Minggu, 31 Januari 2010

BRAHMA TIDAK TAHU

Pada jaman Buddha, ada seorang bhikkhu yang begitu pandai sehingga ia bisa mencapai alam para dewa.

Demikianlah ia bermeditasi memasuki alam dewa dan bertanya : "Bilakah keempat unsur utama lenyap tanpa sisa?"
Para dewa tidak mampu menjawab. Mereka menyarankan agar bhikkhu itu bertanya kepada Empat Raja Besar (Cattu Maharajika). Tetapi ternyata keempat Raja Besar itu pun tak tahu jawabnya.

Maka keempat Raja Besar itu menyarankan kepada bhikkhu supaya bertanya kepada 32 dewa di surga yang lebih tinggi.

Bhikkhu itu kembali berlatih meditasi sampai akhirnya ia mencapai alam 32 dewa luhur.
Ia pun bertanya : "Bilakah keempat unsur utama lenyap tanpa sisa?"
Lagi-lagi para dewa yang luhur itu tidak mampu menjawab, dan menyarankan agar ia bertanya pada Sakka, raja para dewa.

Sakka tidak bisa menjawab. Ia menyarankan agar bhikkhu itu bertemu dengan Yama yang lebih tinggi.

Maka bhikkhu itu pun berlatih meditasi lagi dengan lebih tekun, supaya bisa mencapai alam para Yama.
Ia bertanya : "Bilakah keempat unsur utama lenyap tanpa sisa?"
Para Yama pun ternyata tidak dapat menjawab.

Demikianlah terus berlangsung sehingga akhirnya bhikkhu itu harus bertanya kepada para Brahma. Ternyata para Brahma tetap tidak mampu menjawab.
Akhirnya bhikkhu itu menghadap Maha Brahma, raja para Brahma, dan bertanya : "Bilakah keempat unsur utama lenyap tanpa sisa?"

Maha Brahma tidak menjawab, malah berkata : "Akulah Maha Brahma, Yang Terbesar, Yang Utama, Yang Mengetahui Segalanya, ... dstnya, dstnya."

Bhikkhu itu dengan hormat mengulangi pertanyaannya : "Bilakah keempat unsur utama lenyap tanpa sisa?"

Sekali lagi Maha Brahma tidak menjawab, malah berkata : "Akulah Maha Brahma, Yang Terbesar, Yang Utama, Yang Mengetahui Segalanya, ... dstnya, dstnya."

Hampir habis sabar bhikkhu itu berkata : "Ya, Yang Maha Mulia, aku pun tahu bahwa engkau adalah Maha Brahma, Yang Terbesar, Yang Utama, Yang Mengetahui Segalanya, ... dstnya, dstnya. Tetapi aku bertanya, bilakah keempat unsur utama lenyap tanpa sisa?"

Sekali ini Maha Brahma tidak menjawab apa pun. Secepat kilat ia menangkap bhikkhu itu dengan tangannya yang perkasa, dan membawanya pergi ke ujung terpencil, jauh dari segala kehidupan. Penuh wibawa, Maha Brahma bersabda : "Bhikkhu, kamu bertanya tentang itu. Lihatlah semua para dewa dan Brahma, selama ini mereka menyangka aku mengetahui segalanya. Mengapa kamu bertanya hal itu di depan mereka semua? Apakah engkau bermaksud melecehkan diriku di depan para dewa dan Brahma?"

Bhikkhu itu heran : "Lho, kamu kan Maha Brahma? Kalau kamu tidak tahu, siapa yang tahu dong?"

Maha Brahma menjawab setengah membentak setengah berteriak : "Kamu bodoh! Di dunia kan ada Buddha. Mengapa kamu tidak bertanya pada Buddha? Berhentilah mengganggu aku!"

Bhikkhu itu pun kembali ke dunia dan bertanya pada Buddha.

Buddha tertawa dan bercerita : "Duhai bhikkhu, pada jaman dahulu, para pelaut melepas burung untuk mengetahui apakah daratann sudah dekat. Kalau burung itu kembali ke perahu, artinya daratan masih jauh dan belum kelihatan, sehingga burungnya terpaksa kembali ke perahu. Engkau seperti burung itu. Pergi meninggalkan perahu, akhirnya tidak menemukan daratan, dan terpaksa kembali bertanya padaku."

Bhikkhu itu sadar dan turut tertawa.

Barulah Buddha menjawab :
"Saat keempat unsur utama itu lenyap tanpa sisa adalah Nibbana."

Sabtu, 30 Januari 2010

Cinema: FREE TICKET

I bought a cinema ticket for a friend... who couldn't turn up at the last minute.


There was someone in my friend's seat. Either he was sitting in a wrong seat, or he wasn't supposed to be in this theatre - as it was almost already full house. In the dark, I passed my friend's ticket to him - telling him he could have it. There was silence for a while. Then he asked me to repeat what I said. He must have found it confounding. I repeated myself.

More patrons walked in. Turned out that he was with other friends, seated where they weren't supposed to be. They left together. They were forced to release the seats they were hogging. Actually, that guy I passed the ticket to didn't have to leave. I gave a totally free ticket with no strings attached.

Was I being sarcastic to a seat-stealer or generous to a stranger?
Was I “teaching” something?


I let him decide.

---from: Moonpointer * Buddhist Blog Community of Everyday Dhamma

Jumat, 29 Januari 2010

CERITA SERU DARI INDIA!

Dahulu kala di suatu desa kecil di India, seorang petani yang sangat miskin. Ia mempunyai hutang yang sangat besar kepada rentenir di desa tersebut.

Rentenir itu, udah tua, bangkotan, eee… malah tertarik pada putrinya pak tani yang cakep itu. Kemudian si rentenir tersebut mengajukan penawaran, dia akan melupakan hutang2 petani tersebut jika dia dapat menikahi putrinya. Sang petani dan putrinya pun bingung dengan tawaran tersebut, kayaknya mereka nggak setuju.

