Kamis, 16 Desember 2010

NAPAK TILAS Kehidupan YMS Buddha Gotama India / Nepal

NAPAK TILAS Kehidupan YMS Buddha Gotama
India / Nepal
25 Maret 2011 ~ 04 April 2011 (11 hari)


SEGERA DAFTAR! Pendaftaran ditutup 31 Desember 2010.


Jum 25 Mar/Hari 01 - JAKARTA/ KUALALUMPUR/ DELHI
Berkumpul di bandara Sukarno-Hatta pada jam yang telah ditentukan untuk selanjutnya berangkat dengan pesawat AirAsia. Setibanya diantar ke hotel untuk beristirahat. Menginap di Delhi (*4)

Sab 26 Mar/Hari 02 - DELHI
Setelah sarapan, nikmati city tour di ibukota India - New Delhi - melewati Istana Presiden India, Gedung MPR /DPR, India Gate dan lain-lain. Kita juga akan mengunjungi Museum National, dan menyaksikan RELIK BUDDHA yang tersimpan dalam stupa emas. Setelah makan siang, kita akan diantar ke stasiun kereta api Safdarjung untuk memulai perjalanan ziarah kita. Seluruh perjalanan ziarah dari satu kota ke kota yang lain akan dilaksanakan dengan KERETA API KHUSUS ”Buddhist Train” dengan fasilitas yang nyaman.

Min 27 Mar/Hari 03 - BODHGAYA
Pagi hari tibalah kita di tempat yang paling ingin dikunjungi oleh setiap umat Buddha, yaitu Bodhgaya. Setelah cek-in di hotel dan sarapan, kita akan mulai kunjungan ziarah kita ke Mahabodhi Mahavihara, berbakti dan bermeditasi di bawah Pohon Bodhi tempat Samana Gotama mencapai pencerahan sempurna dan menjadi Buddha. Kita juga akan mengunjungi vihara-vihara lain yang terdapat di sekitar tempat ini. Menginap di Bodhgaya (*3)

Sen 28 Mar/Hari 04 - RAJGIR
Hari ini kita mengunjungi Universitas Nalanda, Hutan Bambu Venuvana, dan Puncak Burung Nasar Gridhakuta. Malam hari, kita meneruskan perjalanan ke Varanasi.

Sel 29 Mar/Hari 05 - VARANASI
Setelah sarapan dan membersihkan diri di hotel, kita menuju Taman Rusa Isipatana di Sarnath, tempat Buddha memutarkan Roda Dharma pada bulan Asadha. Kita juga akan menyaksikan upacara suci umat Hindu, yaitu Arati di Sungai Gangga. Malam hari kita menuju Gorakhpur.


Rab 30 Mar/Hari 06 - GORAKHPUR
Dari stasiun Gorakhpur kita akan masuk hotel dan sarapan. Lalu menuju Maha Parinirvana Vihara di Kusinara, tempat Buddha wafat. Kita juga akan mengunjungi tempat kremasi Buddha, yaitu Ramabhar Stupa. Menginap di Gorakhpur (*3)

Kam 31 Mar/Hari 07 - LUMBINI
Hari ini kita melintasi perbatasan negara dan masuk ke Nepal dengan bis. Kita berbakti di Taman Lumbini, tempat lahir Pangeran Siddhartha, bodhisattva yang kelak akan menjadi Buddha. Malam hari meneruskan perjalanan ke Gonda.

Jum 01 Apr/Hari 08 - JETAVANA
Dengan bis kita akan menuju Shravasti untuk berbkati di Taman Jeta atau Jetavana, vihara yang dibeli dengan uang emas dan dipersembahkan oleh Anathapindika. Kita saksikan GANDHA KUTI (kamar Buddha) dan POHON BODHI ANANDA. Setelah itu perjalanan kita lanjutkan ke Agra.

Sab 02 Apr/Hari 09 - TAJ MAHAL
Setelah sarapan, kita akan menyaksikan salah satu dari tujuh keajaiban dunia, yaitu bangunan Taj Mahal yang sangat indah. Setelah makan siang kita bisa mengikuti tour tambahan ke Fatehpur Sikri untuk menyaksikan peninggalan kemegahan India masa silam (biaya sendiri). Menginap di Agra (*4)

Min 03 Apr/Hari 10 - DELHI
Kembali kita menuju Delhi. Setelah makan siang, kesempatan terakhir berbelanja oleh-oleh di Pasar Sarojini Nagar sebelum akhirnya diantar ke bandara untuk pulang kembali ke Jakarta melalui KualaLumpur.

Sen 04 Apr/Hari 11 - JAKARTA
Pagi ini tibalah kita kembali di tanah air dengan penuh kenangan indah dan keyakinan yang lebih teguh akan Buddha Dharma Sangha.


Biaya US$1,900.-/peserta sudah termasuk :
* Penerbangan Jakarta-Delhi pp kelas ekonomi tiket rombongan. (tidak bisa pulang sendiri-sendiri)
* Akomodasi, makan dan tour sesuai acara.
* Tip untuk guide, sopir dan kenek (khusus tip untuk pelayan kamar harap diberikan sendiri sesuai kebutuhan)

Biaya belum termasuk :
# Visa India Rp.700 ribu dan visa Nepal US$25.-
# Fiskal sesuai ketentuan pemerintah.
# Airport tax Jakarta (saat ini Rp. 150.000,-)
# Biaya cuci pakaian, fotografi, makan-minum yang bersifat pribadi.
# Biaya2 lain yang tidak disebutkan di atas.


Pendaftaran :
1. Mengirimkan copy paspor . Cukup satu lembar (halaman yang ada fotonya).
Bisa dengan FAX ke nomer (021) 560-4457 atau di scan dan dikirim via email ke anandaindonesia@yahoo.com

2. Membayar uang muka US$900.- per peserta.
Pembayaran dilakukan dengan cara menyetor secara tunai ke BII terdekat untuk Superdolar nomer 2-043-006-111 atas nama M Ananda.
Setoran bisa dalam US Dollar atau dalam rupiah sesuai kurs yang berlaku di BII pada hari itu.
PERHATIAN : Uang muka tidak dapat dikembalikan dengan alasan apapun.







Penerbangan dari Indonesia ke India pp dilaksanakan dengan pesawat AirAsia, dengan pelayanan ekstra, khusus untuk rombongan ini :
- Mendapat sajian makan dan minum seperti dalam pesawat komersial umum
- Bagasi cuma-cuma satu potong maksimal 20kg


Perjalanan dari kota ke kota di India dilakukan dengan kereta api khusus “Buddhist Train” dengan fasilitas lengkap :
- Tempat tidur yang nyaman seperti di hotel (sekamar berempat)
- A/C dan bersih. Kereta api ini khusus untuk umat Buddha mancanegara.
- Kamar mandi dengan shower air panas / dingin
- Toilet yang bersih
- Sajian teh / kopi / snack pada waktunya


Kelebihan / kekurangan perjalanan dengan kereta api dibanding dengan bis :


1. Jarak antar kota di India jauh. Perjalanan dengan bis seringkali melelahkan, rawan macet sehingga kemungkinan terlambat dan waktu tempuh menjadi lebih panjang.
Dengan kereta api, perjalanan menjadi lebih singkat dan nyaman.

2. Fasilitas toilet di jalan raya masih sangat kurang dan umumnya kurang bersih.
Di kereta api, kita bisa ke toilet kapan saja, dan bersih.

3. Perjalanan dengan kereta api dilakukan malam hari. Kita bisa beristirahat / tidur dengan leluasa di kamar. Kaki tidak perlu kaku karena ditekuk seperti di dalam bis, bagi orang tua akan terasa sungguh lebih nyaman.

4. Kereta api tiba di tempat tujuan pada pagi hari. Kita bisa melakukan kunjungan ke tempat ziarah dalam keadaan lebih segar. Yang terutama penting : waktu kunjungan menjadi lebih lama dan kesempatan ibadah lebih leluasa.


5. Sarapan, makan siang dan makan malam umumnya disajikan secara full-buffet di hotel setempat (setara bintang 3). Kita juga tetap diberi fasilitas kamar hotel untuk mandi dan beristirahat.

6. Bagasi tidak perlu diangkut dan dipindahkan setiap hari. Kita tetap menempati kamar yang sama di kereta api.

7. Kekurangannya adalah, sebagian orang mungkin merasa sulit tidur di kereta api. Namun umumnya hal ini hanya berlangsung pada malam pertama (sama seperti kalau di hotel pun, pada malam pertama kita kadang merasa sulit tidur). Pada malam-malam selanjutnya, biasanya tubuh sudah menyesuaikan diri dan kita akan bisa tidur dengan pulas.

8. Karena sekamar berempat, rombongan kereta api ini akan lebih cocok untuk berangkat bersama teman-teman. Suami istri terpaksa tidur di kamar terpisah atau harus mau bergabung dengan peserta lain.

Selasa, 14 Desember 2010

International Buddhist Conference - BUDDHISM HERITAGE IN SOUTH EAST ASIA, Cambodia 03/04 December 2010

ROYAL ACADEMY OF CAMBODIA hosted the First International Buddhist Conference in Cambodia, in Phnom Penh 03~04 December 2010. The theme of the conference is :

BUDDHISM HERTITAGE IN SOUTHEAST ASIA



Opening Ceremony of the Conference, presided by H.E. MIN KHIN, Minister of Cults and Religions


From Indonesia, KI ANANDA speaks on BUDDHISM INFLUENCE ON THE INTERNATIONAL TRADE RELATIONS.


Mr SAURAV RAJ, First Secretary of the Embassy of India, gives a souvenir to KI ANANDA from Indonesia, witness by H.E. Dr. KHLOT THYDA, the President of the Royal Academy of Cambodia.


Closing session of the conference, presided over by H.E. Dr KHLOT THYDA in her capacity as Personal Advisor to H.E. HUN SEN, the Prime Minister of Cambodia.

Senin, 21 Juni 2010

AJE, AJE, BARA AJE

Karma mengantarkan dua orang wanita muda, cantik, ke gerbang vihara. Keduanya menjadi bhikshuni, namun menjalani kehidupan dengan dua sikap bebeda.

