Sabtu, 31 Oktober 2009

Catatan 006 ~ Komentar

Bandara Changi Singapura memang termasuk yang paling canggih. Sangat nyaman dan serba lengkap. Waktu menunggu keberangkatan pesawat yang biasanya
membosankan, di bandara ini berlalu tanpa terasa.


Saat menjelang pulang, discman aki (wah, sombong juga ya aki tahun 1999 sudah pakai discman!) kehabisan batere. Padahal aki sudah berpikir, daripada bengong naik bis dari Cengkareng ke Bogor nanti, kan asyik kalau bisa sambil mendengar liam-keng. Maklum kesempatan berada di Singapura aki gunakan untuk membeli beberapa cd yang berisi aneka jenis liam-keng.

Kebetulan batere tersebut bisa diisi kembali, asal ada aliran listrik. Aki
menghubungi meja informasi, sambil menunjuk stop-kontak yang berada di belakang
meja itu : "Bolehkah saya mengisi batere saya?".
Dalam hati aki pesimis, permintaan aki pasti ditolak. Aki hanya berharap bisa "ngotot" dan gadis yang bertugas di sana bisa "dibujuk" untuk mengijinkan.

Di luar dugaan semula, gadis itu langsung menjawab : "Tentu saja boleh,
tetapi jangan di sini. Di deretan telepon umum di seberang sana, ada satu
yang mempunyai stop-kontak. Sebenarnya itu dimaksudkan untuk komputer, untuk
para pengguna iinternet. Tapi engga apa. Boleh dipakai mengisi batere juga.
"

Wah, senang hati aki mendapat kesempatan. (Begitulah, kalau keinginan ditolak, menderita. Kalau dikabulkan, senang!). Segera aki laksanakan.
Sayang, karena telepon umum tentunya dimaksudkan untuk digunakan sambil
berdiri, tidak ada kursi di sana. Padahal aki harus menunggu proses pengisian batere yang memakan waktu cukup lama.

Aki pun beralih menjauh ke arah taman di tengah ruang, lalu duduk di sana sambil mengawasi dari jauh. Beberapa orang yang kebetulan lewat, terlihat merasa aneh ada discman ditinggal di sana. Untunglah mereka cepat berlalu, tidak ada yang iseng menyentuh. Beberapa orang lagi menggelengkan kepala dan tertawa. Agaknya orang-orang itu tidak menduga bahwa tindakan aki "legal" dan "halal".

Sesaat aki dekati, sempat aki dengar komentar :
"Wah, ini engga boleh nih! Masak ngisi batere di sini."
"Iya, belum kapok ni orang. Biar entar kena tangkap satpam."
"Mana sih orang yang punyanya? Hilang diambil orang, nanti."
"Haha .. ha .. boleh juga. Hemat lagi, pakai listrik engga bayar."


Begitulah dalam hidup kita terus menerus melontar komentar. Bukan langsung
berkaitan dengan kita, bukan urusan kita, tapi selalu ada yang menarik untuk
kita komentari ....

Bogor, 29 Maret 1999

Jumat, 30 Oktober 2009

Catatan 005 ~ Guitar & Halal Food

Masih tentang baju, yang membuat aki dikira Muslim.

Arkian aki dan anak aki terpaksa bolak-balik ke kantor bis malam di
Lavender Street, Singapura. Apa pasal? Tak lain karena gitar anak aki tertinggal di dalam bis yang kami tumpangi. Gitar itu sudah berhasil ditemukan lokasinya, tetapi karena belum ada bis yang masuk dari Johor Baru ke Singapura, maka belum bisa di bawa.
Petugas kantor bis itu cukup ramah dan sangat membantu. Namanya Jun, seorang wanita paruh baya bangsa Melayu. Gesit dan rapi, memakai jilbab dan baju kurung. Aki panggil saja Ibu Jun seperti adat orang Indonesia. Aki tidak tahu apa panggilan Melayunya. Kami memang bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia /Melayu.

Karena sampai jam satu siang masih belum juga ada bis yang datang, aki katakan pada Ibu Jun : "Kalau begitu, kami berdua pergi makan dulu, ya Bu. Nanti kami kembali lagi."
Beliau bergegas berdiri dan berkata : "Ada makanan Muslim di sini. Tak jauh. Bapak pergi ke seberang, lalu nampak dst dst dst .... "

Ia nampak sangat bersungguh-sungguh menunjukkan tempat jualan makanan Muslim tersebut. Agaknya kuatir aki tersesat dan makan makanan yang diragukan halal tidaknya.

Demikianlah, satu sisi kita merasakan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islami) yang begitu mengakrabkan. Di lain sisi aki tersentuh : lagi-lagi pakaian memberi kesan yang sedemikian asosiatif.

Bogor, 31 Maret 1999

Catatan 004 ~ Muslim kah? Cina kah?

Pakaian favorit aki adalah baju putih lengan panjang tanpa kerah. Orang Islam menyebutnya baju sadariah. Orang Sunda bilang, baju koko. Orang Sumatra bilang, baju gunting cino.

Dalam perjalanan kali ini pun, baju tersebut setia menemani aki. Termasuk ketika naik bis dari Singapura ke Kuala Lumpur. Seperti lazimnya, bis berhenti sejenak di tengah perjalanan untuk memberi kesempatan pada pengemudi beristirahat, dan para penumpang bisa mengisi perutnya.

Aki ikut turun. Ternyata kedai itu cukup besar dan lapang. Ruangan tersekat dua. Yang lebih luas menjual dari bapau sampai hamburger, mulai nasi campur sampai bacang. Yang lebih sempit lebih sederhana. Hanya ada nasi dan beberapa lauk pauk. Di dindingnya bertuliskan : Makanan untuk Orang Muslim.