Melihat gelagat seperti itu Si rentenir mengajukan tawaran lagi untuk membuat keputusan. Dia mengatakan bahwa dia akan meletakkan batu hitam dan batu putih di dalam kantong kosong kemudian sang putri petani diharuskan untuk mengambil satu keping batu dari kantong tersebut.

1. Jika sang putri mendapatkan batu hitam, maka dia akan menjadi istri rentenir tersebut dan hutang2 petani tersebut lunas.
2. Jika sang putri mendapatkan batu putih, maka rentenir tersebut tidak akan menikahi sang putri dan hutang2 petani tersebut lunas.
3. Jika sang putri menolak mengambil keping, sang petani akan dipenjara.

Berada di halaman petani yang banyak terdapat kepingan batu-batuan, si rentenir mengambil 2 keping batu.
Ketika mengambil, mata sang putri yang tajam melihat bahwa batu yang dimasukkan kedalam kantong keduanya berwarna hitam.

Kemudian rentenir itu menyuruh sang putri mengambil batu tersebut dari dalam kantong.
Sekarang bayangkan Anda ada di sana, apa yang Anda lakukan jika Anda sebagai putri tersebut?
Jika Anda harus menolong sang putri, apa yang harus Anda lakukan?

Melihat hal seperti itu ada 3 kemungkinan :
1. Sang putri menolak untuk mengambil batu
2. Sang putri menunjukkan bahwa yang di dalam kantong tersebut kedua batunya berwarna hitam serta mengungkap bahwa rentenir tersebut curang
3. Sang putri mengambil batu hitam dan mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan ayahnya dari hutang-hutang dan penjara.

Sekarang pertimbangkan cerita di atas.
Pengalaman ini digunakan untuk membedakan pemikiran logika dan lateral thinking.

Dilema sang putri tidak dapat diselesaikan dengan logika awam.
Pikirkan cara lain jika sang putri tidak memilih pilihan yang diberikan kepadanya.

Apa yang akan Anda tawarkan kepadanya ?

Jangan melihat jawaban di bawah sebelum anda memikirkan cara lain sebagai saran kepada sang putri, pikirkan 5 menit saja….

Baik, begini caranya. sang putri memasukkan tangannya kedalam kantong dan mengambil satu keping batu.
Tanpa melihat warnanya, secara sengaja menjatuhkan (setengah melempar) batu tersebut ke halaman dan bercampur dengan batu-batu yang lain di halaman.
"Oh, betapa bodohnya aku" kata sang putri. "Tapi, anda gak usah khawatir. Jika tuan melihat sisa batu di dalam kantong, maka tuan akan mengetahui batu mana yang saya ambil".

Tentu saja sisa yang ada di dalam kantong adalah batu berwarna hitam sehingga diasumsikan bahwa sang putri telah mengambil batu yang berwarna putih.

Rentenir tidak berani menyatakan dirinya curang dan memasukkan dua keping batu hitam.
Sang putri mengubah dari keadaan yang kelihatannya mustahil menjadi keadaan yang sangat menguntungkan.

Inti dari cerita ini adalah :
Semua permasalahan yang kompleks mempunyai jalan keluar, yang anda butuhkan hanya melebarkan pemikiran anda.
Jika logika anda tidak bisa bekerja, berusahalah dengan lateral thinking.
Lateral thinking sangat kreatif. mudah dikerjakan tiap hari.

"Rahasia untuk sukses adalah mengetahui sesuatu yang tidak diketahui orang lain"

Sumber : Anton Huang

Kamis, 28 Januari 2010

INCREDIBLE INDIA! (2)

Cermat dan trampil melukis dinding vihara. Perlu ssssaaaabbbbaaaaaarrr.....!
PAINTING THE MURALS FOR VIHARA.









Menikmati "chai" di warung kopi pinggir jalan. "Aloo parantha"-nya enak lho!
CAFE - INDIAN STYLE. SIMPLY DELICIOUS!









Antri kalau mau ke WC umum. Siapa bilang di India susah kalau mau kencing?
PUBLIC TOILET. QUEUE IS THE NORM.









Penari khatak dari Varanasi. Penuh seni.
MISS SHIVA DANCING A 'KHATAK' GRACEFULLY IN VARANASI.









Truk sudah siap berangkat tapi burung-burung seakan tak rela mengucap selamat jalan....
BIRDS FEEL IT HARD TO SAY GOOD BYE, BUT THE CARGO WILL JUST HAVE TO LEAVE SOONER OR LATER...

Rabu, 27 Januari 2010

INCREDIBLE INDIA! (1)

Pernahkah Anda melihat burung merak santai berlenggang-lenggok di antara mobil yang sedang parkir di jalan raya?
A PEACOCK WALKS HAPPILY IN BETWEEN THE CARS.









Sekelompok pemain musik menunggu pengantin lelaki. Sudah jam 9 malam tapi sang pengantin masih belum keluar dari kamar hotel tempat ia menginap. Jam berapa ia akan menjemput mempelainya? Ooohhh.... padahal udara dinginnya menusuk tulang!
THE BANDS WAIT AND WAIT BUT THE GROOM HAS STILL NOT GOING TO FETCH HIS BRIDE.... TIME? 9pm. WEATHER? VERY COLD!









Bahkan kuda yang akan dinaiki pengantin lelaki merasa bosan. Kuda ini sudah dirias dan siap sejak jam 7 tadi.
EVEN THE HORSE STARTS TO FEEL BORED WAITING. IT HAS BEEN HEAVILY DECOREATED SINCE 7pm.