For ENGLISH please see COME, COME, COME UPWARD

Sun Nyog kurang disiplin. Ia menyelamatkan seorang pemabuk yang nyaris bunuh diri; sayang akhirnya diperkosa. Sun Nyog terpaksa keluar dari vihara. Seorang bhikshuni lain, Jin Song, tekun dan taat, bahkan sempat melaksanakan retreat di sebuah gua di pegunungan sepi.


Akhir cerita memunculkan Sun Nyog sebagai manusia yang lebih bijaksana dan kembali ke vihara untuk selamanya, menggantikan kepala vihara yang meninggal karena sudah tua. Sebaliknya Jin Song malah beralih, kembali menjadi umat biasa.


Cerita yang sederhana dan digarap dengan sederhana pula oleh sutradara Im Kwon-taek. Kang Soo-yeong yang memerankan Sun Nyog, sebenarnya bermain secara lebih cemerlang dalam film "The Surrogate Woman" arahan sutradara yang sama. Perannya di film itu memenangkan penghargaan sebagai aktris terbaik dalam Venice Film Festival.


PENGHARGAAN dari Moscow International Film Festival :
- Best Film (Grand Bell Awards)
- Best Actress (Bronze St. George) untuk Kang Soo-yeon
- Special Prize untuk Im Kwon-Taek

Produksi tahun : 1989
Sutradara : Im Kwon-taek
Produser : Lee Tae-won
Naskah : Han Sung-won
Artis : Kang Soo-yeon, Jin Yeong-mi, Yu In-chon, Han Ji-il dll
Musik : Kim Jeong-kil
Cinematography : Ku Jung-mo
Editor : Park Sun-duk
Masa putar : 134 minutes

Sabtu, 12 Juni 2010

Katanya..., katanya...

Imajinasi dan daya khayal memang sangat memegang peranan penting di Guilin.

For ENGLISH please see "An Arrow that Pierced through Three Hills".


Lambang kota Guilin adalah sebuah batu.
Tentu bukan batu sembarang batu. Sebuah gunung batu yang terletak di tepi sungai, ramai dikunjungi orang setiap hari. Konon dengan imajinasi yang cocok, batu itu terlihat bagai seekor gajah yang sedang minum air sungai! Itulah gajah surgawi, yang ditinggal di Guilin oleh Raja Langit karena gajah itu sakit. Lama kelamaan gajah itu betah tinggal di guilin dan menampik untuk kembali ke langit. Saat sedang minum air sungai, sebuah panah Raja Langit menembus tubuhnya dan gajah itu mati membatu.
(Paduan suara latar menyanyi serentak : "katanya, katanya...").

Sebuah kisah yang tak kalah bombastis bercerita tentang Jendral Ma Yuan alias jendral yang juga bergelar Jendral Fubo (lihat notes aki Seribu Buddha di Bukit Fubo, ya?).

Kaisar Han yang kuatir akan serbuan kerajaan Xu Tu, mengumpulkan para menteri dan penasehatnya. Seorang jendral yang sudah beruban dan berjenggot panjang secara spontan mengajukan diri untuk menumpas serbuah musuh tersebut. Kaisar kuatir karena sang jendral terlihat sudah tua:
"Umur berapakan Anda, jendral?"
"Hamba masih muda, baru 99 tahun," jawab jendral sambil tertawa.
"Anda pikir 99 tahun masih muda?" kaisar turut tertawa.
"Baginda, hamba mungkin sudah lanjut usia. Namun hamba masih kuat. Lebih baik hamba mati bertempur di medan perang daripada duduk diam di rumah."
Kaisar menolak : "Jendral, lebih baik Anda pulang dan bermain dengan cucu-cucumu."

Jendral itu bangkit dan dengan sekali ayun membanting pecah kursi cendana yang sebenarnya sangat keras kayunya. Para hadirin kagum. Kaisar Han akhirnya setuju dan menugaskan Jendral Ma Yuan. Jendral yang juga bergelar Jendral Fubo itu segera menuju perbatasan dengan kerajaan Xu Tu di selatan.

Dalam upaya menyelidiki keadaan di kerajaan Han, Raja Xu Tu diam-diam mengirim utusan yang juga bertindak sebagai mata-mata. Mereka bertemu di Guilin.

Mengetahui bahwa Jendral Ma Yuan membawa sretaus ribu pasukan, mata-mata itu ciut nyalinya. Ia mempersembahkan upeti kepada Jendral Ma Yuan dan mengajak berdamai. Jendral Ma Yuan setuju, dengan syarat bahwa orang-orang Xu Tu harus mundur dari wilayah Han.

"Mundur berapa jauh?" tanya utusan itu.
"Sejauh anak panah yang aku lepaskan dari busurku," kata Jendral Ma Yuan.

Dengan gembira utusan itu setuju. Guilin dikelilingi gunung, dan anak panah pasti tidak akan bisa terbang jauh.


Ternyata di luar dugaan! Anak panah yang dilepaskan oleh Jendral Ma Yuan menembus tiga buah gunung sebelum akhirnya jatuh di pegunungan Feng Mao. Kerajaan Xu Tu terpaksa mundur sampai jauh, dan Jendral Ma Yuan alias Jendral Fubo sangat dihormati di Guilin.
Jarak yang ditempuh oleh anak panah itu kurang lebih 250 kilometer! Kalau saja legenda ini benar, maka sungguh suatu rekor dunia yang belum terpecahkan sampai saat ini...
(dan paduan suara latar serempak bernyanyi: "katanya, katanya...")

Tentu ini kisah yang kita dengar dari orang-orang Cina. Dari orang-orang Vietnam (dulu kerajaan Xu Tu), ceritanya lain lagi... hehehe...
Para pejuang Vietnam dengan gagah berani menentang imperialisme Cina!
"...However, in AD 40, Vietnamese women, i.e., Zheng (or Trung) sisters, rebelled with support from Li-ren barbarians from Jiuzhen, Rinan and Hepu. The non-Chinese people of Wuling commandery, especially the people in Wuqi ["Five Gorges"], on the upper reaches of the Yuan River, by the present-day Hunan-Guizhou border, defeated local Han army in 48 AD. General Ma Yuan would mount a full campaign in the south. General Ma Yuan erected bronze monuments in eulogy of his victories. He erected a kind of gate on the West River. Ma Yuan went further southward and he also set up some bronze monuments in Champa, today's central to southern Vietnam. "New History Of Tang Dynasty" recorded that there were ten households in the name of Ma dwelling in Champa area, and those people refused to return to China with General Ma. 500 years later, by Sui Dynasty, the ten families had multiplied into 300 households..."

Selanjutnya, terserah imajinasi dan daya khayal Anda...

(PS... sssstt seniman pematung mungkin lupa berimajinasi bahwa Jendral Ma Yuan berjenggot panjang! Kok di patung ga ada jenggotnya ya? Hehehehe....)

Jumat, 11 Juni 2010

Vihara (tapi BUKAN Vihara!)

Taman terbesar di kota Guilin adalah Qi Xi Gongyuan (Taman Tujuh Bintang) seluas lebih dari 120 hektar.

For ENGLISH please see SEVEN STARS PARK.


Terletak di bantaran timur Sungai Li, taman ini penuh dengan pemandangan yang mempesona. Ada dua buah bukit utama, yaitu Bukit Pu-tuo dengan empat puncak dan Bukit Bulan Sabit dengan tiga puncak. Ada yang mengatakan, karena tujuh buah puncak itulah taman ini diberi nama Taman Tujuh Bintang (bukan Bintang Tujuh!).

Namun yang paling sering dibanggakan kepada para turis (baik wisman maupun wisnu) adalah Bukit Unta. Foto Bukit Unta juga lah yang sering kita lihat di brosur promosi keindahan Guilin. Pada kenyataannya, yang disebut Bukit Unta tentu saja bukanlah sebuah bukit yang banyak untanya, tapi sebuah bukit batu setinggi 20 meter. Dilihat dari jauh, (dan ditambah imajinasi yang banyak), bukit itu memang terlihat bagai seekor unta berpunuk dua yang sedang duduk. Atau kalau imajinasi sedang berkata lain, bisa juga batu itu bentuknya seperti poci teh, dan memang pada jaman dahulu bukit itu disebut juga Bukit Poci Teh!
Up to you deh, hehehe...


Di dalam taman juga ada sebuah vihara bernama Cen Ching Si (Vihara Sungguh Suci). Tapi itu bukan vihara yang lazim kita kenal. Bangunannya memang mengesankan dengan arsitektur gaya Cina, tapi sesudah masuk ke dalam, barulah kita tahu bahwa itu bukan sebuah vihara. Itu adalah sebuah mesjid! Hehehe... kecele!

Tak heran di papan nama di atas gerbang, selain tulisan Cina Cen Ching Si, juga ada kaligrafi Arab bertuliskan Allah dan Muhammad dalam lingkaran di kiri kanannya.

Umat Buddha yang ingin merasakan pengalaman spiritual Agama Buddha di Taman Tujuh Bintang ini perlu masuk lebih jauh ke dalam, ke Bukit Pu-tuo yang memang dinamakan untuk mengenang keluhuran Avalokitesvara Bodhisattva. Malahan ada juga makanan khas yang terkenal dijual di sini. Namanya "Mie para Bhikshuni". Rasanya? Hmmm... coba aja sendiri dong!

Kamis, 10 Juni 2010

Seribu Buddha di Bukit Fubo





Kunjungan ke Guilin tentulah harus juga ke Bukit Fubo.


For ENGLISH please click THIS LINK.



Di bukit ini memang ada kuil untuk menghormati Jendral Fubo. Selain itu, nama Fubo berarti juga "menahan gejolak arus" dan memang bukit yang separuh terletak di darat dan separuh di sungai ini mampu meredam arus Sungai Li yang sering meronta.

Ada juga gua "Mengembalikan Mutiara". Konon seorang anak gembala mengambil mutiara saat seekor naga sedang tidur. Naga marah dan air Sungai Li bergejolak. Untuk mengembalikan ketenangan, masyarakat meminta anak itu mengembalikan mutiara kepada naga.
Kisah yang lain adalah Jenderal Fubo yang sedang naik perahu kembali ke istananya sambil membawa tanaman obat-obatan, digossipkan mengangkut mutiara dalam kapalnya. Maka dengan marah Jenderal Fubo menuangkan isi kapal itu ke sungai, dan dengan demikian "mengembalikan mutiara" ke alam. Wallahu'alam.