Mulanya aki menengok bagian itu. Sayang, sayurnya semua ada dagingnya.
Karena itu aki pun beranjak ke bagian yang lebih luas, siapa tahu ada sekedar telur goreng.

Sesampainya di sana, aki meminta nasi putih dan telur goreng.
Pelayan kedai bertanya : "Encik ni orang Muslim kah Cina?"
Aki tertegun, tidak jelas maksudnya.
Ia mengulangi pertanyaannya : "Saya nak tanya, encik ni orang Muslim kah,
atau orang Cina kah?"

Oo, baru aki mengerti. Aki jelas bukan Muslim. Tapi aki pun tak pernah merasa Cina, sejak kecil aki selalu menjadi anak Indonesia. Namun kali ini mau tak mau terlontar dari mulut aki : "Cina".

"Aaaa ....," sahut pelayan kedai itu lagi. "Kalau begitu bolehlah."
Rupanya ia was-was karena ada larangan bagi penjual makanan untuk menjual makanan non-Muslim kepada orang yang patut ditengarai sebagai Muslim.

Pasalnya ya baju aki itu. Apalagi karena udara di bis cukup sejuk ber-AC, aki menarik kain sarung dari dalam tas untuk dipakai sebagai selendang. Ala makjan ....! Rupanya pakaian cukup menentukan.
Untunglah akhirnya aki bisa menikmati juga nasi putih dan telur goreng.
Tapi rupanya bukan telur mata sapi, melainkan telur mata lembu ...

Bogor, 29 Maret 1999

Kamis, 29 Oktober 2009

Catatan 003 ~ Vihara di atas Bar

Harap jangan ada yang menyangka aki banyak uang dan ke luar negeri atas biaya sendiri. Anggaplah aki beruntung, karena perjalanan kali ini disponsori oleh ex-boss aki. Ceritanya mantan boss aki ingin mengunjungi rekan bisnisnya di Sri Lanka, dan mungkin karena beliau merasa aki pernah berkunjung ke sana, barangkali sedikit banyak tahu jalan dan tidak terlalu asing. Lagipula aki sendiri juga mengenal rekan bisnis mantan boss aki itu dengan cukup baik. Jadi aki diajak ikut.

Kesempatan ini aki gunakan untuk sekali gus menengok anak aki yang sedang belajar di Kuala Lumpur. Aki mohon ijin kepada mantan boss agar bisa berangkat lebih dulu, dan baru bergabung dengan beliau dari Singapura. Maka jadilah aki menyeberang dari Singapura ke Kuala Lumpur dengan bis. Unik juga. Dari Singapura ke KL, bayarnya Sin$25,- sedangkan pulangnya dari KL ke Singapura cukup bayar Malaysian Ringgit 25,- Padahal satu Sin$1 kurang lebih 1,45 Ringgit!

Singkat cerita saya bisa mengunjungi anak aki. Sejak awal, ia bersama dua orang teman kostnya, satu anak Lampung dan satu anak Kuching, mengeluh karena di daerah tempat tinggalnya tidak ada vihara. Mereka, katanya, mau pergi ke vihara, tapi sayangnya cukup jauh. Ketika aki datang, salah satu kabar gembira yang mereka sampaikan adalah bahwa tepat di seberang jalan dari tempat kost mereka, akan segera dibuka sebuah vihara.

Tapi, kata mereka lagi, vihara itu letaknya di lantai dua, di atas sebuah bar!
Mereka tahu bahwa vihara tersebut akan segera dibuka, karena sudah mulai diangkuti patung besar-besar. Dari jendela tempat kos, aki bisa melihat bagian belakang sebuah patung Kwan Im.
Anak-anak merasa sedikit kagok, kok vihara adanya di atas bar?

Bagaimana ini? Aki katakan pada mereka, biar saja. Lihat saja, nanti barnya engga laku, dan vihara itu bisa menempati seluruh bangunan.

Mendengar ini mereka tertawa. Barangkali ada benarnya juga, Oom, kata mereka. Selama ini bar tersebut memang kurang laku, sehingga mungkin yang empunya terpaksa menyewakan lantai atas. Kalau nanti yang berniat mengunjungi bar melihat ada vihara, besar kemungkinan mereka membatalkan niatnya karena insyaf. Jadi, memang ada kemungkinan bar tersebut gulung tikar pada akhirnya.

Aki termenung. Kalau itu yang terjadi, kasihan juga dong pemilik bar itu.
Gara-gara vihara?

Bogor, 27 Maret 1999

Rabu, 28 Oktober 2009

Catatan 002 ~ Kristal Singapura

Di Singapura, rupanya banyak orang sedang demam kristal.

Berbagai bentuk dan jenis kristal dijajakan, antara lain berupa batuan kecil-kecil aneka warna untuk dijadikan alas mandala (Vajrayana / Tantrayana).

Di sebuah toko ada promosi unik:
Biasanya harganya Sin$5.- untuk satu genggam batu-batuan aneka warna; hari ini khusus: DUA genggam!!
Silakan raup sebanyak-banyaknya, katanya.

Wah, rasa serakah aki timbul (dan memang dasarnya doyan belanja!). Aki coba menawar, bagaimana kalau $2.50 saja untuk satu genggam? Jelas yang empunya toko berkeberatan. Jadilah, pikir aki. Iseng-iseng, siapa tahu dengan lima dolar aki bisa meraup banyak. Toh tangan aki telapaknya cukup lebar.

