Guilin.

For ENGLISH please see "An Arrow that Pierced through Three Hills".


Lambang kota Guilin adalah sebuah batu.
Tentu bukan batu sembarang batu. Sebuah gunung batu yang terletak di tepi sungai, ramai dikunjungi orang setiap hari. Konon dengan imajinasi yang cocok, batu itu terlihat bagai seekor gajah yang sedang minum air sungai! Itulah gajah surgawi, yang ditinggal di Guilin oleh Raja Langit karena gajah itu sakit. Lama kelamaan gajah itu betah tinggal di guilin dan menampik untuk kembali ke langit. Saat sedang minum air sungai, sebuah panah Raja Langit menembus tubuhnya dan gajah itu mati membatu.
(Paduan suara latar menyanyi serentak : "katanya, katanya...").

Sebuah kisah yang tak kalah bombastis bercerita tentang Jendral Ma Yuan alias jendral yang juga bergelar Jendral Fubo (lihat notes aki Seribu Buddha di Bukit Fubo, ya?).

Kaisar Han yang kuatir akan serbuan kerajaan Xu Tu, mengumpulkan para menteri dan penasehatnya. Seorang jendral yang sudah beruban dan berjenggot panjang secara spontan mengajukan diri untuk menumpas serbuah musuh tersebut. Kaisar kuatir karena sang jendral terlihat sudah tua:
"Umur berapakan Anda, jendral?"
"Hamba masih muda, baru 99 tahun," jawab jendral sambil tertawa.
"Anda pikir 99 tahun masih muda?" kaisar turut tertawa.
"Baginda, hamba mungkin sudah lanjut usia. Namun hamba masih kuat. Lebih baik hamba mati bertempur di medan perang daripada duduk diam di rumah."
Kaisar menolak : "Jendral, lebih baik Anda pulang dan bermain dengan cucu-cucumu."

Jendral itu bangkit dan dengan sekali ayun membanting pecah kursi cendana yang sebenarnya sangat keras kayunya. Para hadirin kagum. Kaisar Han akhirnya setuju dan menugaskan Jendral Ma Yuan. Jendral yang juga bergelar Jendral Fubo itu segera menuju perbatasan dengan kerajaan Xu Tu di selatan.

Dalam upaya menyelidiki keadaan di kerajaan Han, Raja Xu Tu diam-diam mengirim utusan yang juga bertindak sebagai mata-mata. Mereka bertemu di Guilin.

Mengetahui bahwa Jendral Ma Yuan membawa sretaus ribu pasukan, mata-mata itu ciut nyalinya. Ia mempersembahkan upeti kepada Jendral Ma Yuan dan mengajak berdamai. Jendral Ma Yuan setuju, dengan syarat bahwa orang-orang Xu Tu harus mundur dari wilayah Han.

"Mundur berapa jauh?" tanya utusan itu.
"Sejauh anak panah yang aku lepaskan dari busurku," kata Jendral Ma Yuan.

Dengan gembira utusan itu setuju. Guilin dikelilingi gunung, dan anak panah pasti tidak akan bisa terbang jauh.


Ternyata di luar dugaan! Anak panah yang dilepaskan oleh Jendral Ma Yuan menembus tiga buah gunung sebelum akhirnya jatuh di pegunungan Feng Mao. Kerajaan Xu Tu terpaksa mundur sampai jauh, dan Jendral Ma Yuan alias Jendral Fubo sangat dihormati di Guilin.
Jarak yang ditempuh oleh anak panah itu kurang lebih 250 kilometer! Kalau saja legenda ini benar, maka sungguh suatu rekor dunia yang belum terpecahkan sampai saat ini...
(dan paduan suara latar serempak bernyanyi: "katanya, katanya...")