Yang jauh lebih menarik sebenarnya adalah keberadaan ukiran di dinding gua berupa Buddharupang dan Bodhisattvarupang. Peninggalan dinasti Tang (618~907 Masehi) yang sudah berumur lebih dari seribu tahun ini memang tidak lagi lengkap seribu. Ada 239 rupang yang terpampang di 36 panel di bagian atas gua bertingkat tiga ini.


Ada satu tambahan lagi di Bukit Fubo. Sebuah periuk logam besar ditempatkan di salah satu paviliun yang ada di sana. Tadinya periuk itu berasal dari sebuah vihara, hanya digunakan setahun sekali untuk membuat "bubur Sujata" memperingati Wesak. Ketika perang dengan Jepang, periuk itu rusak dan alasnya bolong. Kini periuk itu sengaja disimpan di Bukit Fubo sebagai salah satu peninggalan sejarah.

Pernahkah Anda mencicipi "bubur Sujata?" Ikut Ki Ananda ke India deh, entar aki ajak menikmati bubur yang khas ini!

O ya. Di Bukit Fubo juga ada kiosk penjual souvenir. Sambil menjual seruling, penjajanya memainkan lagu2 sesuai dengan tamu yang datang. Kalau datang rombongan orang-orang Jepang, ia main lagu Jepang.

Saat Ki Ananda di sana, ia memainkan lagu Butet dan Bengawan Solo. Asyik juga, ya?

Senin, 07 Juni 2010

HARAPAN DAN KEWAJARAN

Alkisah, seorang biksu muda ditugaskan mengurus sebuah vihara tua. Letaknya terpencil di puncak gunung.

Biksu mudah itu merasa sangat gembira. Ia memang sedang sangat bersemangat. Membangun kembali vihara yang sudah usang merupakan kesempatan baik untuk membuktikan bahwa ia mampu mengurus sesuatu dengan baik. Ia mencurahkan segenap usahanya sehingga vihara itu kelak akan menjadi vihara yang sempurna, sesuai dengan idealismenya.

Di vihara tersebut juga tinggal seorang biksu tua. Biksu itu sudah sangat tua sehingga ia tidak lagi mengajar, dan hanya melewatkan waktunya dengan meditasi dan hidup penuh ketenangan. Wajarlah biksu muda itu pun membantu mengurus segala keperluan biksu tua. Mempersiapkan makanan dan lain-lain.

Suatu hari, ada berita bahwa guru biksu muda itu akan berkunjung ke vihara tersebut, bersama teman-teman biksu muda itu dari vihara yang dulu ditempatinya. Tentu mereka semua akan datang meninjau, sampai sejauh mana keberhasilan biksu muda melaksanakan tugasnya.

Sejak pagi biksu muda sudah bersiap menyambut rombongan gurunya. Semua sudut dibersihkannya dengan baik dan rapi. Ia ingin membuktikan kepada guru dan teman-temannya, bahwa ia mampu melaksnakan tugasnya.

Malam sebelumnya angin bertiup kencang sekali. Halaman vihara penuh dengan tumpukan daun yang berserakan dari pohon besar yang ada di tengah taman. Biksu muda menyapu dengan giat dan penuh semangat. Semua daun dikumpulkan, dimasukkan ke dalam tempat sampah dan diangkut lalu dibuang. Seluruh kegiatannya diperhatikan dengan cermat oleh biksu tua dari teras kamarnya.

Setelah selesai bekerja keras dan membersihkan semua, biksu muda menengok ke arah biksu tua dan menanyakan komentarnya.

"Bagus, bagus!" kata biksu tua itu. "Hanya tinggal satu lagi yang harus dilakukan supaya benar-benar sempurna."

Biksu muda itu bingung. Rasanya ia telah melakukan semuanya dengan baik dan benar.

"Tuntun saya ke halaman. Nanti saya tunjukkan." lanjut biksu tua itu.

Dengan sedikit ragu dan tidak mengerti biksu muda itu menuntun biksu tua ke halaman. Namun ia juga sudah cukup lama mengenal biksu tua itu sehingga ia yakin ada sesuatu yang tidak terduga yang akan dialaminya.

Biksu tua itu langsung menuju pohon dan dengan segenap sisa tenaganya yang rapuh, mengoyang-goyangkan pohon. Daun-daun berjatuhan, kembali berserakan di setiap jengkal halaman.

Tidak ada waktu lagi untuk membersihkannya karena ternyata rombongan guru biksu muda itu sudah tepat tiba di gerbang vihara.

Biksu tua itu berkata dengan puas : "Nah, sekarang segalanya sempurna!"
Kita semua mempunyai persepsi sendiri tentang kesempurnaan. Kita membawa gagasan sendiri tentang apa yang "seharusnya". Kita menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengatur agar keadaan menjadi "sesuai" dengan keinginan kita.

Kita ingin mengatur segalanya. Keluarga, teman-teman, rekan sekerja, umat se-vihara. Kita mengira bahwa kalau semua sesuai dengan "harapan" kita, kita akan bahagia.

Gagasan kesempurnaan terus menerus menghadapkan kita dengan kenyataan kehidupan.

Gagasan itu, harus kita sadari, hanyalah gagasan. Sebuah konsep yang bukan hanya tidak selalu bisa diterapkan "sebagai mana mestinya" karena hidup nyatanya selalu berubah. Bahkan gagasan kita sendiri atas "kesempurnaan" itu pun mungkin berubah seiring bertambahnya usia kita.

Bahagia mulai dan berakhir dalam diri kita sendiri. Tidak ada yang dapat memberikannya kepada kita, tidak ada yang dapat mengambilnya dari kita. Kalau kita bergantung pada suatu keadaan tertentu untuk bahagia, maka kita bisa kehilangan kebahagiaan itu.

Tidak perlu ngotot menciptakan suatu dunia yang segalanya sesuai dengan apa yang kita anggap sebagai "seharusnya". Berdamailah dengan segala sesuatu apa adanya.


Daun jatuh dari pohon? Tidak masalah.
Melihat daun jatuh dan berharap jangan ada daun di taman, menimbulkan masalah.

Orang lain boleh setuju atau tidak setuju dengan pendapat kita, bukan masalah.
Ge-er merasa bahwa kita harus membuat mereka setuju, itu menyebabkan masalah.



From Higher Than Happiness
Published by Pannadipa Books
ISBN 1-899417-00-1

Minggu, 06 Juni 2010

MEMPERKAYA KARUNA, MENGEMBANGKAN MUDITA

KARUNA = Belas kasihan
MUDITA = Simpati, turut bergembira melihat keberuntungan orang lain


Pagi itu Philippe Prasetya tiba-tiba berkata :
Bagi kebanyakan orang, mudah untuk merasa kasihan terhadap yang lebih menderita. Kita lebih mudah memberi uang kepada mereka yang lebih miskin daripada kita, yang kekurangan. Kita memberi sedekah kepada orang cacat. Tetapi tidak mudah bagi kita untuk bersimpati pada orang yang lebih beruntung.

Cobalah lihat segi positif dari orang yang kita tolong. Mungkin mereka miskin, tapi lihat semangat hidupnya. Benar mereka cacat, tapi mereka tidak mudah putus asa dan tetap gembira.

Lihat positifnya, transformasikan karuna menjadi mudita.

Serba dualisme.
Seorang rekan di FB mengatakan bahwa fesbuk pun punya dua sisi. Ada positifnya, bisa menambah wawasan. Segi negatifnya bisa kecanduan, mesbuk tetus tak kenal waktu, melupakan anak-istri-suami dan kehidupan nyata yang sebenarnya tak boleh kita lalaikan.

Seorang rekan lainnya di FB mengatakan, betapa gersangnya India, kasihan para penduduknya yang miskin. Namun seperti kata seorang rekan lain yang juga di FB, bukankah Ajahn Brahm sudah memberi petunjuk yang bagus: Jangan melulu melihat dua batu bata yang salah pasang. Lihatlah juga 998 batu bata lainnya.

Demikianlah, lain kali melihat anak kecil mengamen di jalan, alih-alih jatuh kasihan, kembangkanlah mudita, rasakan rejoice dengan melihat kelincahan dan kegembiraan serta kenakalan khas bocah yang tetap menyala.


Apakah yang Anda lihat di sini?
Sebuah gugusan deretan bercak hitam tak beraturan?
Atau tulisan LIFT?


Catatan kaki
Philippe Prasetya bukan berasal dari dunia maya. Ia nyata di dunia saha, secara fisik bahkan sangat dekat dengan aki karena ia adalah anak aki yang sulung. Tapi kadang-kadang, ia juga bisa menjelma jadi guru bagi aki (kalau lagi eling). Tapi jarang sih (atau mungkin aki yang kurang sering mau belajar!). Ha ha ha ....


Notes ini sudah pernah ditayangkan di FB 29 Mei 2009. Jadi ini mah posting ulang.

Sabtu, 05 Juni 2010

MENDUT ~ 9th CENTURY BUDDHIST TEMPLE IN JAVA

Mendut is a ninth century Buddhist temple, located in Mendut village, Mungkid sub-district, Magelang Regency, Central Java, Indonesia. The temple located about three kilometres east from Borobudur. Mendut, Borobudur and Pawon, all of which are Buddhist temples, are located in one straight line. There is a mutual religious relationship between the three temples, although the exact ritual process is unknown.

Built around early ninth century AD, Mendut is the oldest of the three temples including Pawon and Borobudur. According to the Karang Tengah inscription, the temple was built and finished during the reign of King Indra of Sailendra dynasty. The inscription dated 824 AD mentioned that King Indra of Sailendra has built a sacred building named Venuvana which means "bamboo forest". Dutch archaeologist JG de Casparis has connected the temple mentioned in Karang Tengah inscription with Mendut temple.

In 1836 it was discovered as a ruins covered with bushes. The restoration of this temple was started at 1897 and it was finished at 1925. Some archaeologists who had conducted research on this temple were JG de Casparis, Theodoor van Erp, and Arisatya Yogaswara.The statues of Dhyani Buddha Vairocana, Avalokitesvara, and Vajrapani are inside the Mendut temple. The 26.4 metres tall temple is facing west. The stairs projecting from the west side square elevated base is adorned with Makara statue on each sides, the side of the stairwall carved with bas-relief of fable narrating the animal story of buddhist teaching. The square terrace surrounding the body of the temple was meant for pradakshina or circumambulating ritual, walking clockwise around the temple.