Buah segar mudah dijumpai di sepanjang jalan. Dan murah!
FRESH, JUICY, RIPE TROPICAL FRUIT AVAILABLE ALMOST EVERYWHERE. AND COST VERY LITTLE!








Dapur umum untuk melayani 14.000 lama yang menghadiri Nyingma Monlam Chenmo di Bodhgaya.
BIG POTS TO COOK PORRIDGE FOR 14,000 lamas DURING NYINGMA MONLAM CHENMO IN BODHGAYA.

Selasa, 26 Januari 2010

Joannes Chrysostomus Wolfgangus Theophilus Mozart

WOLFGANG AMADEUS MOZART

Lahir 27 Januari 1756 di Salzburg, kota kecil di Tengah Utara Austria, Mozart (asli bernama panjang Joannes Chrysostomus Wolfgangus Theophilus Mozart) lebih suka menyebut dirinya Wolfgang Amade. Amade atau Amadeus artinya "Yang Dikasihi Tuhan".

Ayah Mozart bernama Leopold Mozart, mendidik kedua anaknya Mozart dan kakaknya Maria Anna Mozart atau dipanggil Nannerl berlatih musik sejak kecil.

Sejak usia 4 tahun Mozart mulai menggubah musik. Pada Februari 1762 ia mengadakan konser pertama di Munich. Musim panas konser di Istana Wina.
Pada bulan Juni 1763 bersama ayah, dan kakaknya mulai berkeliling Eropa, dijuluki "Si Kecil Berbakat Musik". November, konser di Perancis di hadapan Louis XV.

5 Desember 1791 pukul 00.45, Mozart meninggal dunia karena sakit. Komponis yang terkenal genius, semasa hidupnya dikenal suka minum dan urakan.

Hidup Mozart sangat singkat, 35 tahun. Ia seperti sebuah bintang kejora dalam sejarah musik. Sekali terang lalu lenyap, tapi mencetuskan bunga api yang menakjubkan.

Musik-musik yang dia ciptakan dalam kehidupannya yang singkat benar-benar mengagumkan.

Minggu, 24 Januari 2010

The Error of Buddhism

Buddhism is full of superstition and error. This film portrays the religion of Buddhism and its irrational practices. Those who regard Buddhism as a road to peace and contentment should pay close attention to the truths described in this film.


Agama Buddha penuh dengan tahayul dan kekeliruan.
Film ini menggambarkan Agama Buddha dan pelaksanaannya yang tak masuk akal. Mereka yang menganggap Agama Buddha sebalan jalan menuju kedamaian dan kepuasan hendaknya memperhatiakn secara sungguh-sungguh kebenaran yang digambarkan dalam film ini.

Sumber: HARUN YAHYA


The Error Of Buddhism - Click here for more free videos


The Error Of Buddhism Part 2 - Funny bloopers R us


The Error Of Buddhism Part 3 - For more amazing video clips, click here

dan masih ada film2 lainnya lagi!

Sabtu, 23 Januari 2010

"Don't Ask Me What I'm Doing Here..."

by Ellis Windham

I have never felt as if I belonged on this planet. I was born into a Reform Jewish family who did not practice Judaism but was violently prejudiced against any group that was not Jewish. My father, my sister and myself, however, (re) married non-Jews. I went to an Episcopalian prep school and was terrified that God would strike me dead for singing "Fairest Lord Jesus" and Christmas carols. In comparative religion class a totally mad Congregationalist by the name of Hal Lingerman (I think one of his books is called something like "Music of the Soul") introduced me to Buddhism, and something clicked in the corner of my brain. I understood without understanding. When I read Nargajuna on emptiness, I nodded. I had always believed in reincarnation--as a matter of fact I had a difficulty in that I related better to people who were no longer on the planet, i.e., dead historical characters such as Abraham Lincoln. The whole idea of detachment, transcendence, present moment, etc., was something I lived with every day. The compassion thing, however, was unfortunately all too foreign to my nature. I related well to Zen because something in my urban outlaw being identified with the banging immediacy of enlightenment combined with the its ordinariness. However, I have never taken the BIG STEP to get into zerious (I'll let that stand) zazen, because then I would be Joining a Group, and I loathe the very thought of that since it reminds me of that most exclusive club, Judaism, to say nothing of "Christianity" or the other organized religions. I have trouble "Taking Refuge" in anything but the rarified benevolence of the Universe. I have a problem in that I believe the basic truths of ALL RELIGIONS TO BE EQUALLY VALID, because, if they are not all equally valid, then none of them are. I think that Jesus Christ is the second greatest Buddha of all time, second only to The Boy himself.

I read the FAQlet about "kensho" from the kid looking for a teacher. I don't know what the hell it is, but I had two experiences. When I was recovering from an accident in 1992 (was run over by a truck while walking), I saw one of those Civil War things on TV and a photograph of Lincoln came on the screen, and in the face I saw roughly the same expression of the Buddha statues. I said, "whatever is in that face is necessary for human existence." I am still searching for that peace, and that calm.

Onward. I mentioned that I have never felt at home on this planet, and that to my infinite regret I have been a cold, compassionless (or not enough compassion) creature. In April of this year I was looking at a photograph of the person accused of being the Unabomber, and suddenly, instaneously, I felt as if I were looking at my own face, into my own heart, into my own brain. What happened after that was better expressed by Thich Nhat Hanh: "Looking deeply" means observing something or someone with so much concentration that the distinction between the observer and the observed disappears. The result is insight into the true nature of the object. When we see the nature of interbeing, barriers between ourselves and others are dissolved, and peace, love and understanding are possible. Whenever there is understanding, compassion is born.

He got that right.

At that moment, I felt the universe's connections, and truly understood that love was the web of the universe, so to speak. I felt maternal for the first time in my life. I understood the Dalai Lama's comment that everyone is our father and mother.

I can not say that I have achieved happiness and peace, but I now know the reason for the journey.