Tentu ini kisah yang kita dengar dari orang-orang Cina. Dari orang-orang Vietnam (dulu kerajaan Xu Tu), ceritanya lain lagi... hehehe...
Para pejuang Vietnam dengan gagah berani menentang imperialisme Cina!
"...However, in AD 40, Vietnamese women, i.e., Zheng (or Trung) sisters, rebelled with support from Li-ren barbarians from Jiuzhen, Rinan and Hepu. The non-Chinese people of Wuling commandery, especially the people in Wuqi ["Five Gorges"], on the upper reaches of the Yuan River, by the present-day Hunan-Guizhou border, defeated local Han army in 48 AD. General Ma Yuan would mount a full campaign in the south. General Ma Yuan erected bronze monuments in eulogy of his victories. He erected a kind of gate on the West River. Ma Yuan went further southward and he also set up some bronze monuments in Champa, today's central to southern Vietnam. "New History Of Tang Dynasty" recorded that there were ten households in the name of Ma dwelling in Champa area, and those people refused to return to China with General Ma. 500 years later, by Sui Dynasty, the ten families had multiplied into 300 households..."

Selanjutnya, terserah imajinasi dan daya khayal Anda...

(PS... sssstt seniman pematung mungkin lupa berimajinasi bahwa Jendral Ma Yuan berjenggot panjang! Kok di patung ga ada jenggotnya ya? Hehehehe....)

Jumat, 11 Juni 2010

Vihara (tapi BUKAN Vihara!)

Taman terbesar di kota Guilin adalah Qi Xi Gongyuan (Taman Tujuh Bintang) seluas lebih dari 120 hektar.

For ENGLISH please see SEVEN STARS PARK.


Terletak di bantaran timur Sungai Li, taman ini penuh dengan pemandangan yang mempesona. Ada dua buah bukit utama, yaitu Bukit Pu-tuo dengan empat puncak dan Bukit Bulan Sabit dengan tiga puncak. Ada yang mengatakan, karena tujuh buah puncak itulah taman ini diberi nama Taman Tujuh Bintang (bukan Bintang Tujuh!).

Namun yang paling sering dibanggakan kepada para turis (baik wisman maupun wisnu) adalah Bukit Unta. Foto Bukit Unta juga lah yang sering kita lihat di brosur promosi keindahan Guilin. Pada kenyataannya, yang disebut Bukit Unta tentu saja bukanlah sebuah bukit yang banyak untanya, tapi sebuah bukit batu setinggi 20 meter. Dilihat dari jauh, (dan ditambah imajinasi yang banyak), bukit itu memang terlihat bagai seekor unta berpunuk dua yang sedang duduk. Atau kalau imajinasi sedang berkata lain, bisa juga batu itu bentuknya seperti poci teh, dan memang pada jaman dahulu bukit itu disebut juga Bukit Poci Teh!
Up to you deh, hehehe...


Di dalam taman juga ada sebuah vihara bernama Cen Ching Si (Vihara Sungguh Suci). Tapi itu bukan vihara yang lazim kita kenal. Bangunannya memang mengesankan dengan arsitektur gaya Cina, tapi sesudah masuk ke dalam, barulah kita tahu bahwa itu bukan sebuah vihara. Itu adalah sebuah mesjid! Hehehe... kecele!

Tak heran di papan nama di atas gerbang, selain tulisan Cina Cen Ching Si, juga ada kaligrafi Arab bertuliskan Allah dan Muhammad dalam lingkaran di kiri kanannya.

Umat Buddha yang ingin merasakan pengalaman spiritual Agama Buddha di Taman Tujuh Bintang ini perlu masuk lebih jauh ke dalam, ke Bukit Pu-tuo yang memang dinamakan untuk mengenang keluhuran Avalokitesvara Bodhisattva. Malahan ada juga makanan khas yang terkenal dijual di sini. Namanya "Mie para Bhikshuni". Rasanya? Hmmm... coba aja sendiri dong!

Kamis, 10 Juni 2010

Seribu Buddha di Bukit Fubo





Kunjungan ke Guilin tentulah harus juga ke Bukit Fubo.


For ENGLISH please click THIS LINK.