The outer walls is adorned with bas-reliefs of Boddhisattvas (buddhist divinities), such as Avalokitesvara, Maitreya, Cunda, Ksitigarbha, Samantabhadra, Mahakarunika Avalokitesvara, Vajrapani, Manjusri, Akasagarbha, and Boddhisattvadevi Prajnaparamita among other buddhist figures. Originally the temple had two chamber, a small chamber in the front, and the large main chamber in the center. The roof and some parts of the front chamber walls are missing. The inner wall of front chamber is adorned with bas-relief of Hariti surrounds by children, Atavaka on the other side, Kalpataru, also groups of devatas divinities flying in heaven.

Further readings : ARCHITECTURAL DESCRIPTION OF MENDUT

Jumat, 04 Juni 2010

LUMPIA, PASTOR dan HAK AZASI

Dua minggu yang lalu (iya, udah lama. Tapi masih berbekas kuat di ingatan aki), ada suatu peristiwa memalukan. Aki niat membeli lumpia. Di kios itu ada banyak jenis lumpia. Ada lumpia ayam, lumpia keju, lumpia udang, lumpia sapi, lumpia sayur, lumpia pisang coklat, lumpia etc etc...
Mbak penjaja kios dengan ramah menawarkan, yang ini enak, yang itu gurih dst dst. Aki agak bingung dan tertegun sebentar. Akhirnya mbak itu mengeluarkan jurus pamungkas : "Atau semua aja, masing-masing satu..."
Dari mulut aki - tanpa sempat disadari lagi - langsung terperucut : "Yang beli AKU atau kamu...?"
Mbak itu pucat dan terdiam. Aki buru-buru beli dua lumpia sayur dan dua pisang coklat, lalu pulang.

Malu .....

Ternyata ... saat santai dan tidak terbebani intensitas pekerjaan tidak otomatis membuat aki bisa dengan mudah mengatasi marah. Ada yang sudah puluhan tahun menjadi bhikkhu tapi kalau marah lebih galak daripada Satpam di kampung aki. Ada pengusaha dengan lima pabrik tapi bisa mengarahkan ribuan karyawannya secara santun. Tentu saja ada juga berbagai jenis orang di antara kedua ekstrim tersebut.

Empat puluh tahun lalu di Bandung ada seorang pastor yang selebritis, suka nulis di Kompas dan banyak fansnya. Namanya MAW Brouwer. Dia pernah terus terang mengaku bahwa bahkan buat seorang pastor berumur 60 tahun, tetap saja tidak mudah menjalankan aturan selibat (pantang sex). Ternyata tidak serta merta umur membuat orang lebih jinak ....

Saat marah, ego kita dihantui ilusi seolah kita adalah yang "lebih benar, lebih pintar, lebih baik, lebih mengetahui, lebih berkuasa dll dll".
Maukah (perlukah?) kita tetap mempertahankan ilusi ini?

"....Setiap manusia punya HAK AZASI untuk memutuskan sejauh mana ia mau melakukan, atau tidak melakukan, hal-hal tersebut .... "

Having said that, kita tidak boleh lupa bahwa juga ada KEWAJIBAN AZASI. Setiap manusia punya KEWAJIBAN AZASI untuk berlatih dengan baik, untuk berupaya sungguh-sungguh supaya secepatnya terbebas dari lobha, dosa, moha.

Kita tidak mau terus menerus lahir berulang-ulang sebagai manusia, bukan? Atau ular, atau cacing).


Catatan : Ini juga posting ulang dari FB tgl 25 Mei 2009.

Kamis, 03 Juni 2010

Seekor Ular, Ajahn Brahm, dan KITA

Bergaul di FB menyadarkan aki bahwa kita tidak pernah benar-benar sendirian.
Begitu nulis sedikit, ramai yang berkomentar. Konon pula kalau salah nulis .... hi hi ...:)

Hal lain yang semakin aki sadari adalah bahwa ada aneka pendapat yang masing-masing merasa (paling) benar. Dari berbagai tanggapan itu aki bertambah kaya wawasan. Ternyata ada lebih dari satu cara untuk memandang suatu masalah.

Dan inilah dari sudut pandang Ajahn Brahm yang aki dengar ketika Beliau di Jakarta beberapa tahun lalu :
... ... (ya, betul! Backing vocalnya berbunyi ~~ "katanya, katanya, katanya" ...~~~ ~~~
Seekor ular yang bertobat setelah mendengar uraian Dharma dari seorang Guru di vihara, menjadi benar2 jinak. Ia tidak lagi mau menggigit manusia. Begitu jinaknya sehingga anak-anak mulai berani mengganggunya, dan - namanya juga anak-anak - makin lama makin kurang ajar. Ular itu di tarik ekornya, dipukul dengan ranting, dilempari batu, pokoknya kasihan deh.

Ular itu memang diam tapi singkat cerita akhirnya ga sabar juga. Ia pun curhat kepada Sang Guru. Kata Guru: "Aku memang bilang menggigit manusia itu tidak baik. Tapi aku tidak pernah melarang kamu mendesis, kan?"

Sore itu ketika anak-anak datang mengganggu, ular itu mengangkat kepalanya, mendesis sambil membuka mulutnya, memperlihatkan giginya yang tajam siap menerkam. Anak-anak lari tunggang langgang, dan sejak saat itu sang ular bisa leluasa bertapa dengan nyaman.