Rabu, 20 Januari 2010

Mengapa memilih anak anjing yang cacat?

Seorang anak kecil pergi ke toko binatang peliharaan dan ingin membeli anjing. Kata yang punya toko, harga seekor anjing Rp. 50ribu.

For English please read THE LIMPING PUPPY

Anak itu berkata bahwa ia hanya punya Rp.23ribu, tapi ia ingin melihat-lihat dulu anjing yang cocok.

Ia diajak melihat anjing-anjing yang ada. Ada seekor anak anjing yang selalu ketinggalan di belakang teman-temannya. Setiap kali berjalan, ia jatuh. Namun anak anjing itu tetap mencoba berjalan lagi.

"Kenapa anak anjing itu?" tanya anak itu.
Pemilik toko menjelaskan bahwa dokter hewan telah memeriksa, dan mengatakan bahwa anak anjing itu cacat kakinya. Tidak bisa diperbaiki, sehingga seumur hidup anjing itu akan sulit berjalan.

Ternyata hal ini malah membuat anak lelaki itu tertarik:
"Baiklah, saya akan membeli anjing itu."

"Jangan," kata yang punya toko,"kalau mau, nanti saya kasih gratis saja."


Anak lelaki itu tampak tersinggung. Ia memandang kepada yang punya toko, dan berkata :
"Saya bukan meminta. Saya akan membeli anak anjing itu, dengan harga yang sama seperti anak anjing lainnya. Ini, terimalah dulu Rp23ribu, sisanya akan saya cicil sampai lunas."


Pemilik toko masih mencoba memberitahu: "Kalau kamu membeli anjing ini, nanti kamu malah repot sendiri. Anak anjing itu tidak akan bisa kau ajak berlari, atau bahkan bermain seperti anjing lain."

Anak lelaki itu menggulung kaki celananya dan menunjukkan kakinya sendiri yang cacat, yang dibungkus oleh besi penopang. Ia berkata kepada pemilik toko :
"Pak, saya sendiri juga tidak akan pernah bisa berlari, dan anak anjing itu perlu seorang teman yang mengerti akan keadaannya."

Selasa, 19 Januari 2010

Zazen di Gunung Ching-t'ing

Hanya sebuah catatan pendek hari ini. Namun beberapa patah kata bisa berarti banyak.

Ini adalah sebuah sanjak pendek yang konon ditulis oleh Li-Bai (李白, pinyin Lǐ Bái, atau ada juga yang menyebut Lǐ Bó),seorang penyair Cina abad ke 8. Nikmatilah ketidakkekalan yang digambarkan secara puitis ini.

Sekedar tambahan, zazen berarti meditasi, duduk diam membisu.

"Zazen di Gunung Ching-t’ing"
Burung-burung telah terbang menghilang
Awan terakhir pun surut larut
Kami duduk berdua, gunung dan diriku
Sampai akhirnya tinggal gunung membisu

Senin, 18 Januari 2010

Malas baca? Sekarang buku bisa didengar!

The Accidental Buddhist:
Mindfulness, Enlightenment, and Sitting Still.

Dinty W. Moore.
Algonquin Books of Chapel Hill, 1997, 208 pages,
ISBN 1565121422, US $10.88

For ENGLISH and to buy the book please visit AMAZON.

Buku ini dengan jenaka menelusuri Agama Buddha di Amerika pada masa sekarang ini. Kita diajak mengikuti jejak pengarang saat ia berkelana di Amerika, mengunjungi berbagai vihara di sana. Ia pergi ke Vihara Zen, berbicara dengan seorang pastur Katolik yang mengajar Agama Buddha, penerbit majalah Buddhis, aktivis kemerdekaan Tibet, pembuat zafu, dan bahkan sebuah wawancara dengan siapa lagi kalau bukan Dalai Lama!


Apa susahnya dan apa senangnya jadi umat Buddha di Amerika?
Apa kata para tetangga?

Banyak problem dan dilema yang dicatat oleh pengarang secara penuh humor. Buku ini tentu saja bukan buku 'What is Buddhism', buku ini sekedar memaparkan segala sesuatu mengenai umat Buddha. Dilengkapi dengan humor antara lain mengenai 'monkey mind', buku ini toh tetap punya sisi serius juga.


Buat yang mau, bisa nguping dengar sedikit di LearnOutLoud.com


Keterangan:
zafu (座蒲 /bahasa Jepang) adalah alas duduk untuk meditasi.

Minggu, 17 Januari 2010

Why I am a Buddhist ~ Allan Adasiak

I was raised a Roman Catholic: church school every wednesday afternoon, with harsh nuns who taught that your soul was white, and that sins put black spots on it. If you died with those black spots you would go to hell for ever. God wants you to be good (he loves you -- which of course is why he would put you in hell forever), and the church can remove your sins. In other words, guilt, fear, etc., especially for a little boy whose nature seemed to always be sinning because he was doing things little boys do.

I didn't like the church and avoided it. Decided to give the whole mess up completely by the time I was 13. At about the same time, while working in the school library I came across a book called "A Buddhist Bible" (Dwight Goddard), read a lot of it, understood very little, but somehow liked it. Also in the following year or two I read the Bhagavad Gita, some of the Upanishad, and a variety of philosophical works.