Di bukit ini memang ada kuil untuk menghormati Jendral Fubo. Selain itu, nama Fubo berarti juga "menahan gejolak arus" dan memang bukit yang separuh terletak di darat dan separuh di sungai ini mampu meredam arus Sungai Li yang sering meronta.

Ada juga gua "Mengembalikan Mutiara". Konon seorang anak gembala mengambil mutiara saat seekor naga sedang tidur. Naga marah dan air Sungai Li bergejolak. Untuk mengembalikan ketenangan, masyarakat meminta anak itu mengembalikan mutiara kepada naga.
Kisah yang lain adalah Jenderal Fubo yang sedang naik perahu kembali ke istananya sambil membawa tanaman obat-obatan, digossipkan mengangkut mutiara dalam kapalnya. Maka dengan marah Jenderal Fubo menuangkan isi kapal itu ke sungai, dan dengan demikian "mengembalikan mutiara" ke alam. Wallahu'alam.


Yang jauh lebih menarik sebenarnya adalah keberadaan ukiran di dinding gua berupa Buddharupang dan Bodhisattvarupang. Peninggalan dinasti Tang (618~907 Masehi) yang sudah berumur lebih dari seribu tahun ini memang tidak lagi lengkap seribu. Ada 239 rupang yang terpampang di 36 panel di bagian atas gua bertingkat tiga ini.


Ada satu tambahan lagi di Bukit Fubo. Sebuah periuk logam besar ditempatkan di salah satu paviliun yang ada di sana. Tadinya periuk itu berasal dari sebuah vihara, hanya digunakan setahun sekali untuk membuat "bubur Sujata" memperingati Wesak. Ketika perang dengan Jepang, periuk itu rusak dan alasnya bolong. Kini periuk itu sengaja disimpan di Bukit Fubo sebagai salah satu peninggalan sejarah.

Pernahkah Anda mencicipi "bubur Sujata?" Ikut Ki Ananda ke India deh, entar aki ajak menikmati bubur yang khas ini!

O ya. Di Bukit Fubo juga ada kiosk penjual souvenir. Sambil menjual seruling, penjajanya memainkan lagu2 sesuai dengan tamu yang datang. Kalau datang rombongan orang-orang Jepang, ia main lagu Jepang.

Saat Ki Ananda di sana, ia memainkan lagu Butet dan Bengawan Solo. Asyik juga, ya?

Senin, 07 Juni 2010

HARAPAN DAN KEWAJARAN

Alkisah, seorang biksu muda ditugaskan mengurus sebuah vihara tua. Letaknya terpencil di puncak gunung.

Biksu mudah itu merasa sangat gembira. Ia memang sedang sangat bersemangat. Membangun kembali vihara yang sudah usang merupakan kesempatan baik untuk membuktikan bahwa ia mampu mengurus sesuatu dengan baik. Ia mencurahkan segenap usahanya sehingga vihara itu kelak akan menjadi vihara yang sempurna, sesuai dengan idealismenya.

Di vihara tersebut juga tinggal seorang biksu tua. Biksu itu sudah sangat tua sehingga ia tidak lagi mengajar, dan hanya melewatkan waktunya dengan meditasi dan hidup penuh ketenangan. Wajarlah biksu muda itu pun membantu mengurus segala keperluan biksu tua. Mempersiapkan makanan dan lain-lain.

Suatu hari, ada berita bahwa guru biksu muda itu akan berkunjung ke vihara tersebut, bersama teman-teman biksu muda itu dari vihara yang dulu ditempatinya. Tentu mereka semua akan datang meninjau, sampai sejauh mana keberhasilan biksu muda melaksanakan tugasnya.

Sejak pagi biksu muda sudah bersiap menyambut rombongan gurunya. Semua sudut dibersihkannya dengan baik dan rapi. Ia ingin membuktikan kepada guru dan teman-temannya, bahwa ia mampu melaksnakan tugasnya.