Dengan berdebar aki melakukan raupan yang pertama. Aki buka tangan lebar-lebar, dan aki genggam sebanyak-banyaknya. Barulah aki sadar!
Semakin aki genggam erat, semakin banyak batu kristal yang kembali menggelincir keluar dari tangan aki. Kecele! Hanya sejumput kecil yang bisa aki masukkan ke dalam kantong plastik.

Genggaman kedua membuat aki lebih bijak (karena kapok?). Digenggam asal saja, malahan lebih banyak yang bisa aki raup.

Jadi, kesimpulannya : silakan simpulkan sendiri deh. Aki malu.

Bogor, 26 Maret 1999

Selasa, 27 Oktober 2009

Catatan 001 ~ Vegetarian

TULISAN INI SUDAH LAMA SEKALI. tahun 1999 (Anda sudah lahir belum?)
DULU DIMUAT DI MILIS_BUDDHA.
SELAMAT MENIKMATI.


Untuk kedua kalinya saya mendapat kesempatan mengunjungi Sri Lanka.

Di perjalanan, dalam pesawat dari Singapura menuju Colombo, saya duduk di sebelah seseorang yang berpakaian sangat rapi. Ia jelas orang Asia, tapi logat bicaranya sangat Australia. Setelah suasana cukup cair, akhirnya saya mengenal sedikit latar belakangnya. Ia sekitar 30 tahun lebih, kebangsaan Sri Lanka, tapi sudah lebih dari 20 tahun hidup di Australia. Ia bekerja di bidang komputer, dan kepergiannya kali ini ke Sri Lanka adalah untuk menghadiri pesta pernikahan sepupunya. Ia sendiri belum menikah.

Tentang saya sendiri, ia mungkin sungkan menanyakannya, jadi ia cuma tahu bahwa saya berasal dari Indonesia. Titik.

Ketika pramugari lewat, saya menegaskan bahwa saya memesan makanan vegetarian.
Kawan di sebelah saya ikut berbisik, bahwa ia juga tadi memesan hal yang sama tapi mungkin sekarang sudah kacau, katanya.
Lho, kenapa, tanya saya.
Ia menjelaskan bahwa pesawat yang ia tumpangi dari Melbourne ke Sidney terlambat enam jam, sehingga ia terpaksa menumpang pesawat lain dari Sidney ke Singapura, dan begitu juga dari Singapura ke Colombo ini jadualnya sudah tidak keruan. Padahal makanan vegetarian itu harus dipesan sejak awal, ketika kita membukukan jadual keberangkatan kita.

Saya katakan kepadanya, bahwa kadang-kadang kita bisa minta di pesawat. Mungkin saja ada jatah ekstra. Ia mengatakan bahwa sebenarnya ia lebih suka vegetarian, meskipun tidak terlalu ketat. Kalau merepotkan, biarlah ia makan seadanya saja.

Karena itu saya lalu mencoba meminta untuknya, dan ternyata disanggupi oleh pramugari. Kawan saya pun menarik napas lega, dan tersenyum.
Saya langsung menembak : "Agama apa yang Anda anut?"
Ia berkata : "Agama Buddha. Tapi saya merasa saya tidak patut disebut sebagai umat Buddha."
"Lho ... kenapa?"
"Karena saya tidak pernah ke vihara, maksud saya, setelah dewasa, saya tidak lagi rutin ke vihara."
"Tidak apa-apa", sambung saya, "yang penting, Anda masih tetap menjalankan
Panca Sila, kan?"


Giliran dia yang kaget : "Lho, koq Anda tahu Panca Sila segala?"
Saya jelaskan : "Memang saya umat Buddha, koq."

Selesai makan, tak tahan hati saya untuk bertanya lebih lanjut. Seingat saya, vegetarian memang dipandang lebih utama di Sri Lanka (antara lain YA Bhante Narada Mahathera almarhum juga seorang vegetarian), tetapi tidak banyak anak negeri itu yang menjalankannya. Karena itu saya tanyakan kepadanya :
"Mengapa Anda vegetarian? Bukankah tidak ada kewajiban bagi umat Buddha
untuk menjadi vegetarian?"

Jawabnya : "Oh, jangan salah mengerti. Agama Buddha itu ada dua - Mahayana dan Theravada. Mahayana memang tidak mengharuskan vegetarian, tetapi seorang Theravada seperti saya, umumnya vegetarian."

Nah lho! Saya sampai terdiam tidak bisa menanggapi, kecuali manggut-manggut saja. Rupanya salah kaprah bisa terjadi di mana saja.

Sesaat berpisah, saya sodorkan padanya sebuah buku "Buddhisme for Beginners" karya YA Narada Mahathera. Buku itu dicetak gratis oleh sebuah Yayasan di Singapura, dan kebetulan memang siang itu saya ambil dua jilid.
Ia tertawa melihatnya : "Ya, memang saya beginner", katanya.
Ia segera membolak-balik mencari halaman tentang Panca Sila. Saya tunjukkan halaman yang tepat padanya. Ia tersenyum senang sekali.
Suatu lingkaran sudah berputar. Karya Narada Mahathera, seorang putra Sri Lanka, kembali kepada seorang anak bangsanya yang hidup di rantau. Semoga kawan saya itu (saya lupa menanyakan namanya) bisa kembali menikmati warisan leluhurnya.