Around age 14 and 15 I had a friend whose father was a Baptist minister; he ran the church just down the street from where I lived. My friend was a lively, rebelious "minister's kid" and the two of us got along just fine. He invited me to a service at the church once, and I thought it would be good for me to know what it was like. I was horrified and sickened, at myself as much as by what I saw. The propaganda techniques for moving crowds were everything I had read about, and powerfully effective. Hitler would have been pleased -- although his objectives were quite different. I felt very strongly moved, although I knew I didn't believe the doctrines that were being advanced. Toward the end, people were asked to come up and dedicate their souls to Christ. This was the climax of the evening, for which a fine foundation had been laid. The music, the pleas, the persuasion, were very strong. I felt myself starting to cry and was drawn to the altar -- and it took an amazing amount of strength to resist. I felt then intuitively what I can articulate now: it is one thing to sacrifice your individuality; it is another to have it taken away from you.
At around age 16 or 17, when I had been reading Bertrand Russell and H.L. Mencken, I was deeply moved to re-examine Christianity. I made appointments with various Catholic priests and put my questions to them. No good. They killed it for me. Whenever one of them was put in a box, the answer was always "who are we to question the infinite wisdom of God?". A weak dodge for difficult questions, rather than admitting the difficulty, hazzarding tentative answers, and making some effort. (I see as I write this that I was infected by scientific method even then. That is one of the things that makes Buddhism attractive.)

When I went to Princeton, they had a compulsory chapel requirement: you had to go to some kind of church three weeks out of the month, or something. I thought it was stupid to do something I didn't believe in, hypocritical, so I went to the Dean of whatever and told him I wanted out. His reaction was marvelous: "I've been dean here for 24 years, and no one has ever asked to get out of chapel before." To which I replied, "I don't care. That's what I want to do." He was silent, so I pushed, "How do I do it?" He had me go talk to the head of the chapel. I liked him. He and his wife had been held in a prison camp during World War II and had been tortured by the Japanese. He was honest, he was gentle, he had strength. We talked once a week about religion. But while I liked him and respected him, I could not accept his beliefs. I told him I wanted to stop this, and he let me go, with the agreement that I would write a paper on my beliefs -- due the day before Easter.

Sometime in the early 1960's I went over to visit my friend, who was a Japanses American. He wasn't there, but his father was. No one was there, so we sat and talked. He told me how, although he had been born in the United States, he was put in a concentration camp here during World War II, and his property confiscated -- because he was Japanese. He was still bitter, which seemed reasonable to me. I remember that when he was talking about white people he used the word "Caucs," which seemed to me to be a very pleasing and appropriate coinage, paralleling the word "Japs" in its sharpness and denigration. I think he noticed that I did not flinch. Anyway, he introduced me to various Japanese foods, was surprised that I liked them, and taught me to use chopsticks, which to my amazement and his pleasure I picked up fairly well right away. During the course of all this, he quizzed me about my beliefs, and we discussed philosophy. Then, when I was leaving, he said, "you know, I almost think you are a Buddhist, but you don't know it." I laughed, and he said, "OK, but think about it, and some day you may see."

When I was about 23, I had an attack of something like semantic aphasia. I could see words on a page, but I couldn't make sense of them. I also had savage headaches and other things that I forget right now. I saw a psychiatrist who gave me my first acquaintance with Rorscharch (sp?) ink blots, put me on some medication, and talked to me twice a week. He was nice but the sessions seemed pointless. About six months into that, I went to shoot pool in Berkeley with some of my friends, and I ended up with some of the finest headaches I had had. I realized that I hadn't taken my medication for about the past two days (oops), and I decided that maybe I wasn't really getting any better, but was just being drugged. I stopped going to him, stopped taking the pills, and decided to let pain be my guide. When I hurt, something was wrong. I should try to understand it and fix it. The assumption being that my natural state was pain-free.
Sometime after that, I was wandering around in a bookstore in Berkeley (I am a book-a-holic)and I came across a book by Alan Watts, either The Way of Zen or The Spirit of Zen. I read it, and I was drawn to what it had to say -- like distant music. Sometimes clear, sometimes not, sometimes gone.

I am going to have to wrap this up. I was afraid it would take too damned long to write. The brief shot: I have read a lot of Buddhist stuff and even understood some of it. I am more intrigued by what I do not understand. I have done a series of lectures on Buddhism (the blind leading the blind. I would never do that now.). I have gone to a few sesshins, etc. I am still not a Buddhist, although perhaps I am becoming more of one.

I am still following the distant music.

by Allan Adasiak <phoenix@alaska.net>

Sabtu, 16 Januari 2010

AMONGST WHITE CLOUD ~ Bhikshu Bertapa

Among White Clouds adalah sebuah film yang sangat menarik. Kita diajak menyelami kehidupan para bhikshu yang menjalankan kehidupan dalam kesepian pegunungan di Zhongnan, Cina.

For ENGLISH please visit THE OFFICIAL SITE.

Banyak yang mengira bahwa para bhikshu hanya tinggal di vihara. Namun ternyata tradisi penyepian diri masih terjaga, bahkan sampai saat ini. Sutradara berkebangsaan Amerika Edward A. Burger mengajak kita dalam perjalanan tak terlupakan ini. Kepandaiannya berbahasa Cina amat membantu dalam menelusuri lebih akrab kehidupan para bhikshu ini.Saat minta diajari meditasi, bhikshunya berhenti sejenak dari kegiatannya bertani dan berkata: Kesadaran dan kehidupan tidak bisa dipisahkan. Meditasi? Inilah meditasi. Bekerja adalah meditasi. Bernapas adalah meditasi.

Kenyataannya memang meditasi bisa dilakukan sambil berkebun, memasaak, mengambil air dll. Tidak hanya sambil duduk sendirian dan penuh ketenangan seperti gambaran kita selama ini.

Burger mengungkap kepada kita sebuah tradisi, kebijaksanaan, kesederhanaan dan kebahagiaan dalam kehidupan para bhikshu dan bhikshuni yang bersahaja. Dengan humor dan cintakasih, para tokoh yang baik budi dan penuh inspirasi ini, membangkitkan semangat kita bahwa kita bisa mengatasi penderitaan dan mencapai pencerahan bahkan dalam kehidupan modern ini.