And end of the story, as usual, happily ever after ....
~~~ katanya, katanya ~~~ ....

Sekali lagi kemarahan (dan kemalasan, mengintip gambar porno, berbohong "kecil-kecilan" dll) adalah sangat manusiawi.
Setiap manusia punya HAK AZASI untuk memutuskan sejauh mana ia mau melakukan, atau tidak melakukan, hal-hal tersebut.

Wassalam.


Posting ulang dari FB tgl 24 Mei 2009

Rabu, 02 Juni 2010

DANA PARAMITA

Jangan kikir senanglah memberi, apapun, berapapun dan kepada siapapun;
keberuntungan hidupmu bergantung dari pemberian yang kau lakukan.


Dalam melakukan pemberian, rasakan bahagia karena dapat melakukannya,
Jangan merasa bahagia karena mendengar kata terimakasih dari orang yang kau beri, atau kebaikanmu diketahui umum.

Sembunyikan kebajikan-kebajikanmu dari orang lain,
Sebaliknya biasakan memuji kebajikan yang dilakukan orang lain.


Ini akan memurnikan kadar kebajikanmu, menyuburkan karma baiknya.
Dan ini akan menghapus rasa iri serta cemburu mu terhadap kebajikan yang lain.

Semoga semua makhluk berbahagia.








Surat dari Romo Sumatijnana untuk Komunitas Bhumisambhara

Selasa, 01 Juni 2010

Yang Memberi Yang Harus Berterimakasih

Saat Seisetsu menjabat guru Engaku di Kamakura ia membutuhkan bangunan yang lebih besar. Gedung tempat mengajar yang lama sudah terlalu penuh.

For ENGLISH please see THE GIVER SHOULD BE THANKFUL.

Umezu Seibei, seorang saudagar dari Edo, berniat menyumbangkan dana sebanyak 500 keping ryo (uang emas) untuk melaksanakan pembangunan itu. Ia pun membawa uang itu kepada sang guru.

Seisetsu berkata: "Baiklah. Aku terima."

Umezu menyerahkan kepada Seisetsu bungkusan emas itu. Namun ia tidak senang melihat sikap sang guru. Tiga keping ryo saja sudah cukup untuk biaya hidup seseorang selama setahun. Ia menyerahkan 500 keping ryo, dan bahkan tidak mendapatkan sepatah pun ucapan terimakasih.

"Dalam bungkusan itu, ada LIMA RATUS keping ryo," ucap Umezu seakan memberi pancingan.

"Ya, kamu sudah mengatakannya padaku sebelumnya," jawab Seisetsu.

"Bahkan untuk seorang saudagar kaya seperti saya, 500 keping ryo adalah jumlah yang sangat banyak," kata Umezu lagi.

"Maksudmu, engkau menginginkan aku berterimakasih padamu?" tukas Seisetsu.

"Sudah sewajarnya," jawab Uzemu.

"Kenapa?" kata Seisetsu sambil tersenyum. "Yang memberi yang harus berterimakasih."

Senin, 31 Mei 2010

POHON BODHI BUKANLAH POHON

Sesepuh ke lima, Hongren meminta semua muridnya untuk menuliskan pengalaman Dharma masing-masing. Tulisan terbaik akan berhak menjadi pewarisnya. Semua murid berpendapat bahwa sebagai murid tertua, pastilah Shenciu yang akan mewarisinya.

Di sebuah tembok Shenciu menulis,
"Tubuh adalah pohon Bodhi
Pikiran adalah tempat cermin bersih berkilau.
Usaplah setiap hari dengan penuh perhatian, tanpa henti,
agar tetap bersih dari debu duniawi
"

Semua murid terpesona dengan gatha ini.
Namun setelah membacanya, Sesepuh Hongren mengatakan bahwa gatha ini belum mencerminkan pencerahan.

Huineng adalah seorang murid yang berasal dari keluarga miskin dan buta huruf. Ia tinggal di vihara dengan tugas sebagai tukang giling gandum di dapur, karena ia yang buta huruf dianggap bodoh. Huineng meminta seorang temannya untuk membantunya menulis sementara ia mendiktekan:

"Pada hakikatnya tidak ada pohon pencerahan.
Tidak juga ada cermin bersih kemilau dan tempat berdirinya.
Karena sejak semula semuanya kosong,
di mana pula debu bisa melekat?"


Murid-murid yang berada di sana tercengang.
Sesepuh Hongren sadar bahwa Huineng-lah yang kelak akan meneruskan garis kepemimpinan. Namun khawatir bahwa hal ini dapat menimbulkan rasa iri dan benci di antara murid, Hongren pun berkata, "Ini juga belum mencerminkan keinsafan sejati, Hapus!!"

Murid-murid pun bubar. Huineng meneruskan kerjanya di dapur. Dengan diam-diam Hongren masuk ke dapur dan tanpa sepatah kata pun, memukul kuali tiga kali.

Malam itu Huineng datang menghadap Hongren tepat jam 3 pagi. Jubah dan patra tanda kepemimpinan pun diwariskan oleh Hongren kepada Huineng.

(Terimakasih kepada bung Suman Sutra yang telah memberi ilham untuk notes ini. Dan TERUTAMA kepada "semua para HUINENG"yang telah sudi menulis di dinding aki.)

Kamis, 27 Mei 2010

PESAN WAISAK 2554/2010 Sangha Theravada Indonesia

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa

Natthi ragasamo aggi, Natthi dosasamo kali
Natthi khandhasama dukkha, Natthi santiparam sukham


Tidak ada api sepanas nafsu, Tidak ada kejahatan yang menyamai kebencian
Tidak ada penderitaan yang menyamai proses kelangsungan hidup,
Tidak ada kebahagiaan melebihi kedamaian sejati.
(Dhammapada, 202)


Kelahiran, Pencapaian Pencerahan Spiritual, dan Pencapaian Parinibbana (Mangkat Sempurna) Buddha Gotama merupakan tiga peristiwa suci (Trisuci) yang diperingati pada Hari Raya Waisak. Peristiwa pertama saat Kelahiran Siddhartha Gotama, putra mahkota kerajaan Kapilavasthu, di India Utara, pada hari purnama di bulan Waisak tahun 623 SM. Sedangkan peristiwa kedua adalah Pencapaian Pencerahan Spiritual Siddhartha Gotama menjadi Buddha yang terjadi pada hari purnama di bulan Waisak tahun 588 SM. Kemudian selama 45 tahun Buddha membabarkan ajaran Kebenaran Dhamma kepada masyarakat luas. Akhirnya peristiwa ketiga terjadi ketika Buddha Gotama mangkat sempurna mencapai Parinibbana dalam usia 80 tahun pada hari purnama di bulan Waisak tahun 543 SM.

Kehadiran Buddha di dunia ini membuka pandangan masyarakat luas terhadap keberadaan Kebenaran Dhamma yang berlaku secara universal. Melenyapkan ketidaktahuan dan memunculkan pengetahuan terhadap fenomena hidup. Perubahan yang terjadi pada setiap sendi kehidupan merupakan salah satu fenomena hidup. Kebijaksanaan menuntun manusia untuk menerima kenyataan kebenaran serta menyikapi dengan tepat kebenaran itu. Menggunakan perubahan sebagai kondisi dan peluang kesempatan untuk merubah hidup kearah harapan hidup lebih baik. Perubahan terjadi dalam segala sesuatu yang berkondisi, orang yang menyikapi hal itu dengan bijak, maka ia tidak akan mengalami penderitaan, inilah pandangan mulia yang menuju kepada pencerahan spiritual (Dhammapada, 277).

Dengan Kedamaian Membangun Kebahagiaan Sejati, demikian tema Peringatan Hari Raya Waisak 2554/2010 yang diangkat oleh Sangha Theravada Indonesia. Kedamaian dan pertikaian merupakan dua hal yang saling berlawanan dalam hidup kita. Pada umumnya pertikaian sangat mudah terjadi karena terdapatnya perbedaan yang dimaknai sebagai permusuhan. Perbedaan itu ingin ditiadakan karena dipandang mengancam kelangsungan hidup. Memang pada saat manusia masih berpikiran bahwa kelangsungan hidupnya sendiri jauh lebih utama dibandingkan dengan kelangsungan hidup orang lain ataupun makhluk lain, maka pertikaian selalu terjadi. Padahal setiap manusia mempunyai kesempatan untuk hidup di dunia ini saling berdampingan, meskipun terdapat perbedaan tingkat kekayaan, kepandaian, kedudukan. Kedamaian perlu diupayakan terjadi sebagai perwujudan dari penerimaan perbedaan yang dimaknai sebagai persahabatan. Tentu persahabatan yang benar adalah persahabatan yang tumbuh bertumpu pada kode etik, norma moral, dan nilai spiritual luhur, bukan persahabatan yang merupakan persekongkolan kejahatan ataupun kecurangan. Persahabatan yang diajarkan oleh Buddha hendaknya berpegang teguh pada sikap malu berbuat buruk (Hiri) dan takut terhadap akibat perbuatan buruk (Ottappa). Sebagian besar orang tidak mengetahui bahwa dalam pertikaian mereka dapat binasa, tetapi mereka yang menyadari kebenaran itu akan segera mengakhiri semua pertikaian (Dhammapada, 6).

Suasana damai bukan saja terdapat dalam relasi antar sesama manusia, tetapi kedamaian juga perlu dimiliki dalam diri pribadi manusia itu sendiri, serta dalam relasi antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Pertikaian dalam diri manusia akan menimbulkan kecemasan, kekawatiran, ketakutan, bahkan ada manusia yang tidak mampu menghadapi pertikaian dalam dirinya dengan cara mengakhiri hidup sendiri. Pertikaian antar sesama manusia akan menimbulkan ketidaknyamanan hidup, permusuhan antar sesama manusia dapat menimbulkan tindakan kekerasan dan peperangan yang saling membinasakan. Pertikaian antara manusia dengan lingkungan hidup akan menimbulkan ketidakharmonisan lingkungan hidup, musibah banjir, tanah longsor, pencemaran lingkungan, bahkan dampak pemanasan global mengancam hidup manusia. Karena itu diantara dua pilihan sikap perilaku, bertikai atau berdamai, tentu berdamai menjadi pilihan yang benar, karena kedamaian dapat dipergunakan sebagai sarana untuk memperoleh kebahagiaan sejati.

Kedamaian dapat terjadi apabila manusia mampu meningkatkan kualitas hidupnya masing-masing untuk menghindari keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin. Keserakahan ibarat api panas yang berkobar dalam kenikmatan dan ketidakpuasan, sedangkan kebencian seringkali merupakan penyebab perilaku jahat. Kegelapan batin membuat manusia tidak memiliki prinsip yang tepat dalam hidupnya.

Nafsu serakah atau tamak tidak akan padam selama manusia belum mampu menyadari bahwa nafsu itu bukannya menyenangkan tetapi menyebabkan manusia terjerat makin kuat dalam ikatan nafsu yang berakibat pada pelupaan ataupun peniadaan keberadaan orang lain ataupun lingkungan hidupnya. Perilaku manusia menjadi arogan bahkan sewenang-wenang terhadap orang lain dan lingkungan hidup. Kehancuran orang lain dan lingkungan hidup tidak dipahami, karena yang diketahui adalah terpuasinya nafsu serakah tersebut.