Bogor, 26 Maret 1999

Minggu, 25 Oktober 2009

Sri Lanka 5 ~ BLUE SAPPHIRE (tamat)

Setiba di Kalutara, kami langsung menuju Stupa Kalutara. Stupa yang dibangun pada jaman modern ini besar dan di dalamnya berongga sehingga bisa dimasuki. Di dalam stupa ada patung Buddha, sekelilingnya berhiaskan gambar riwayat hidup Buddha. Kami juga berkesempatan menyiram Pohon Bodhi yang sudah cukup tua dan memberi sumbangan untuk pembangunan. Yang unik di Sri Lanka, di depan vihara mana saja, di tepi jalan ada kotak sumbangan sehingga semua yang melintas, baik sopir truk, pegawai yang berangkat kerja, sopir bajaj, ibu-ibu yang baru pulang belanja dari pasar, maupun anak-anak yang pulang sekolah, bisa memasukkan dana ke kotak di pinggir jalan itu. Kotak itu aman, tidak ada yang mengganggu.

Malam ini kami menginap di Kalutara. Hotelnya bagus tapi sedang diperbaiki sehingga pelayanan agak terganggu. Pagi hari sempat juga berjalan-jalan di tepai laut di belakang hotel, lalu berenang. Banyak burung gagak memburu kepiting kecil di pantai. Di hotel ada toko dan ibu-ibu pun memborong kaus bergambar gajah.

Hari ini hari terakhir di Sri Lanka. Nanti malam kami akan meneruskan perjalanan ke India. Setelah makan siang dan puas belanja, rombongan menuju Colombo yang hanya berjarak 15 menit dari Kalutara. Di Colombo rombongan menuju Kelaniya Rajamahavihara.Penduduk Sri Lanka amat menghormati tempat ini karena mereka meyakini konon Buddha pernah datang ke sini. Menurut kepercayaan setempat, kalau datang ke Kelaniya maka karma buruk akan terhapus. Tak heran banyak yang menyempatkan diri untuk datang meskipun hanya sekali setahun!

Perjalanan berlanjut ke toko buku Buddhis. Kami membeli bendera Buddhis, buku2 dan jubah untuk bhikkhu. Mengingat Sri Lanka terkenal juga akan batu alamnya, kami juga mampir ke toko batu-batuan. Penawaran berlangsung alot (bahkan sampai disusul ke restaurant). Akhirnya berhasil juga ibu-ibu membawa pulang blue sapphire dan pink sapphire. Di samping toko batu ada toko yang menjual patung dan bati, tapi tidak menarik karena buatan tanah air jauh lebih bagus.

Malam terakhir di Sri Lanka jamuan agak istimewa: Chinese Food. Terasa cocok di lidah, karena selama perjalanan makanannya ya begitulah...
Sekalipun demikian ada kenangan tak terlupakan, yaitu makan nangka muda yang dikukus lalu dimakan bersama kelapa parut. Makanan khas Sri Lanka ini sengaja disiapkan oleh pemandu wisata karena tidak bisa dibeli d warung, padahal ibu-ibu ingin mencicipinya.

Setelah makan malam kami diantar ke bandara untuk melanjutkan perjalanan.
Selamat tinggal Sri Lanka yang betul-betul mengesankan. Semoga suatu saat kami bisa kembali, mendaki Sigiriya Rock dan melihat tempat-tempat menarik lain yang belum kami kunjungi saat itu.

Ditulis oleh SRI YUWATI
Bandung, 9 Oktober 2004
(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari)

Sabtu, 24 Oktober 2009

Sri Lanka 4 ~ POHON BODHI TERTUA

Dari tempat sarapan, para tamu hotel sudah dapat menyaksikan Sigiriya Rock, gunung batu Sigiriya yang menjulang tinggi dan bisa didaki sampai ke puncaknya. Berhubung rombongan kemarin tiba sudah sore, dan pagi ini sudah akan berangkat lagi, juga karena sebagaian besar rombongan adalah ibu-ibu berusia di atas 60 tahun, maka diputuskan untuk tidak naik ke Gunung Sigiriya. Mungkin lain kali bila ada kesempatan, kami akan mendakinya sebab berdasarkan gambar yang ada, pemandangan dari atas sana juga cukup menarik.

Tak terasa sudah hari keempat. Hari ini rombongan menuju Anuradhapura, ibukota Sri Lanka pada abad ke 5 Masehi. Dalam perjalanan, pemandu wisata menceritakan bahwa pada jaman dahulu pun para raja telah memerintahkan untuk membangun bendungan dan saluran irigasi. Setiap 8 mil, salurannya dibuat lebih endah setengah inci, sehingga air dapat mengalir ke tempat yang paling rendah sekali pun. Tak heran Sri Lanka nampak sangat subur di mana-mana.

Di Anuradhapura kami menyaksikan Pohon Sri Maha Bodhi yang merupakan cangkokan Pohon Bodhi yang asli dari Bodhgaya, dan diakui sebagai pohon tertua di dunia yang ada catatan sejarahnya. Pohonnya memang besar dan sudah ditopang dengan tiang besi di sana sini untuk mencegah roboh. Banyak penduduk yang ke tempat ini untuk berdoa. Di daerah ini kami juga menujungi stupa-stupa besar. Rombongan sempat berpradaksina mengelilingi stupa sambil memanjatkan paritta di hari yang terik dan tanpa sepatu pula. Kami juga mengunjungi patung Buddha yang dibuat pada abad pertama di sebuah hutan yang asri. Setelah puas mengunjungi stupa, rombongan berisirahat di hotel.