Ini filmnya:


Kalu gak sempat, trailernya aja dah:

Jumat, 15 Januari 2010

ZEN NOIR ~ Komedi Detektif

Seorang detektif tanpa nama yang baru saja ditinggal mati istrinya, bertugas menyelidiki kematian misterius di sebuah vihara. Namun ternyata logikanya, keahlian otak kirinya, yang biasa ia gunakan dalam mengungkap kasus kejahatan, ternyata tidak mampu berfungsi sebagaimana mestinya dalam sebuah lingkungan yang penuh intuisi seperti Vihara Zen.

For English please see the official site here ZEN NOIR.

Film komedi keluaran tahun 2006 ini kurang memuaskan secara komersial di pasaran, namun berhasil meraih berbagai penghargaan dalam festival film:
Grand Jury Award for Best Feature
~ Washington DC Independent Film Festival
Audience Award for Best Feature
~ Rhode Island International Film Festival
Best Feature
~ Moondance Film Festival
Best Actress
~ Indiefest Chicago
Best Cinematography
~ Ashland Independent Film Festival.

Sebenarnya ada beberapa adegan yang cukup lucu, seperti waktu detektif itu terus bertanya tentang logika kematian, sementara Master Zen terus menggebuki kepalanya dengan pentungan karet.

Ada juga pernyataan yang khas Zen.
Detektif bertanya: "Apa yang terjadi setelah kita mati?"
Master menjawab: "Ga tahu. Belum mati."

Sutradara: Marc Rosenbush
Aktor: Duane Sharp, Kim Chan, Ezra Buzzington, Debra Miller, Jennifer Siebe

Selamat menyaksikan.

Kamis, 14 Januari 2010

Peace Is Every Step ~ Thich Nhat Hanh

Buku ini berisi kisah-kisah pribadi, komentar dan perenungan yang dialami Thich Nhat Hanh sebagai penggiat perdamaian, guru, dan pemimpin masyarakat.

For ENGLISH and to buy the book please see THE SUFI BOOKSTORE.

Kita diajak untuk sadar di mana pun kita berada, dan mulai dari tempat kita sendiri. Meditasi bisa dilakukan saat ini juga. Thich Nhat Hanh berbagi cara-cara berlatih untuk meingkatkan kesadaran kita, sehingga bisa merasa lebih bahagia dan damai. Kita juga akan lebih sadar akan lingkungan, keindahannya, polusinya. Melalui berbagai latihan sederhana, Peace Is Every Step membangkitkan semangat kita untuk menjaga perdamaian dunia melalui perdamaian di dalam diri sendiri, dengan menjaga kesadaran.


Ada juga video sepanjang 50 menit.

Rabu, 13 Januari 2010

SALTWATER BUDDHA ~ Jaimal Yogi

Merasa bosan dengan hidupnya sebagai remaja, Jaimal Yogi melarikan diri ke Hawaii hanya dengan membawa buku Siddhartha (karya Hermas Hesse) dan uang yang cuma cukup untuk membeli papan seluncur.

For ENGLISH please see SALTWATER BUDDHA

Kisah perjalanan hidup seorang pemuda, mulai dari kelompok remaja hingga tinggal di vihara, dari Samudra Pasifik yang hangat sampai pesisir New York yang dingin, ditulis secara sangat menarik. Berimbang antara sebuah memoar spiritual dengan kisah seorang peluncur, catatan ini berfokus pada gelombang kehidupan dan pencarian kebenaran di tengah birunya lautan.

Secara humor dan apa adanya ia menceritakan pengalaman yang sangat menyentuh. Banyak hal yang kita alami namun tidak kita nyatakan. Kita semua suatu saat pernah melarikan diri, mencoba menemukan sesuatu yang lebih baik. Kita semua pernah membuat keputusan yang membuat kita terputus dari lautan kehidupan (mungkin sehari, mungkin bertahun-tahun).

Yogi mencerna semua pengalaman ini dan mengabarkannya kepada kita secara jujur dan membangun semangat. Ia adalah peluncur yang handal, umat Buddha yang terpelajar dan penulis yang mahir. Membaca tulisannya bagaikan mendengar seorang teman yang duduk di samping kita dan sedang mengobrol tentang pengalamannya sehari-hari.

Buku ini bisa dibeli di AMAZON atau WISDOM PUBLICATION.


Sebuah film juga sedang dibuat berdasarkan film ini. Lihat sedikit promosinya di bawah ini.

Selasa, 12 Januari 2010

Wiku Sadayana ~ Setengah Arahat

Ditulis oleh Tatang Gowarman.

Alkisah kemelut kerajaan Majapahit masih berlangsung namun masyarakat tidak dapat tinggal diam, karena perut tetap perlu diisi. Sedikit demi sedikit keadaan mulai pulih, dan para wiku pun mulai kembali kegiatan semula, termasuk berdiskusi Dhamma.

Melihat secara langsung penderitaan yang dialami sebagian masyarakat, banyak para wiku muda yang bertekad agar bisa mencapai tingkat kesucian, bahkan kalau bisa menjadi Arahat. Maka timbullah berbagai diskusi membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan cita-cita luhur setiap umat Buddha yaitu menjadi Arahat.

Ada yang membicarakan proses pencapaian untuk mencapai tingkat Arahat. Ada juga yang membagi tingkat-tingkat kesucian yang dapat dicapai oleh manusia. Ada yang membicarakan berbagai macam bentuk keterikatan yang telah dipatahkan oleh seorang Arahat.
Bahkan ada yang berdebat apakah seseorang yang secara fisik laki-laki tetapi secara kejiwaan wanita dapat menjadi Arahat!

Masih banyak lagi yang lain, sehingga setiap sore diskusi menjadi ramai dengan topik utama bagaimana menjadi Arahat secepat mungkin.