Kebencian dapat dipadamkan apabila manusia menyadari kebersamaan hidup sebagai keniscayaan untuk saling peduli. Ingatan kebersamaan menjadi dasar bagi pelenyapan kebencian. Karena kebersamaan adalah menghargai keberadaan hidup manusia, meskipun manusia memiliki perbedaan-perbedaan dalam banyak hal, suku bangsa, agama, bahasa, budaya. Keberadaan hidup adalah perihal hidup-mati manusia, berbeda dengan kualitas perilaku hidup yang bisa baik-buruk. Terhadap kualitas perilaku baik tentu kita mendukung, tetapi terhadap kualitas perilaku buruk hendaknya kita menghindari.

Prinsip hidup sering tidak jelas, bahkan prinsip Kebenaran Dhamma sering diabaikan. Kemudian manusia menggunakan prinsip hidup lain seperti mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari kesempatan yang ada tanpa berpegang pada prinsip etik moral spiritual luhur. Kebenaran Dhamma memberi tuntunan bagi manusia untuk memegang teguh prinsip etik moral spiritual luhur. Dampak langsung dari penggunaan prinsip etik moral spiritual itu adalah munculnya ingatan kebersamaan hidup yang merupakan sikap tepat untuk melenyapkan kegelapan batin. Kebersamaan akan menimbulkan pola pikir yang luas, minimal terhadap orang-orang yang ada disekelilingnya ataupun lingkungan hidup sekitarnya. Kepedulian terhadap orang lain dan lingkungan hidup ini merupakan kepekaan pikiran manusia yang bisa dibangun dengan diawali oleh sikap belas kasih terhadap penderitaan dalam kehidupan orang lain dan lingkungan hidup ini.

Selamat Hari Raya Waisak 2554/2010.
Marilah kita mewujudkan kedamaian dalam diri kita masing-masing, di antara kita bersama, dan antara kita dengan lingkungan hidup ini agar kita dapat membangun kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang dicita-citakan oleh masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia tercinta.


Semoga Tuhan Yang Maha Esa, Tiratana, selalu melindungi.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia


Kota Mungkid, 28 Mei 2010
SANGHA THERAVADA INDONESIA

Bhikkhu Jotidhammo, Mahathera
Ketua Umum / Sanghanayaka

Rabu, 26 Mei 2010

RENUNGAN WAISAK 2554 BE / 2010

Namo Sanghyang Adi Buddhaya
Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa
Namo Sarve Bodhisattwaya Mahasattwaya


Purnamasiddhi di bulan Waisak telah tiba, seluruh umat Buddha mengenang dan merenungkan kembali makna spiritual dan semangat yang dikandung dalam tiga peristiwa agung:
Pertama Kelahiran Pangeran Siddhartha Gautama di Lumbini, di sebuah taman yang indah. Beliau adalah Bodhisattva yang turun ke dunia dari surga Tusita untuk menjadi Buddha.

Kedua tercapainya Penerangan Sempurna, Petapa Gautama berhasil merealisasikan Nirwana dan menjadi Samyaksambuddha di Bodhgaya, di bawah pohon Bodhi.

Ketiga parinirwana Buddha Gautama di Kusinara, di antara dua pohon Sala kembar.
Peristiwa agung yang terjadi pada bulan waisak merupakan sebuah rangkaian kehidupan yang penuh dengan totalitas dedikasi dan karya besar bagi kemanusiaan, peradaban, dan alam semesta.

Realisasi spiritualitas keterbangunan nurani Sidharta bukanlah suatu capaian yang berangkat dari ketakutan atau penolakan sepihak terhadap penderitaan pribadi ataupun yang bersifat kebetulan karena sudah dipilih dan ditakdirkan, melainkan berangkat dari observasi langsung terhadap realitas kehidupan diiringi kepedulian terhadap derita semua agregat kehidupan, kemudian diperjuangkan dengan sepenuh hati tanpa kenal lelah.

Memaknai Waisak adalah memaknai Buddha, sebuah kapasitas mental untuk bangkit, mengasihi, peduli dalam memahami dan menghadapi realitas kehidupan, agar menjadi tercerahkan. Kapasitas mental tersebut kita miliki sebagai manusia, baik dalam bentuk benih-benih kecil maupun sudah menjadi tunas- tunas muda yang siap bangkit, tumbuh berkembang menjadi pohon-pohon pencerahan yang menyejukkan. Latihan yang dapat dilakukan untuk membangkitkannya adalah dengan menyiraminya dengan kesadaran, mengetahuinya sebagai sebuah realita bukan gagasan, bukan pendapat, bukan mitos, melainkan kenyataan yang dapat diraih secara terus-menerus tanpa dibatasi oleh waktu, ruang, dan keadaan.

Karakter bijak dan penuh kepedulian terhadap derita makhluk lain merupakan denyut nadi spiritualitas yang sesungguhnya. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dua karakter ini merupakan modal dasar untuk membentuk masyarakat, bangsa dan negara yang maju, harmonis, bermartabat. Kurangnya kepedulian terhadap sesama adalah awal dari tindakan mementingkan diri sendiri, memakmurkan diri sendiri, menyenangkan diri sendiri dengan cara apapun yang pada titik ekstremnya terdemonstrasikan dalam tindakan mencuri, korupsi, menggunakan wewenang secara salah sehingga menyuburkan sikap saling curiga, sikap saling tidak percaya, akhirnya terakumulasi menjadi krisis kepercayaan baik secara personal dan lebih parah pada dimensi institusional sebagai benih-benih keretakan.

Jika latihan spiritual kita semakin dalam, menekankan pada kebijaksanaan dan belas kasih, kita akan berkali-kali berjumpa dengan penderitaan makhluk hidup lain, dan kita akan memiliki kemampuan untuk mengenalinya, menanggapinya, dan merasakan belas kasih mendalam, alih-alih perasaan apatis atau tak berdaya. Ketika merenungkan penderitaan, janganlah jatuh dalam depresi. Ketika merenungkan kebahagiaan, janganlah jatuh dalam kesombongan atau merasa bahwa kita begitu penting.

Mengembangkan kebijaksanaan akan membantu kita untuk menghindari kejenuhan ini. Tetapi ini sulit untuk di generalisir karena keberanian dan ketangguhan masing-masing orang adalah berbeda. Inilah karakteristik yang membuat kita mampu mengenali dan merespon penderitaan orang lain.

Hidup berkesadaran adalah untuk dilakukan sepanjang hari, dalam segala aktivitas. Dengan senantiasa memelihara kesadaran untuk berdiam pada kekinian, maka kita akan memiliki perlindungan yang paling aman dan pasti. Dalam Samyutta Nikaya I : 208, tercatat Buddha Gotama menyatakan bahwa, "Bagi seseorang yang sadar, selalu ada kebaikan; bagi seorang yang sadar, kebahagiaan bertambah; bagi seorang yang sadar, segala hal membaik; walaupun ia belum terbebas dari para musuh. Namun, ia yang baik siang maupun malam mendapatkan kegembiraan dalam ketenteraman, membagi cinta kasih dengan semua yang hidup, ia tidak menemukan permusuhan dengan siapa pun."

Seiring dengan momentum wiasak ini, saya mengajak segenap umat Buddha untuk membantu memberikan kontribusi positif bagi upaya bersama membangkitkan kemajuan bangsa dan negara melalui internalisasi nilai-nilai spiritualitas dasar ke-buddha-an yakni kepedulian (karuna) dan kejernihan atau kebijaksanaan (prajna) dalam bingkai ke-Indonesiaan. Umat Buddha yang ada seyogyanya dapat menjadi bagian dari solusi, bukan justru menambah persoalan bangsa. Pekerjaan besar tersebut tidak lain merupakan wujud dari rasa kebangsaan atau nasionalisme, karena nasionalisme yang sesungguhnya juga mengandung sikap sadar berpijak pada realitas kekinian dalam konteks ruang dan waktu (sati sampajana) dan ditindaklanjuti dengan sikap kepedulian (karuna), sebuah sikap kontribusi.

Marilah kita internalisasikan pesan-pesan waisak yang lebih bermakna dalam kehidupan sehari-hari secara nyata agar terbentuk proses pembangunan karakter berbasis manusia, menjadi manusia utuh dan paripurna agar mampu memberikan kontribusi nyata untuk bangsa dan negara dalam bidang kita masing-masing.

Selamat Hari Waisak 2554 BE, semoga semua makhluk hidup berbahagia.



Mettacittena,
SANGHA AGUNG INDONESIA





Mahathera Nyanasuryanadi
Ketua Umum

Senin, 24 Mei 2010

纸上谈兵 Zhi Shang Tan Bing

Pada jaman Negara-negara berperang, ada seorang jenderal hebat bernama Zhao She. Anaknya bernama Zhao Gua. Sejak muda Zhao Gua sudah gemar membaca buku strategi perang. Dia juga suka berdiskusi tentang strategi dengan ayahnya.

For ENGLISH please see THE WHISPER OF CHINESE WISDOM

Tapi sayangnya, Zhao Gua sering meremehkan perang sebagai suatu hal yang mudah.

Suatu waktu, Negara Qin menyerang Negara Zhao. Sebenarnya Raja Zhao Xiao ingin mengirim Jenderal Lian Po yang sudah banyak pengalaman. Namun akhirnya Raja berpikir Lian Po sudah terlalu tua untuk berperang. Ia lalu memutuskan untuk menggantikan Lian Po dengan Zhao Gua.

Ketika Ibunda Zhao Gua mendengar kabar ini, dia sangat terkejut dan segera menemui Raja Zhao Xiao. Sang ibu memohon dan berkata: "Sekalipun Zhao Gua sering membaca buku perang dan punya pengetahuan luas tentang perang, ia tidak pernah mempraktekkannya dalam perang sesungguhnya. Harap pertimbangkan kembali, Yang Mulia".

Tapi Raja Zhao Xiao tetap mengirim Zhao Gua untuk mengambil alih pasukan Lian Po.

Zhao Gua dengan cepat mengubah strategi Lian Po secara gegabah tanpa mau mendengarkan pendapat orang lain. "Ini sudah sesuai text book!" begitu pikirnya.
Hasilnya pun jelas. Pada malam pertama ia langsung kehilangan 400.000 pasukannya. Ia sendiri kemudian terbunuh terkena panah pada saat melarikan diri.

"纸上谈兵 Zhi Shang Tan Bing " menggambarkan orang-orang yang hanya bisa bicara tapi tidak bisa mempraktekkannya. Walaupun demikian, dia masih "bicara tinggi" tentang skillnya.

Di Indonesia, mungkin lebih dikenal dengan OMDO(Omong doang)

Jumat, 21 Mei 2010

Apakah kita tempayan yang bocor?

Seorang nenek mempunyai dua buah tempayan. Ia memikul tempayan itu di pundaknya. Satu di ujung pikulan sebelah kiri, satu di ujung pikulan sebelah kanan. Setiap pagi, nenek itu pergi ke ke sungai untuk mengambil air.

For ENGLISH please see INTERESTING FACTS...

Karena salah satu tempayan itu bocor, airnya cuma tinggal setengah setiap kali si nenek tiba di rumah. Namun selama dua tahun nenek itu terus saja tiap hari mengambil air dengan dua buah tempayan ini. Tidak pernah mengeluh, meskipun setiap hari ia hanya membawa pulang air sebanyak satu setengah tempayan.

Tempayan yang utuh selalu merasa bangga karena mampu membawa banyak air.

Sebaliknya tempayan yang bocor merasa malu karena cacat. Ia sedih melihat si nenek hanya bisa mendapat setengah dari yang seharusnya ia tampung. Akhirnya setelah dua tahun menyimpan kesedihannya sendiri, ia tak tahan lagi, dan berkata kepada si nenek :