Malam sebelumnya angin bertiup kencang sekali. Halaman vihara penuh dengan tumpukan daun yang berserakan dari pohon besar yang ada di tengah taman. Biksu muda menyapu dengan giat dan penuh semangat. Semua daun dikumpulkan, dimasukkan ke dalam tempat sampah dan diangkut lalu dibuang. Seluruh kegiatannya diperhatikan dengan cermat oleh biksu tua dari teras kamarnya.

Setelah selesai bekerja keras dan membersihkan semua, biksu muda menengok ke arah biksu tua dan menanyakan komentarnya.

"Bagus, bagus!" kata biksu tua itu. "Hanya tinggal satu lagi yang harus dilakukan supaya benar-benar sempurna."

Biksu muda itu bingung. Rasanya ia telah melakukan semuanya dengan baik dan benar.

"Tuntun saya ke halaman. Nanti saya tunjukkan." lanjut biksu tua itu.

Dengan sedikit ragu dan tidak mengerti biksu muda itu menuntun biksu tua ke halaman. Namun ia juga sudah cukup lama mengenal biksu tua itu sehingga ia yakin ada sesuatu yang tidak terduga yang akan dialaminya.

Biksu tua itu langsung menuju pohon dan dengan segenap sisa tenaganya yang rapuh, mengoyang-goyangkan pohon. Daun-daun berjatuhan, kembali berserakan di setiap jengkal halaman.

Tidak ada waktu lagi untuk membersihkannya karena ternyata rombongan guru biksu muda itu sudah tepat tiba di gerbang vihara.

Biksu tua itu berkata dengan puas : "Nah, sekarang segalanya sempurna!"
Kita semua mempunyai persepsi sendiri tentang kesempurnaan. Kita membawa gagasan sendiri tentang apa yang "seharusnya". Kita menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengatur agar keadaan menjadi "sesuai" dengan keinginan kita.

Kita ingin mengatur segalanya. Keluarga, teman-teman, rekan sekerja, umat se-vihara. Kita mengira bahwa kalau semua sesuai dengan "harapan" kita, kita akan bahagia.

Gagasan kesempurnaan terus menerus menghadapkan kita dengan kenyataan kehidupan.

Gagasan itu, harus kita sadari, hanyalah gagasan. Sebuah konsep yang bukan hanya tidak selalu bisa diterapkan "sebagai mana mestinya" karena hidup nyatanya selalu berubah. Bahkan gagasan kita sendiri atas "kesempurnaan" itu pun mungkin berubah seiring bertambahnya usia kita.

Bahagia mulai dan berakhir dalam diri kita sendiri. Tidak ada yang dapat memberikannya kepada kita, tidak ada yang dapat mengambilnya dari kita. Kalau kita bergantung pada suatu keadaan tertentu untuk bahagia, maka kita bisa kehilangan kebahagiaan itu.

Tidak perlu ngotot menciptakan suatu dunia yang segalanya sesuai dengan apa yang kita anggap sebagai "seharusnya". Berdamailah dengan segala sesuatu apa adanya.


Daun jatuh dari pohon? Tidak masalah.
Melihat daun jatuh dan berharap jangan ada daun di taman, menimbulkan masalah.

Orang lain boleh setuju atau tidak setuju dengan pendapat kita, bukan masalah.
Ge-er merasa bahwa kita harus membuat mereka setuju, itu menyebabkan masalah.



From Higher Than Happiness
Published by Pannadipa Books
ISBN 1-899417-00-1

Minggu, 06 Juni 2010

MEMPERKAYA KARUNA, MENGEMBANGKAN MUDITA

KARUNA = Belas kasihan
MUDITA = Simpati, turut bergembira melihat keberuntungan orang lain


Pagi itu Philippe Prasetya tiba-tiba berkata :
Bagi kebanyakan orang, mudah untuk merasa kasihan terhadap yang lebih menderita. Kita lebih mudah memberi uang kepada mereka yang lebih miskin daripada kita, yang kekurangan. Kita memberi sedekah kepada orang cacat. Tetapi tidak mudah bagi kita untuk bersimpati pada orang yang lebih beruntung.