Seperti biasanya Wiku Sadayana tidak terlalu perduli dengan berbagai perbincangan Dhamma tersebut. Beliau asyik mencangkul di ladang hingga sore hari, atau sibuk membersihkan rumput rumput liar yang mengganggu.

Perdebatan bagaimana caranya menjadi Arahat menjadi hangat karena ada berbagai pandangan. Ada yang menyatakan harus dengan tekad kuat untuk melepaskan segala bentuk keterikatan barulah seseorang bisa menjadi Arahat. Ada yang berpendapat, lebih baik mencapai Arahat dengan usaha bersama, sehingga bisa saling mengingatkan dan saling membantu mereka yang tertinggal.

Seperti biasanya bila tidak ada kesepakatan, mereka mencari Wiku Sadayana yang sedang asyik merumput di ladang, untuk meminta tanggapan. Petang hari setelah membaca paritta, para wiku duduk dengan tertib untuk mendengar tanggapan dari Wiku Sadayana bagaimana caranya menjadi Arahat.

Wiku Sadayana: "Tadi ada beberapa wiku yang datang padaku menanyakan cara agar dapat menjadi Arahat dengan cepat. Apakah betul itu yang ingin kalian ketahui?"

Para wiku: "Benar Bhante, kami ingin sekali mencapai kebebasan."

Wiku Sadayana: "Kali ini, aku mengecewakan kalian. Aku sendiri belum tahu bagaimana caranya mencapai tingkat Arahat. Jika aku sudah tahu, tentunya aku sudah menjadi Arahat."

Mendengar pernyataan Wiku Sadayana, para wiku banyak yang merasa kecewa.
Selagi mereka kecewa, Wiku Sadayana melanjutkan: "Tetapi guruku yang telah almarhum pernah membicarakan apa yang perlu dilakukan agar bisa menjadi Setengah Arahat".

Salah satu di antara wiku tersebut bertanya: "Maksud Bhante apakah menjadi seorang Sakadagami?"

Wiku Sadayana: "Aku sendiri tidak tahu. Tapi menurut beliau, bukan Sakadagami. Setengah Arahat ya Setengah Arahat."

Mendengar jawaban Wiku Sadayana, para wiku menjadi gaduh. Mereka bingung apakah ada penggolongan Arahat yang lain, selain Empat Pasang Manusia Arya.

Wiku Sadayana: "Kalian semua jangan ribut. Yang jelas kalian semua setiap hari mengucapkan cara untuk mencapai Setengah atau Seperempat Arahat, atau Sepertiga, tapi yang pasti belum bisa mencapai Arahat."

Dengan terheran-heran seorang wiku akhirnya bertanya: "Ucapan Bhante membuat kita makin bingung. Mohon penjelasan agar kami semua mengerti."

Wiku Sadayana: "Setiap hari kalian mengucapkan Panca Sila.
Bila Sila itu diterapkan dengan sungguh-sungguh, tidak hanya berupa pencegahan perbuatan yang dilakukan jasmani, tetapi juga oleh pikiran, maka lama kelamaan bentuk pikiran yang melanggar Panca Sila tidak timbul lagi.
Nah, menurut Beliau, paling tidak akan mencapai tingkat Setengah Arahat
".

Senin, 11 Januari 2010

Wiku Sadayana ~ Mencari Guru

Ditulis oleh Tatang Gowarman.

Dikisahkan, di Majapahit pada suatu ketika setelah nilai uang kepeng jatuh, semua harga-harga naik. Satu-satunya yang turun adalah harga diri : banyak orang yang semula baik-baik namun karena kesulitan kehidupan mereka tidak segan-segan mencuri atau merampas milik orang lain.

Pada waktu itu, kehidupan di wihara menjadi makin sulit. Yang paling stress adalah Wiku Segadana yang bertugas mencukupi kebutuhan pangan para wiku. Walaupun wiku, karena kesulitan kesulitan yang dihadapi, beliau sering lepas kendali, berbicara dengan suara keras atau bahkan berteriak jika perintahnya tidak segera dituruti.

Suatu hari wihara tersebut mendapat kunjungan beberapa umat awam yang ingin mepelajari Buddha Dharma di wihara. Setelah membaca paritta, para umat beristirahat sambil berjalan-jalan ke bagian belakang wihara. Tak disangka pada waktu itu nampak Wiku Segadana sedang lepas kendali, memarahi salah satu murid yunior yang menumpahkan nasi yang sedang dibawanya.

Teriakan amarah dari Wiku Segadana mengejutkan tamu-tamu umat awam tersebut. Mereka saling berpandangan dan tampak kecewa. Setelah berbisik-bisik mereka pergi meninggalkan wihara tanpa pamit lagi.

Pada malam harinya kejadian ini dilaporkan kepada Wiku Sadayana. Para wiku bermohon agar Wiku Sadayana dapat menertibkan Wiku Segadana yang sering lepas kendali, dan mengakibatkan umat salah beranggapan bahwa seperti itulah sikap para penganut Buddha.

Atas permintaan muridnya ini Wiku Sadayana hanya berkata : "Sungguh sulit mendapat kesempatan mempelajari Dharma. Jika si murid belum siap tidak akan ada Guru Dharma. Jika si murid sudah siap, siapapun dapat menjadi Guru Dharma, bahkan si pemarah adalah Guru Sejati karena tidak pernah merasa menjadi guru.
Menyukai seseorang ditimbulkan oleh Lobha,
sedangkan tidak menyukai seseorang ditimbulkan oleh Dosa,
tidak perduli kepada orang lain adalah Moha.
Mereka yang mengenali timbulnya perasaan suka, tidak suka dan masa bodoh, siap mempelajari Dharma
".

Minggu, 10 Januari 2010

Paris ~ Khanh Anh

Terakhir, tapi bukan terkecil, adalah pembangunan Vihara Khanh-Anh.