"Nenek yang baik, maafkan saya. Saya sangat malu. Karena saya bocor, setengah tempayan air tercecer di sepanjang jalan. Nenek hanya mendapat setengah tempayan air untuk di rumah. Maafkanlah saya, nek...", kata tempayan itu terbata-bata menahan kesedihan.

Tanpa diduga, nenek itu malah tersenyum.
"Tempayan yang baik, tidakkah kamu melihat bahwa ada bunga-bunga yang indah di sisi jalan yang biasa kamu lalui? Mengapa tidak ada bunga di sisi jalan yang lain? Dari dulu nenek juga sudah tahu bahwa kamu ini tempayan yang bocor. Makanya di sisi jalan yang biasa kamu lalui, nenek tanami pohon bunga. Tiap hari, sambil kita lewat, air bocoran kamu menyirami bunga.

Bunga-bunga yang indah itulah yang nenek gunakan untuk menghias altar di rumah ini. Tanpa kamu, tempayan yang bocor, nenek tidak bisa menyajikan keindahan bunga-bunga di altar
."


Kita masing-masing mempunyai "kebocoran" masing-masing.

Namun "bocor" dan "retak" itulah yang membuat hidup kita menjadi unik dan menarik.
Lihatlah setiap pribadi apa adanya, dan temukan kebaikan mereka.


Buat teman-teman "tempayan yang bocor", Ki Ananda mengucapkan selamat menikmati hari yang indah ini, dan jangan lupa mencium harum bunga di sepanjang tepian jalan Anda.

Kamis, 20 Mei 2010

Mekanika Kuantum & Interpenetrasi Fenomena

Di dalam sebiji gandum, terdapat banyak sekali gandum lainnya.

Sebagai contoh, misalnya saja kita melihat sehelai kemeja. Dapatkah kita melihat awan di dalam sehelai kemeja? Tentu banyak orang yang merasa bingung apabila ditanya masalah ini. Namun kalau kita merenungkan dari mana datangnya kemeja ini, kita akan mendapatkan jawabannya. Kemeja berasal dari pohon kapas yang mendapat sinar matahari dan hujan. Hujan itu sendiri datang dari awan. Setelah kapas yang sudah tumbuh diambil dan ditenun menjadi benang, kemudian benang dirajut menjadi kain, dan selanjutnya menjadi kemeja. Maka jelas kita dapat melihat sinar matahari dan awan serta hujan didalamnya. Ini adalah interpenetrasi fenomena.
Di dalam sebuah fenomena terkandung fenomena lainnya yang berkaitan.


Prinsip interpenetrasi segala fenomena bisa ditemukan di beberapa sutra Buddhis, seperti Avatamsaka, Surangama, dan Vimalakirti-nirdesa.

Avatamsaka-sutra bab 36 :
Di dalam setiap atom tunggal, mereka melihat seluruh alam semesta.


Surangama-sutra bab 2 :
Dengan tubuh dan pikiran sempurna dan terang, Anda adalah mandala yang bergeming, di mana ujung sebuah bulu mampu secara meyeluruh mengandung daratan-daratan dari sepuluh penjuru.


Vimalakirti-nirdesa-sutra bab 6 :
… seorang Bodhisattwa agung yang telah meraih pembebasan yang tak terbayangkan, mampu mengmbil dan meletakkan di atas telapak tangan kanannya satu milyar dunia kecil seperti seorang pembuat tembikar memegang rodanya, melemparkannya jauh melampaui dunia-dunia sebanyak jumlah pasir di Sungai Gangga, kemudian mengambilnya kembali ke tempat semula sedangkan semua makhluk di dalamnya tidak menyadari mereka telah dilemparkan dan dikembalikan tanpa adanya perubahan pada dunia.


Selanjutnya dalam Avatamsaka-sutra banyak tertulis tentang interpenetrasi dimensi ruang, seperti kutipan di bawah ini:

Bodhisattwa mampu melatih perbuatan bajik universal,
Menjelajah tapak jalan sebanyak jumlah partikel atom di kosmos;
Dalam setiap atom tersingkap daratan tak terhingga banyaknya,
Murni dan besar seperti angkasa.

Mereka memanifestasikan kekuatan mistik seluas angkasa raya
Dan pergi ke Boddhimanda di mana bersemayam para Buddha;
Di atas tempat duduk teratai mereka menyingkapkan banyak wujud,
Dalam setiap tubuh terkandung semua daratan-daratan.

Dalam setiap atom dari daratan-daratan di kosmos
Terbentang samudra besar yang terdiri banyak dunia
Awan para Buddh melingkupi seluruhnya,
Memenuhi setiap tempat.

Daratan-daratan yang termanifestasi dalam sebuah atom
Berasal dari kekuatan ajaib dari kekuatan tekad sumpah awal:
Disesuaikan dengn aneka perbedaan dalam kecondongan pikiran
Semua bisa dibuat, di tengah-tengah angkasa.

Dalam semua atom-atom dari semua daratan
Buddha memasuki, setiap dari mereka,
Memunculkan pertujukan ajaib untuk para makhluk:
Demikianlah cara Wairocana.

Dalam setiap atom terdapat banyak samudra dunia-dunia,
Lokasi mereka masing-masing berbeda, semua suci dalam keindahan;
Demikianlah ketakterhinggaan memasuki ke setiap mereka,
Namun masing-masing jelas berbeda, tanpa menghalangi.

Dalam setiap atom terdapat banyak Buddha yang tak terbayangkan
Muncul di setiap tempat sesuai dengan pikiran makhluk,
Sampai di setiap tempat di semua samudra dunia-dunia:
Teknik inidari mereka adalah sama untuk semua.

Hiasan indah yang tak terhingga dari samudra dunia-dunia
Semuanya memasuki sebuah atom;
Demikianlah kekuatan mistik para Buddha
Semuanya lahir dari sifat-dasar tindakan

Dalam setiap atom para Buddha dari senua masa
Muncul, sesuai dengan kecenerungan;
Sementara sifat-dasar esensial mereka tidak dating pun tidak pergi,
Dengan kekuatan tekad sumpah mereka meliputi dunia-dunia.


Kombinasi interpenetrasi dimensi ruang dan dimensi waktu bisa ditemukan dalam bagian sutra yang sama, yakni Avatamsaka-sutra bab 6:

Dalam setitik waktu mereka menyingkap masa lalu, sekarang, dan masa mendatang,
Di mana semua samudra daratan-daratan dibentuk.
Buddha, dengan teknik yang cocok, memasuki mereka semuanya:
Inilah yang Buddha Wairocana telah sucikan.

Kalpa masa lalu, masa mendatang, dan sekarang,
Semua daratan di sepuluh penjuru,
Dan segala hiasan yang di dalamnya,
Semua muncul di setiap daratan.

Hiasan-hiasan dari semua kalpa
Bisa muncul dalam satu kalpa;
Atau hiasan-hiasan dari satu kalpa
Bisa memasuki semua kalpa-kalpa tak terbatas.


Prinsip kuantum telah menjungkirbalikkan apa yang kita sebut dengan realitas. Seperti halnya dalam konsep Buddhis mengenai Samskara atau “kejadian”, mekanika kuantum telah secara radikal menisbikan konsep kita mengenai sebuah objek dengan membuatanya di bawah "kekuasaan" kejadian (event). Ini adalah prinsip ketidakpastian dalam kuantum. Ketidakpastian kuantum membuat batasan yang ketat mengenai keakuratan kita dalam mengukur realitas. Dengan kata lain, akan selalu terdapat derajat ketidakpastiaan mengenai posisi maupun kecepatan dari sebuah partikel. Massa dan dimensi telah kehilangan substansinya karena realitas lebih ditentukan oleh "kejadian" daripada data parameter semata.

Sumber : Djoko Mulyono, Petrus Santoso dan Kristianto Liman, Kajian Tematis Agama Kristen dan Agama Buddha, Freepress Publisher, 2008, hal. 670 – 718

Rabu, 19 Mei 2010

Wiku Sadayana ~ Lukisan dan bingkainya.

Ditulis oleh : TATANG GOWARMAN


Siang itu, Wiku Sadayana sibuk membuat bingkai untuk sebuah lukisan bergambar Buddha yang berwajah asing dan bermata sipit. Setelah selesai memasang lukisan ke dalam bingkai, Wiku menggantung lukisan itu di dinding, di belakang Buddha-rupang di Sanggar Pamujan.

Senja hari seperti biasa Sanggar Pamujan dipenuhi suara para cantrik yang menguncarkan tembang mantra suci mengagungkan Hyang Guru Buddha serta mengulang kembali janji bakti mereka untuk mengikuti ajaran hidup yang luhur dari Hyang Guru Buddha. Sanggar Pamujan yang diterangi kelap kelip dlupak (pelita) minyak jarak, bercampur dengan bau harum dupa dan aneka bunga segar yang terserak di meja tempat rupang Hyang Guru Buddha berada, membuat suasana terasa makin sakral.

Setelah penguncaran mantra suci selesai, mereka bersamadi bersama sama. Sanggar Pamujan yang sebelumnya dipenuhi suara para cantrik bagai dengung para lebah mencari madu bunga, kini sunyi senyap. Suara berbagai serangga yang keluar senja hari terdengar jelas. Sesekali diselingi dengkung katak yang sibuk berpesta mencari makan.
Suara gong mengakhiri samadi bersama. Segera Sanggar Pamujan dipenuhi gemersik baju para cantrik (siswa) yang sedang mengubah letak kaki mereka yang pegal karena duduk tidak bergerak cukup lama. Citramatra yang malam itu memimpin, mengajak semua yang hadir untuk melimpahkan jasa jasa baik perbuatan mereka pada hari itu untuk kebahagiaan semua mahluk dan mengakhiri pembacaan tembang mantra malam itu dengan bersembah sujud pada Hyang Guru Buddha.

Para cantrik yang sejak tadi telah memperhatikan ada lukisan baru yang tergantung di dinding, sibuk berkata dan memberi komentar kepada rekan yang duduk disebelahnya. Sedangkan Citramatra, setelah merapihkan jubahnya, bersembah sujud kepada Wiku Sadayana sebagai tanda bahwa ia ingin bertanya.

Wiku Sadayana sambil bersenyum berkata : "Ada apa Citramatra?"

Citramatra menjawab : Guru, darimanakah gambar tersebut, dan mengapa wajah Hyang Guru Buddha yang tergambar disitu berbeda dengan Rupang dari batu yang biasa kita ketahui?"

Wiku Sadayana berdiam sejenak, menunggu suara para cantrik mereda, baru kemudian menjawab : "Gambar ini pemberian Saccawirya. Ia mendapatkannya dari pedagang asing yang datang ke ibukota kerajaan untuk berdagang. Pedagang tersebut dirampok habis-habisan. Untunglah punggawa kerajaan dapat menangkap perampok tersebut dan menyerahkan perkaranya kepada Saccawirya yang menjabat sebagai Adhyaksa. Perampok tersebut dihukum berat sesuai dengan undang undang kerajaan yang mewajibkan warga kerajaan melindungi orang asing yang berdagang dengan jujur di kerajaan Wilwatikta ini.
Saat akan pulang kembali ke negerinya, pedagang tersebut memberikan lukisan ini kepada Saccawirya sebagai kenang kenangan. Pada 2 bulan purnama yang lalu, aku dan Citramatra pergi ke ibukota kerajaan untuk menghadiri upacara 1000 hari wafatnya Gusti Prabu yang lalu, dan tinggal di rumah Saccawirya. Saccawirya kemudian memberikan lukisan ini kepadaku
."