Hari kelima menuju Kalutara. Perjalanan terasa agak panjang karena dari Sigiriya langsung menuju Kalutara memakan waktu delapan jam. Untung saat makan siang ada toko souvenir sehingga ibu-ibu sempat belanja oleh-oleh. Di tengah jalan kami berhenti sejenak membeli kacang mente yang telah siap saji. Ada yang digoreng, ada yang dipanggang. Kacang mentenya besar-besar dan gurih sekali. Yang mengecewakan hanya durian. Maksud hati ingin mencicipi durian Sri Lanka, namun hanya ada yang masih mentah dan penjualnya pun tidak mau mengupaskan.
(bersambung ...BLUE SAPHHIRE)

Jumat, 23 Oktober 2009

Sri Lanka 3 ~ TIPITAKA DI DAUN LONTAR


Keesokan harinya perjalanan dilanjutkan menuju Sigiriya. Di perjalanan sempat minum air kelapa yang walaupun buahnya kecil tapi airnya sangat manis. Ada juga buah rambuatn yang dijual per biji, harganya 5 Srilankan rupee atau sekitar Rp50.-

Siang itu kami sempat juga mampir di AluVihara Rock Cave Temple. Jaman dahulu memang para bhikkhu tinggal gua-gua, termasuk di vihara yang dibangun dalam gua batu ini. Di vihara inilah tersimpan Kitab Suci Agama Buddha, TIPITAKA, yang tertulis di daun lontar. Kami sempat diberi kenang-kenangan berupa ayat suci Dhammapada yang ditulis di daun lontar oleh YM Bhikkhu Saranankara. Kami juga ditunjukkan bagaimana memproses daun lontar, mulai dipetik hingga menjadi selembar daun lontar yang siap ditulisi. Ternyata seteklah ditulis dengan pena yang ujungnya tajam, lalu disiram dengan tinta itam. Tinta menyerap di atas tulisan dan sisanya dilap dengan kain sehingga tulisan yang dibuat menjadi hitam dan mudah dibaca.

Saat itu kebetulan hari Minggu. Di halaman vihara banyak anak-anak sedang belajar. Ada yang di ruangan, ada yang di bawah pohon, kelihatannya asyik banget. Mereka berseragam putih-putih. Memang di seluruh Sri Lanka kami melihat banyak yang memakai baju putih. Mungkin karena orang Sri Lanka berkulit gelap?

Perjalanan berlanjut menuju Dambulla, The Golden Mountain Temple. Sesuai dengan namanya, vihara ini terletak di bukit batu yang cukup tinggi. Pada bukit tersebut dibuat ruang-ruang tempat para bhikkhu tinggal untuk belajar dan menyebarkan agama Buddha pada abad ke 18. Di bukit ini ada 5 gua. Dalam masing-masing gua ada patung-patung Buddha dalam segala posisi. Ada yang sedang duduk, berdiri, atau juga berbaring. Ada juga stupa kecil di dalam gua tersebut. Pada langit-langit gua tergambar bermacam lukisan, di antaranya lukisan 1000 Buddha.
Sayang kamera saya kurang canggih sehingga foto di dalam gua terlihat kurang bagus. Selain itu di dalam gua hanya boleh memotret patung, tetapi pengunjung tidak diperkenankan berpose. Pemandu wisata menjelaskan bahwa tahun 1997 ada insiden, seorang turis wanita asal Jerman berfoto dengan duduk di atas patung Buddha! Perbuatan tidak sopan itu menyebabkan masyarakat sampai mengadakan upacara khusus untuk mensucikan kembali patung tersebut. Patung itu juga dicat kembali sehingga ada satu patung yang memang terlihat catnya lebih baru dibanding yang lain.

Hanya decak kagum yang bisa diutarakan saat membayangkan kehidupan pada abad itu, para bhikkhu dengan peralatan yang sederhana dapat membuat patung dan lukisan seindah itu.

Sore hari tibalah kami di Sigiriya. Hotelnya bagus banget. Dibangun menyatu dengan alam, di antara pohon-pohon rindang seperti di hutan. Sore hari di atas atap banyak monyet-monyet yang mencari makan dari para tamu yang menginap. Monyet-monyet ini tidak mengganggu pengunjung. Setelah diberi makan, mereka balik kembali ke atas pohon. Setelah istirahat dan sempat berenang di kolam renang hotel, kami makan malam di hotel dengan diiringi musik tradisional Sri Lanka.


(bersambung ....POHON BODHI TERTUA)

Kamis, 22 Oktober 2009

Sri Lanka 2 ~ PAWAI GAJAH MENGAWAL RELIK GIGI BUDDHA

Perjalanan dilanjutkan ke kota Kandy, tempat kami akan menyaksikan prosesi Dalada Perahera (prosesi membawa relik gigi Buddha). Dalam perjalanan kami serasa seperti pulang kampung, soalnya banyak pohon di sepanjang jalan dan halaman rumah penduduk pun penuh pohon rindang.

Siang hari rombongan tiba di Kandy. Masuk hotel sebentar untuk menaruh koper, langsung kumpul lagi di lobby karena akan melihat vihara tempat penyimpanan relik gigi Buddha. Di vihara tersebut rombongan sempat membaca paritta dan melihat-lihat vihara yang anggun. Di dinding vihara tergantung lukisan yang mengisahkan sejarah dibawanya relik gigi Buddha dari India ke Sri Lanka pada masa Raja Kirti Sri Meghavanna (302-302) oleh kakak beradik Pangeran dan Puteri Raja. Demi keamanan, selama dalam perjalanan relik itu disimpan dalam sanggul rambut sang Puteri. Halaman vihara penuh dengan masyarakat yang akan mengikuti prosesi. Nampak juga beberapa gajah yang ditambatkan yang ternyata digunakan saat prosesi tersebut.
Acara prosesi baru akan dimulai pukul 20.30. Tetapi masyarakat sudah duduk rapi di sepanjang jalan sejak pukul 17.00. Benar-benar buaaaanyaaaak orang!
Sebagai turis, biasalah, kami sudah disediakan tempat duduk spesial di teras sebuah hotel yang dilewati prosesi. Namun kami pun sudah diharuskan duduk sejak pukul 18.30, karena jalan sudah ditutup mulai pukul 19.00. Sambil menunggu kami sempat melihat betapa acara ini telah dipersiapkan dengan baik. Sebelum acara dimulai, ada serombongan orang yang bertugas membersihkan jalan raya dari sampah. Lalu lewat lagi rombongan palang merah yang siap memberikan bantuan kesehatan. Lalu ada pula rombongan petugas pengangkut air minum yang akan memberi minum bagi yang membutuhkan.