Di sebelah selatan kota Paris, orang-orang yang berasal dari Vietnam membangun sebuah pagoda yang TERBESAR di Eropa. Lantainya dari keramik, asal Cina. Patung Buddha setinggi 4 meter dan seberat 5 ton perunggu lapis emas, dibuat di Thailand.

Vihara ini masih belum diresmikan, katanya sih tahun 2010.

Ada yang minat hadir dalam upacara pembukaan?
Tinggal klik di WEBSITE resmi mereka, asal bisa bahasa Vietnam. ;=D







More photo can be found on FLICKR.

Seri PARIS selesai di sini. Au revoir, mes amis!

Sabtu, 09 Januari 2010

Paris ~ Temple Bouddhique Chinois

Sorry there is no ENGLISH page, but you can find a FRENCH LANGUAGE link by clicking this LINK, s'il vous plaît!

Saat Perang Dunia pertama, sekitar 140 ribu orang Cina tiba di Paris sebagai pekerja untuk menggantikan para lelaki Prancis yang pergi berperang. Muncullah le quartier chinois, atau Chinatown. Mulanya di l'Ilot Chalon dekat Gare de Lyon, namun daerah itu sudah tidak ada sisanya lagi sekarang. Tahun 1930an datang orang Cina dari Wenzhou untuk menjadi pekerja kulit di dekat perkampungan Yahudi di le 3me arrondissement. Sampai sekarang toko2 di sini masih dimiliki oleh orang2 etnis Cina, namun tidak nampak ada pengaruh kebudayaan Cina sama sekali.

Chinatown yang sekarang terbentuk tahun 1970an di le 13me arrondissement. Mereka sebenarnya bukan dari Daratan Cina, namun penduduk keturunan Cina yang ada di Vietnam, Laos dan Cambodia, yang berasal dari suku Tiociu dan Konghu. Mereka melarikan diri saat peperangan berkecamuk di negara-negara tersebut. Sekitar 68 ribu etnis Cina tinggal di daerah ini.Tak heran di le 13me arrondissement yang penuh pencakar langit masih bisa ditemukan terselip sebuah vihara yang bergaya Cina.



Pour trouver le temple, il faut se rendre 44 avenue d’Ivry dans le 13eme arrondissement puis passer sous le porche de l’immeuble pour atteindre une place. Le temple se trouve non loin de la place.

Jangan sibuk cari kamus. Artinya cuma :
Untuk menemukan vihara ini, pergilah ke 44 avenue d'Ivry di le 13th arrondissement lalu menyeberang melalui terowongan bawah tanah dari gedung tersebut. Viharanya terletak tidak jauh dari alun-alun.

Monggo mas...

(Besok: Khanh Anh)

Jumat, 08 Januari 2010

Paris ~ Kagyu-Dzong

Tepat di sebelah Pagode du Bois de Vincennes, terdapat Kagyu-Dzong.

For ENGLISH please read PARIS TIBETAN TEMPLE.

Tahun 1980 YM Kalu Rinpoche mengadakan upacara Kalachakra di Pagode du Bois de Vincennes. Beliau bertemu dengan Jean Ober yang waktu itu menjabat sebagai sekjen Institut international bouddhique. Keduanya bersepakat untuk membangun sebuah Vihara Tibet. Rencana bangunan bergaya campuran Tibet dan Bhutan digambar oleh arsitek Jean-Luc Massot. Peletakan batu pertama tanggal 20 Maret 1983 dan diresmikan dua tahun kemudian pada tanggal 27 Januari 1985.

Kagyu-Dzong berafiliasi dengan Karma Kagyu yang dipimpin oleh HH Karmapa ke-17, Ogyen Trinley Dorje.Sejak 2006, setiap tahun sebuah acara yang artistik berlangsung di Kagyu-Dzong. Bertemakan "Peace and Light", acara tersebut dimaksud sebagai pengumpulan dana bagi pembangunan Temple for Peace di dekat Vajradhara-Ling, Normandy.




Mampir, s'il vous plaît?
Soyez les bienvenus!

Kamis, 07 Januari 2010

Paris ~ Le Pagode du Bois de Vincennes

Vihara yang paling terkenal di Paris adalah Le Pagode du Bois de Vincennes.

For ENGLISH please read PAGODE DE VINCENNES.

Asalnya merupakan sebuah bangunan yang merupakan anjungan Cameroon dalam the International Colonial Exhibition tahun 1931. Dua buah bangunan utama yang indah didesain oleh arsitek Louis-Hippolyte Boileau di tanah seluas 8000m2 di tepi danau Lac Daumesnil. Wisma Cameroon telah direnovasi tahun 1977 dan sekarang menjadi pagoda. Wisma Togo rencananya akan dipugar oleh Pemerintah Kota Paris untuk dipakai sebagai perpustakaan yang khusus menyimpan kitab-kitab Buddhis dari berbagai tradisi.

Setelah diubah fungsi menjadi bangunan keagamaan, pagoda ini merupakan tempat kedudukan Institut international bouddhique yang didirikan oleh Jean Sainteny yang merangkap sebagai manajer institut ini. Sekarang terbuka untuk digunakan oleh umat Buddha dari mana saja. Tidak ada bhikkhu yang menetap di sana. Namun umumnya komunitas Asia Tenggara yang ada di Paris, terutama dari Cambodia dan Laos yang kerap menggunakannya.

Di vihara ini terdapat patung Buddha terbesar di Eropa setinggi 9 meter berlapis emas.

Mau ke sana ya? Hehehehe....

Gampang kok. Letaknya di nomer 40, route de Ceinture du Lac Daumesnil di daerah le 12me arrondissement de Paris.
Kalau naik metro, tinggal berhenti di stasiun Porte Dorée.

Sampai jumpa!

(Besok: Kagyu Dzong)