Cobalah lihat segi positif dari orang yang kita tolong. Mungkin mereka miskin, tapi lihat semangat hidupnya. Benar mereka cacat, tapi mereka tidak mudah putus asa dan tetap gembira.

Lihat positifnya, transformasikan karuna menjadi mudita.

Serba dualisme.
Seorang rekan di FB mengatakan bahwa fesbuk pun punya dua sisi. Ada positifnya, bisa menambah wawasan. Segi negatifnya bisa kecanduan, mesbuk tetus tak kenal waktu, melupakan anak-istri-suami dan kehidupan nyata yang sebenarnya tak boleh kita lalaikan.

Seorang rekan lainnya di FB mengatakan, betapa gersangnya India, kasihan para penduduknya yang miskin. Namun seperti kata seorang rekan lain yang juga di FB, bukankah Ajahn Brahm sudah memberi petunjuk yang bagus: Jangan melulu melihat dua batu bata yang salah pasang. Lihatlah juga 998 batu bata lainnya.

Demikianlah, lain kali melihat anak kecil mengamen di jalan, alih-alih jatuh kasihan, kembangkanlah mudita, rasakan rejoice dengan melihat kelincahan dan kegembiraan serta kenakalan khas bocah yang tetap menyala.


Apakah yang Anda lihat di sini?
Sebuah gugusan deretan bercak hitam tak beraturan?
Atau tulisan LIFT?


Catatan kaki
Philippe Prasetya bukan berasal dari dunia maya. Ia nyata di dunia saha, secara fisik bahkan sangat dekat dengan aki karena ia adalah anak aki yang sulung. Tapi kadang-kadang, ia juga bisa menjelma jadi guru bagi aki (kalau lagi eling). Tapi jarang sih (atau mungkin aki yang kurang sering mau belajar!). Ha ha ha ....


Notes ini sudah pernah ditayangkan di FB 29 Mei 2009. Jadi ini mah posting ulang.

Sabtu, 05 Juni 2010

MENDUT ~ 9th CENTURY BUDDHIST TEMPLE IN JAVA

Mendut is a ninth century Buddhist temple, located in Mendut village, Mungkid sub-district, Magelang Regency, Central Java, Indonesia. The temple located about three kilometres east from Borobudur. Mendut, Borobudur and Pawon, all of which are Buddhist temples, are located in one straight line. There is a mutual religious relationship between the three temples, although the exact ritual process is unknown.

Built around early ninth century AD, Mendut is the oldest of the three temples including Pawon and Borobudur. According to the Karang Tengah inscription, the temple was built and finished during the reign of King Indra of Sailendra dynasty. The inscription dated 824 AD mentioned that King Indra of Sailendra has built a sacred building named Venuvana which means "bamboo forest". Dutch archaeologist JG de Casparis has connected the temple mentioned in Karang Tengah inscription with Mendut temple.

In 1836 it was discovered as a ruins covered with bushes. The restoration of this temple was started at 1897 and it was finished at 1925. Some archaeologists who had conducted research on this temple were JG de Casparis, Theodoor van Erp, and Arisatya Yogaswara.The statues of Dhyani Buddha Vairocana, Avalokitesvara, and Vajrapani are inside the Mendut temple. The 26.4 metres tall temple is facing west. The stairs projecting from the west side square elevated base is adorned with Makara statue on each sides, the side of the stairwall carved with bas-relief of fable narrating the animal story of buddhist teaching. The square terrace surrounding the body of the temple was meant for pradakshina or circumambulating ritual, walking clockwise around the temple.

The outer walls is adorned with bas-reliefs of Boddhisattvas (buddhist divinities), such as Avalokitesvara, Maitreya, Cunda, Ksitigarbha, Samantabhadra, Mahakarunika Avalokitesvara, Vajrapani, Manjusri, Akasagarbha, and Boddhisattvadevi Prajnaparamita among other buddhist figures. Originally the temple had two chamber, a small chamber in the front, and the large main chamber in the center. The roof and some parts of the front chamber walls are missing. The inner wall of front chamber is adorned with bas-relief of Hariti surrounds by children, Atavaka on the other side, Kalpataru, also groups of devatas divinities flying in heaven.