Setelah duduk manis satu setengah jam sambil digigiti nyamuk, akhirnya prosesi dimulai. Awalnya dibuka dengan rombongan penari yang membawa cambuk besar. Bila dilecutkan, suaranya seperti ledakan. Disusul rombongan penari dengan iringan musik yang khas. Diikuti dua ekor gajah yang dihias dengan indah. Pakaian keemasan menutupi tubuh gajah, ada pula lampu berkelap-kelip di sepanjang telinga dan belalainya, bagus banget. Disusul rombongan penari api. Ada juga rombongan yang tubuhnya ditusuk benda tajam. Prosesi ternyata sangat panjang. Urutannya seperti itu. Penari, lalu gajah, lau penari lagi, lalu gajah lagi dan seterusnya. Pada bagian tengah prosesi ada seekor gajah yang dihias secara lebih istimewa. Tubuhnya pun lebih besar dibanding yang lain. Gajah ini diiringi dengan payung kebesaran dan di punggungnya ada relik Buddha yang disimpan dalam tempat khusus!
Ada juga rombongan pemimpin daerah, lengkap dengan baju kebesarannya berjalan dalam prosesi. Kasihan, ada juga yang sudah sepuh dan berjalan tertatih-tatih.

Pada awalnya prosesi ini sangat menarik. Tapi kalau sudah selama tiga jam disuguhi atraksi gajah-gajah dan gajah terus dengan tarian yang kurang lebih sama, agaknya membosankan juga! Ada yang iseng menghitung gajahnya, katanya 64 ekor. Bahkan ada yang bilang seratus ekor lebih! Wah, bener deh, dari ngantuk sampai bangun yang dilihat masih gajah juga. Acara berakhir pukul 24.00. Serempak semua orang beranjak pulang. Jalan-jalan dipenuhi lautan manusia. Rombongan kami sempat berdiri setengah jam di pinggir jalan menunggu bis yang katanya tidak bisa keluar entah dari tempat parkir di mana. Bagusnya meskipun demikian banyak orang, tidak ada keributan. Semuanya berlangsung dengan tertib.


(bersambung ....TIPITAKA DI DAUN LONTAR)

Sri Lanka 1 ~ ADA APA KE SRI LANKA?

Saya sungguh beruntung dapat mengikuti tour ke Sri Lanka pada awal Agustus 2004 yang lalu bersama rombongan umat Buddha dari Bandung, Jakarta, Bogor, Sukabumi, Lampung, seorang bhikkhu yang datang dari tempat tugasnya di Indonesia Timur serta 2 orang bhikkhu dari Cipanas. Semuanya berjumlah 14 orang, termasuk pemandu acara beserta istri dan anaknya.

Ketika mau berangkat, saya pamit ke keluarga dan teman-teman. Pertanyaan mereka sama :
"Ke Sri Lanka? Ada apa di sana?"
Memang jarang orang pergi ke Sri Lanka. Tetapi setelah dari sana, saya mendapatkan jawabannya, yaitu Sri Lanka sungguh suatu negeri yang mengagumkan. Sehingga sampai saat ini, walaupun sudah lama tapi masih terkenang-kenang juga.

Hari pertama keberangkatan dari Jakarta jam 9 pagi. Di Singapura transit 3 jam, dilanjutkan ke Colombo dengan pesawat Srilankan Airlines kurang lebih selama 4 jam. Tiba di Colombo jam 5 sore waktu setempat. Sudah sore memang karena waktu di Sri Lanka lebih cepat 2 jam dari Jakarta.

Malam ini rombongan menginap di Negombo, kurang lebih setengah jam dari Colombo. Hotelnya terletak di tepi pantai jadi sempat melihat matahari terbenam. Malam hari acaranya cuma makan malam sambil mendengarkan deburan ombak, dan langsung istirahat.

Pagi hari kami terbangun mendengar suara gagak saling bersahutan. Banyak sekali. Dari balkon kamar hotel bisa juga kami saksikan tupai-tupai yang berlompatan di pohon. Setelah sarapan, rombongan diajak melihat-lihat kota Negombo. Banyak patung yang ditempatkan di perempatan jalan. Bukan hanya patung Buddha, melainkan juga patung Bunda Maria dan para santo Katolik lainnya. Ada pula kuil Hindu dan bangunan gereja yang anggun. Sebagian besar penduduk Sri Lanka beragama Buddha. Mereka menjalankan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga alam lingkungan di Sri Lanka amat asri. Saat ini banyak juga penduduk yang memeluk agama Katolik, Hindu, Kristen dan juga Islam. Pemerintah sangat memperhatikan kesejahteraan masyarakat dengan memberi pendidikan gratis dari SD hingga SMA. Fasilitas kesehatan juga gratis bagi masyarakat yang kurang mampu.