Setelah menyeruput Wedang Jahe hangat yang dihidangkan seorang cantrik, Wiku Sadayana melanjutkan ceritanya : "Lukisan ini dibuat di atas lembar kertas, yang berbeda dengan lembar lontar yang biasa kita gunakan untuk mencatat mantra suci. Penduduk negeri asing ada yang mengetahui cara pembuatan kertas berukuran lebar, jauh lebih lebar dari lembar lontar, bahkan ada yang sampai 2 depa panjangnya, sehingga bisa digunakan untuk membuat lukisan seperti yang kalian lihat. Penduduk negeri asing tersebut, menurut Saccawirya, rata rata bermata sipit dan berkulit lebih cerah daripada kita penduduk Wilwatikta. Mungkin lebih cerah dari warna kulit penduduk daerah Pasundan yang pernah bertikai dengan kerajaan Wilwatikta puluhan tahun yang lampau. Oleh karena itu, mereka melukiskan Hyang Guru Buddha sesuai dengan wajah yang mereka lihat sehari hari, yaitu seperti wajah mereka sendiri."

Citrabala bertanya : "Guru, apakah diijinkan membuat gambar atau patung Hyang Guru Buddha yang berbeda-beda wajahnya?"

Sambil tersenyum Wiku Sadayana menjawab : "Hyang Guru Buddha telah moksa mencapai Nirwana hampir 2000 tahun yang lampau. Tidak ada seorangpun yang masih hidup saat ini yang pernah melihat wajah asli Hyang Guru Buddha. Karena itu sangat wajar bila rupang ataupun lukisan Guru Buddha berbeda-beda. Tetapi itu bukan masalah, karena kita pengikut atau yang menyatakan diri sebagai murid Hyang Guru Buddha, menghormati serta berterima kasih kepada Beliau atas ajaran Dharma yang beliau berikan, serta teladan keluhuran budi pekerti yang beliau tunjukkan selama beliau hidup."

Citrabala melanjutkan bertanya : "Kalau begitu, bisakah setiap penyungging (pelukis) bebas melukiskan beliau semaunya sendiri?"

Wiku Sadayana : "Tentu saja tidak bisa bebas semaunya. Apakah engkau lupa dalam salah satu lontar ada tertulis 32 ciri ciri tubuh bodhisatwa, sebelum beliau mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Hyang Buddha? Dengan melukiskan sebanyak mungkin ciri-ciri tersebut kedalam lukisan, maka dapatlah seorang Penyungging membuat sebuah lukisan dengan menyebutnya inilah lukisan Hyang Guru Buddha. Selain itu juga tentunya lukisan Hyang Guru Buddha menggambarkan perilaku Beliau sehari-hari. Bersamadi dengan wajah tersenyum. Duduk membabarkan ajaran Dharma. Berdiri dengan sikap tangan memberikan berkah. Tentunya sangat tidak tepat kalau menggambarkan Beliau sedang memegang tongkat pemukul atau tombak, atau naik kuda sambil mengacungkan pedang, karena perbuatan itu tidak pernah beliau lakukan."

Citrabala dan para cantrik mengangguk menyetujui penjelasan Wiku Sadayana. Kemudian Wiku Sadayana berkata : "Citramatra, dalam perjalanan pulang dari ibukota kerajaan ke padepokan ini, engkau pernah bertanya, mana yang lebih penting melakukan winaya (berbuat sesuai aturan Sila) atau melakukan upacara ritual yang megah-mewah dan menguncar tembang mantra berhari-hari? Engkau juga bertanya mengapa padepokan kita tidak pernah melakuan upacara ritual besar-besaran?"

Citramatra menjawab : "Benar Guru. Waktu itu Guru mengatakan setelah tiba di padepokan baru akan dijelaskan dihadapan para cantrik yang lain. Aku sudah lupa menanyakan kepada Guru."

"Baiklah, sebelum aku menjelaskan hal ini, Citramatra dan cantrik-ku sekalian, kalian perhatikan baik-baik lukisan yang sudah berbingkai yang tergantung di dinding.
Jawab pertanyaanku! Jika lukisan itu tidak kuberi bingkai, bisakah kalian semua melihatnya dengan baik?
"

Dengan cepat Citrabala menjawab : "Tidak bisa, guru. Itu sama saja dengan wayang kulit tanpa gapit. Akan lungkrah, dan tidak mungkin dilihat dengan baik".

"Ah, Citrabala, bagus sekali perumpamaanmu. Seperti wayang kulit tanpa gapit, gambar ini pun akan lungkrah, tergulung bagian sudutnya, sehingga tidak enak dilihat," tukas Wiku Sadayana, yang kemudian melanjutkan bertanya : "Seandainya aku membuat bingkai untuk lukisan tersebut dengan bingkai yang berukuran besar, misalnya selebar setengah jengkal, bagaimana pendapat kalian, apakah lukisan itu menjadi lebih serasi?"

"Tidak mungkin serasi, eyang guru", jawab salah seorang cantrik. Ia melanjutkan : "itu sama saja seperti sebuah wayang kulit yang bergapit sungu kerbau berukuran sebesar jempol kaki, tidak enak dilihat. Bingkai selebar setengah jengkal terlalu berlebih untuk ukuran lukisan seperti itu, sehingga tidak enak dilihat."

Dengan gembira Wiku Sadayana menjawab : "Bagus, bagus, kalian semua menjawab dengan baik. Nah pertanyaanku yang terakhir. Jika bingkai lukisan itu aku beri hiasan ukiran yang indah, aku beri tambahan batu batu permata yang gilang gemilang dan mahal harganya, apakah itu akan memperindah lukisan tersebut?"

Kali ini Citramatra dengan sigap menjawab : "Guru, hiasan ukiran dan batu permata itu akan menenggelamkan keindahan lukisan. Yang melihat lukisan akan bingung. Perhatiannya terpecah, memperhatikan lukisan atau memperhatikan bingkai berhias permata. Bingkai yang guru buat sederhana bentuknya, ukurannya pun serasi. Tidak terlalu tebal, juga tidak terlalu tipis. Cocok dengan besar lukisan yang sedepa lebarnya."

"Bagaimana pendapat yang lainnya?" tanya Wiku Sadayana.

"Kami sependapat dengan Citramatra, guru ," para cantrik yang lain serempak menjawab.

Setelah berdehem-dehem membersihkan tenggorokannya, Wiku Sadayana berkata : "Nah, perhatikan baik-baik yang akan aku katakan. Ajaran Dharma dari Hyang Guru Buddha berupa pengertian mengenai kehidupan dan cara membebaskan diri dari penderitaan yaitu mencapai Nirwana. Selain itu juga banyak nasihat nasihat lain yang diberikan kepada pengikut Beliau waktu itu, yang bisa kalian baca di lontar. Ajaran Dharma itu adalah seperti gambar lukisan ini. Sedangkan winaya, atau berbagai pantangan dan tuntunan perilaku yang baik, sama seperti bingkai untuk memegang lukisan agar teguh, tidak kusut atau tergulung bagian ujungnya. Sedangkan ukiran dan permata yang aku tanyakan tadi, adalah berbagai upacara ritual yang menjadi tradisi dari para pengikut serta murid Hyang Guru Buddha.

"Perhatian dan upaya yang berlebihan pada upacara ritual, dapat membuat kita semua melupakan ajaran Dharma. Apalagi umat yang melihat, mereka akan lebih tertarik pada upacara ritual yang rumit dan megah dibandingkan mendengarkan wejangan Dharma yang disampaikan oleh Wiku. Demikian juga perhatian yang berlebih pada Winaya serta aturan aturan, akan menyebabkan para murid kuatir bertindak melanggar Winaya, dan sibuk memperhatikan kesalahan sesama rekan, bukannya memanfaatkan waktu, pikiran dan tenaga mereka untuk menyelami dan melaksanakan Dharma untuk mensucikan batin dan pikiran mereka. Sebaliknya ada juga orang yang hanya mempelajari dan memperdebatkan ajaran Dharma dari Hyang Guru Buddha dan mengabaikan pelaksanaan Winaya dan aturan aturan yang diperlukan, serta mengabaikan upacara ritual untuk mengenang dan menghormati Hyang Guru Buddha. Kita menjumpai orang yang ahli serta mengetahui banyak sekali ajaran Dharma, tanpa melaksanakannya dalam kehidupan sehari hari. Orang ini tidak mengerti bahwa Winaya adalah sarana yang menjamin tegaknya Dharma. Jika para murid berperilaku dengan melanggar Winaya, siapakah yang akan tertarik untuk mempelajari Dharma? Mungkinkah akan ada umat yang bersedia mendukung kehidupan para Wiku yang berperilaku tidak bermoral? Tidak akan ada! Jika terjadi maka hal ini merupakan tanda awal akan lenyapnya ajaran Dharma dari Hyang Guru Buddha pada daerah tersebut."

Suasana dalam Sanggar Pamujan menjadi hening, sunyi senyap. Tidak biasa mereka mendengar petuah yang panjang lebar dari Wiku Sadayana yang biasanya hanya memberi petuah-petuah singkat. Akhirnya, Wiku Sadayana memecah keheningan : "Sama juga seperti lukisan yang berbingkai dengan ukuran serasi dan diberi hiasan sederhana. Kita memerlukan Winaya dan aturan aturan yng perlu dipatuhi tanpa berlebihan. Kita juga memerlukan upacara ritual yang sederhana untuk menunjukkan rasa hormat dan terima kasih kita pada Hyang Guru Buddha yang telah mengajarkan Dharma bagi kesejahteraan sesama mahluk. Kita juga perlu mempelajari dan menyelami Dharma untuk mensucikan batin serta pikiran kita hingga tercapainya Nirwana. Ketiga nya perlu diperhatikan tetapi harus seimbang tanpa berlebihan pada salah satu diantaranya."
Setahun sekali membuka lukisan Buddha yang berukuran sangat besar
.

Citramatra kemudian berkata : "Guru, sebetulnya aku tadi ingin juga bertanya mengapa kita di sini tidak pernah mengadakan upacara ritual yang megah seperti yang berlangsung di ibukota dan berbagai Sanggar Pamujan yang lain sehingga banyak sekali umat yang datang hadir. Sekarang aku tahu, itu terlalu berlebihan."

"Citramatra, bukanlah tujuan dari Hyang Guru Buddha memberikan Dharma untuk mengumpulkan umat untuk menonton upacara ritual. Beliau bertujuan membebaskan manusia dari penderitaan melalui pelaksanaan Dharma yang telah Beliau ajarkan. Para Wiku yang berkelakuan baik bersesuaian dengan Winaya akan menarik hati para umat untuk mempelajari dan melaksanakan Dharma. Sebaliknya, tontonan berupa upacara yang megah memang mendatangkan umat yang banyak. Tetapi sebagian besar dari mereka hanya ingin menonton keramaian saja. Bahkan hal itu dapat menimbulkan pengertian yang salah dari umat, yang menganggap dengan ikut serta pada upacara ritual sudah dapat membebaskan mereka dari penderitaan. Timbulnya pandangan salah seperti ini perlu dihindari dengan mengadakan upacara ritual secukupnya saja."

Dengan sikap yang tenang, Wiku Sadayana menatap para cantriknya dan kemudian berkata : "Kini sudah larut malam, kita semua perlu beristirahat. Citrabala, pimpinlah kita semua untuk memberikan sembah sujud pada Hyang Guru Buddha untuk mengakhiri pertemuan kita malam ini."

Tidak lama kemudian, padepokan tersebut diselimuti keheningan ketika para penghuninya telah lelap di pondok masing masing.


Cetya Dhyana Loka, April 2010