Further readings : ARCHITECTURAL DESCRIPTION OF MENDUT

Jumat, 04 Juni 2010

LUMPIA, PASTOR dan HAK AZASI

Dua minggu yang lalu (iya, udah lama. Tapi masih berbekas kuat di ingatan aki), ada suatu peristiwa memalukan. Aki niat membeli lumpia. Di kios itu ada banyak jenis lumpia. Ada lumpia ayam, lumpia keju, lumpia udang, lumpia sapi, lumpia sayur, lumpia pisang coklat, lumpia etc etc...
Mbak penjaja kios dengan ramah menawarkan, yang ini enak, yang itu gurih dst dst. Aki agak bingung dan tertegun sebentar. Akhirnya mbak itu mengeluarkan jurus pamungkas : "Atau semua aja, masing-masing satu..."
Dari mulut aki - tanpa sempat disadari lagi - langsung terperucut : "Yang beli AKU atau kamu...?"
Mbak itu pucat dan terdiam. Aki buru-buru beli dua lumpia sayur dan dua pisang coklat, lalu pulang.

Malu .....

Ternyata ... saat santai dan tidak terbebani intensitas pekerjaan tidak otomatis membuat aki bisa dengan mudah mengatasi marah. Ada yang sudah puluhan tahun menjadi bhikkhu tapi kalau marah lebih galak daripada Satpam di kampung aki. Ada pengusaha dengan lima pabrik tapi bisa mengarahkan ribuan karyawannya secara santun. Tentu saja ada juga berbagai jenis orang di antara kedua ekstrim tersebut.

Empat puluh tahun lalu di Bandung ada seorang pastor yang selebritis, suka nulis di Kompas dan banyak fansnya. Namanya MAW Brouwer. Dia pernah terus terang mengaku bahwa bahkan buat seorang pastor berumur 60 tahun, tetap saja tidak mudah menjalankan aturan selibat (pantang sex). Ternyata tidak serta merta umur membuat orang lebih jinak ....

Saat marah, ego kita dihantui ilusi seolah kita adalah yang "lebih benar, lebih pintar, lebih baik, lebih mengetahui, lebih berkuasa dll dll".
Maukah (perlukah?) kita tetap mempertahankan ilusi ini?

"....Setiap manusia punya HAK AZASI untuk memutuskan sejauh mana ia mau melakukan, atau tidak melakukan, hal-hal tersebut .... "

Having said that, kita tidak boleh lupa bahwa juga ada KEWAJIBAN AZASI. Setiap manusia punya KEWAJIBAN AZASI untuk berlatih dengan baik, untuk berupaya sungguh-sungguh supaya secepatnya terbebas dari lobha, dosa, moha.

Kita tidak mau terus menerus lahir berulang-ulang sebagai manusia, bukan? Atau ular, atau cacing).


Catatan : Ini juga posting ulang dari FB tgl 25 Mei 2009.

Kamis, 03 Juni 2010

Seekor Ular, Ajahn Brahm, dan KITA

Bergaul di FB menyadarkan aki bahwa kita tidak pernah benar-benar sendirian.
Begitu nulis sedikit, ramai yang berkomentar. Konon pula kalau salah nulis .... hi hi ...:)

Hal lain yang semakin aki sadari adalah bahwa ada aneka pendapat yang masing-masing merasa (paling) benar. Dari berbagai tanggapan itu aki bertambah kaya wawasan. Ternyata ada lebih dari satu cara untuk memandang suatu masalah.