(bersambung ...PAWAI GAJAH MENGAWAL RELIK GIGI BUDDHA)

Selasa, 20 Oktober 2009

Film Istimewa : BUDDHA's LOST CHILDREN

"I want to teach people the basic skills of living, teach them that life isn't just a matter of chance, it's a matter of choice."
(Phra Khru Bah Neua Chai Kositto)





For ENGLISH please see BUDDHA'S LOST CHILDREN







PENGHARGAAN :
Winner Grand Jury Prize AFI, Los Angeles, 2006
Winner Jury Prize, Newport Beach, 2007
Winner Global Insight, Jackson Hole, 2007
Winner City of Rome Prize, 2006
Winner Silver Dove DOK, Leipzig, 2006
Winner Crystal Film, Netherlands Film Fest, 2006
Winner David l. Wolper Best Doc, Wine Country Film Fest, 2007
Winner Best Spiritual Film, European Spiritual Film Fest, Paris 2009
Winner Best Spiritual Documentary, European Spiritual Film Fest, Paris 2009


Sebuah film dokumenter yang luarbiasa tentang seorang bhikkhu Thai (Phra Khru Bah Neua Chai Kositto) yang memberi harapan hidup baru bagi anak-anak terlantar di daerah segitiga emas yang penuh obat terlarang. Buddha's Lost Children sangat menyentuh pelbagai kalangan.

Semakin lama hati kita seakan terseret pesona bekas petinju yang menjadi bhikkhu. Selain menjadi pimpinan vihara Wat Maa Tong (Temple of The Golden Horse), beliau juga membangun klinik, sekolah dan panti asuhan. Cintakasihnya tetap penuh ketegasan: memberi anak-anak itu pedoman dan bekal untuk menyongsong hidup yang keras dan nyata.



Atas petunjuk khusus dari Sangharaja Thailand, Phra Kru mengutamakan pelayanan bagi anak-anak miskin di pegunungan terpencil propinsi Chiang Rai di utara Thailand.

Filsafat Phra Kru sudah terlihat sejak awal film : Kalau kita berbuat baik, kebahagiaan akan datang.

Namun bentuk pelajarannya ternyata beraneka ragam : belajar berdiri sendiri, belas kasihan, keyakinan, semangat juang, dan wawasan yang mengenal perbedaan antara baik dan buruk. Ketika seekor kuda terjerumus jatuh di hutan dan sungai yang deras, itulah kesempatan nyata bagi para kanak-kanak itu untuk belajar seni hidup.

Air mata berkali-kali harus ditahan menyaksikan adegan film yang penuh haru ini.

Bhikkhu menghargai kehidupan ('kalau kamu mati, kamu tak lagi bisa melakukan apapun'), dan menekankan mengenai apa yang bisa kita perbuat, bukan pada apa yang tidak bisa kita kerjakan.

Bagaimana mungkin kita bisa melupakan perjalanan hidup tiga orang anak kecil yang menjadi samanera - mulai dari penahbisan hingga proses pembelajaran - dan kebahagiaan yang terpancar dari kepolosan mata mereka?


Bagi yang berminat, DVD khusus (1 set = 2 keping) seharga US$29.95 bisa dibeli di LINK INI.




Hasil penjualan film seluruhnya didanakan untuk Golden Horse Temple dan program pelayanannya.
Bahasa : Thai dengan teks bahasa Inggris
Masa putar : 97 menit film utama, ditambah 270 menit Extra Features

ANGGOTA SANGHA KANAK-KANAK


For ENGLISH please see PIOTR KOWALSKI

Banyak orang memotret anak-anak yang menjadi anggota Sangha di vihara-vihara.
Secara fotografis, mereka memang merupakan obyek foto yang menarik. Polos, senyum, dan 'cute' gitu loh....

Namun tidakkah anak-anak dan kehidupan ketat sebagai anggota Sangha adalah suatu kombinasi yang patut dipertanyakan?

Bagaimana rasanya hidup sejak kecil di vihara?
Bagaimana tumbuh dan berkembang di lingkungan vihara?
Darimana anak-anak itu berasal?
Sekecil itu -mungkin usianya baru enam atau tujuh tahun- benarkah memang niat ingin menjadi anggota Sangha?
Apakah dipaksa atau terpaksa?
Apakah mereka bahagia?


Banyak di antara vihara-vihara itu terletak di daerah terpencil. Lingkungannya sendiri miskin, jadi tentulah kita tidak dapat mengharapkan anak-anak tersebut mendapat gizi yang cukup. Sarana kebersihan kurang memadai, pelayanan kesehatan bahkan sangat kurang!

Siapakah yang memperhatikan anak-anak itu?


Lihat lebih lanjut (Klik Link) foto-foto karya Piotr Kowalski :
"CHILDREN OF BUDDHA"

Penjelasan Ketiga (Bayangan / Bulan / Air)

For English please see THERAGATHA

Apakah syair yang menyatakan pencerahan hanya ada dalam Zen Buddhism?

Dalam Tipitaka Pali, kita mengenal Theragatha (Inggris: Verses of the Elder Monks). Ini adalah kumpulan syair-syair yang dicapkan oleh para anggota Sangha pada masa awal Agama Buddha. Sebagai bagian dari Khuddaka Nikaya, koleksi ini ada di Sutta Pitaka. Banyak syair dalam Theragatha ini menggambarkan letupan kebahagiaan para bhikkhu saat mengalahkan Mara.

Contohnya adalah syair yang diucapkan oleh Arahat Ramaneyyaka Thera (Theragatha I-49)

Bahkan dengan segala siulan dan kicauan
keriuhan suara burung-burung
batinku ini, tidak terpencar
karena kebahagiaanku berada
dalam perhatian yang menyatu


Selain Theragatha, khusus untuk para bhikkhuni pun ada kumpulan syair yang namanya Therigatha, juga di dalam Khuddaka Nikaya.

Kita semua tentu ingat juga syair yang diucapkan Buddha Gotama sesaat setelah mencapai Pencerahan Sempurna :
"Melalui banyak kelahiran dalam samsara siklus kehidupan
Aku mencari, namun tak kutemukan pembuat rumah ini,
Sungguh menyedihkan terlahir berulang-ulang,
0 pembuat rumah, kini kau telah terlihat!
Kau tak akan membuat rumah lagi;
Semua tiangmu telah kurobohkan,
Rakit-rakitmu hancur;
Batin mencapai keadaan tak berkondisi (Nibbana),
Tercapailah akhir dari nafsu keinginan (tanha)."


Nah, mudah-mudahan penjelasan yang tiga bagian ini cukup menjelaskan.
Tapi kalau belum jelas juga, ya sudah, engga apa-apa juga.
Aki mau istirahat, ya?




You cannot describe it, you cannot picture it,
You cannot admire it, you cannot sense it.
It is your true self, it has nowhere to hide.
When the world is destroyed, it will no be destroyed.

Senin, 19 Oktober 2009

Penjelasan Kedua (Bayangan / Bulan / Air)

For ENGLISH please see KOAN

Sebuah kōan (dibaca /ˈkoʊ.ɑːn/; Chinese: 公案; pinyin: gōng-àn; Korean: gong'an; Vietnamese: công án) adalah cerita, dialog, pertanyaan atau pun pernyataan dalam Zen Buddhism, biasanya mengandung aspek yang tidak terjangkau oleh nalar, namun bisa dirasakan secara intuisi.

Sebuah kōan yang terkenal misalnya : "Dua tangan bertepuk dan terdengar suaranya; suara apakah bila satu tangan?" (menurut tradisi lisan disebut berasal dari Hakuin Ekaku, 1686-1769, yang dianggap sebagai pelopor kebangkitan kembali tradisi kōan di Jepang).

Kōan menggambarkan keadaan pencerahan seseorang, dan kadang mengacaukan pola pikir atau mengejutkan batin sehingga menjadi tersadarkan. Guru-guru Zen sering menceritakan dan memberikan penjelasan mengenai kōan, dan beberapa praktisi Zen berkonsentrasi atas kōan selama meditasi.

Kōan bisa merujuk kepada kisah yang diambil dari sutra dan catatan sejarah. Bagian yang mengherankan dari sebuah cerita, atau kalimat singkat yang kritis (話頭 huà-tóu), atau malahan komentar yang disampaikan oleh para guru Zen masa kini.


Beberapa orang mungkin mengira bahwa kōan sekedar pertanyaan yang tidak bisa dijawab atau pun sebuah pernyataan yang tidak ada artinya. Namun dari sudut pandang Zen, kōan tidak bisa dipandang tidak berarti. Para guru Zen sungguh-sungguh mengharapkan murid-muridnya mampu memberi jawaban bila ditanya mengenai kōan. Namun demikian, tentu saja kōan bukan sebuah teka-teki. Jawaban yang benar akan berlainan pada saat yang lain. Tidak ada satu jawaban yang selalu cocok untuk setiap saat atau pun setiap murid. Pendeknya, "walaupun jawaban itu benar, kalau bukan kamu sendiri yang mengetahuinya, tidak ada artinya bagimu."

Penjelasan Pertama (Bayangan / Bulan / Air)


"Koan laksana Jari dari Zen Master
yang menunjuk langsung pada Kesadaran."


Jika ingin memahami Koan dari para Zen Master,
janganlah menggunakan Pikiran dan Pengetahuan.
Adalah tidak mungkin memahami Kesadaran dengan Pikiran.

Tetapi pahamilah Koan dari para Master Zen,
dengan Kesadaran yang sejernihnya.

Dengan Kesadaran yang jernih, bagaikan sebuah kaca yang jernih:
Buddha akan tampak Buddha.
Master akan tampak Master.
Murid akan tampak Murid.
Bendera akan tampak Bendera.

Angin akan tampak Angin.
Telapak tangan akan tampak Telapak tangan.
Bunyi akan tampak Bunyi.
Wajah akan tampak Wajah.

Wanita akan tampak Wanita.
Kecantikan akan tampak Kecantikan.
Mara akan tampak Mara.
Setan akan tampak Setan.

Api akan tampak Api.
Air akan tampak Air.
Pikiran akan tampak Pikiran.
Dsb akan tampak Dsb.


Tanpa Kesadaran yang jernih, maka Budha, Master, Murid, Bendera, Angin, Telapak tangan, Bunyi, Wanita, Kecantikan, Mara, Setan, Pikiran, Dsb, akan tampak sebagai Lelucon, Lucu, Jenaka, Lawakan, Kebodohan, Kebohongan, Kisah, Cerita, Dongeng, Dsb.

Satu Koan yang bagus dari seorang Master Zen, jika dipahami dengan Kesadaran yang jernih, manfaatnya akan sebanding dengan sebuah Sutra Dharma dari para Mahluk Suci.
Sangat disayangkan, tidak banyak mahluk yang memahami Koan tersebut dengan kejernihan Kesadarannya. Hal ini bagaikan membaca kitab Sutra dari para Mahluk Suci, dan menganggapnya tidak lebih dari dongeng menjelang tidur.

(dikutip dari buku "Kisah-Kasih Spiritual Bagian 16 - Wisnu Prakasa")