Dan inilah dari sudut pandang Ajahn Brahm yang aki dengar ketika Beliau di Jakarta beberapa tahun lalu :
... ... (ya, betul! Backing vocalnya berbunyi ~~ "katanya, katanya, katanya" ...~~~ ~~~
Seekor ular yang bertobat setelah mendengar uraian Dharma dari seorang Guru di vihara, menjadi benar2 jinak. Ia tidak lagi mau menggigit manusia. Begitu jinaknya sehingga anak-anak mulai berani mengganggunya, dan - namanya juga anak-anak - makin lama makin kurang ajar. Ular itu di tarik ekornya, dipukul dengan ranting, dilempari batu, pokoknya kasihan deh.

Ular itu memang diam tapi singkat cerita akhirnya ga sabar juga. Ia pun curhat kepada Sang Guru. Kata Guru: "Aku memang bilang menggigit manusia itu tidak baik. Tapi aku tidak pernah melarang kamu mendesis, kan?"

Sore itu ketika anak-anak datang mengganggu, ular itu mengangkat kepalanya, mendesis sambil membuka mulutnya, memperlihatkan giginya yang tajam siap menerkam. Anak-anak lari tunggang langgang, dan sejak saat itu sang ular bisa leluasa bertapa dengan nyaman.

And end of the story, as usual, happily ever after ....
~~~ katanya, katanya ~~~ ....

Sekali lagi kemarahan (dan kemalasan, mengintip gambar porno, berbohong "kecil-kecilan" dll) adalah sangat manusiawi.
Setiap manusia punya HAK AZASI untuk memutuskan sejauh mana ia mau melakukan, atau tidak melakukan, hal-hal tersebut.

Wassalam.


Posting ulang dari FB tgl 24 Mei 2009

Rabu, 02 Juni 2010

DANA PARAMITA

Jangan kikir senanglah memberi, apapun, berapapun dan kepada siapapun;
keberuntungan hidupmu bergantung dari pemberian yang kau lakukan.


Dalam melakukan pemberian, rasakan bahagia karena dapat melakukannya,
Jangan merasa bahagia karena mendengar kata terimakasih dari orang yang kau beri, atau kebaikanmu diketahui umum.

Sembunyikan kebajikan-kebajikanmu dari orang lain,
Sebaliknya biasakan memuji kebajikan yang dilakukan orang lain.


Ini akan memurnikan kadar kebajikanmu, menyuburkan karma baiknya.
Dan ini akan menghapus rasa iri serta cemburu mu terhadap kebajikan yang lain.

Semoga semua makhluk berbahagia.








Surat dari Romo Sumatijnana untuk Komunitas Bhumisambhara

Selasa, 01 Juni 2010

Yang Memberi Yang Harus Berterimakasih

Saat Seisetsu menjabat guru Engaku di Kamakura ia membutuhkan bangunan yang lebih besar. Gedung tempat mengajar yang lama sudah terlalu penuh.

For ENGLISH please see THE GIVER SHOULD BE THANKFUL.

Umezu Seibei, seorang saudagar dari Edo, berniat menyumbangkan dana sebanyak 500 keping ryo (uang emas) untuk melaksanakan pembangunan itu. Ia pun membawa uang itu kepada sang guru.

Seisetsu berkata: "Baiklah. Aku terima."

Umezu menyerahkan kepada Seisetsu bungkusan emas itu. Namun ia tidak senang melihat sikap sang guru. Tiga keping ryo saja sudah cukup untuk biaya hidup seseorang selama setahun. Ia menyerahkan 500 keping ryo, dan bahkan tidak mendapatkan sepatah pun ucapan terimakasih.

"Dalam bungkusan itu, ada LIMA RATUS keping ryo," ucap Umezu seakan memberi pancingan.

"Ya, kamu sudah mengatakannya padaku sebelumnya," jawab Seisetsu.

"Bahkan untuk seorang saudagar kaya seperti saya, 500 keping ryo adalah jumlah yang sangat banyak," kata Umezu lagi.

"Maksudmu, engkau menginginkan aku berterimakasih padamu?" tukas Seisetsu.

"Sudah sewajarnya," jawab Uzemu.

"Kenapa?" kata Seisetsu sambil tersenyum. "Yang memberi yang harus berterimakasih."