Kamis, 29 April 2010

BABI JUGA MAU LA YAUW...!

Suatu ketika, seorang guru tua menerawang dan melihat bahwa dalam kelahirannya yang akan datang, ia akan lahir sebagai seekor babi.

Ia memanggil muridnya yang paling dipercaya, dan meminta agar muridnya melakukan sesuatu yang sangat rahasia.
"Apapun akan saya laksanakan demi guru!" kata muridnya.

"Dengar baik-baik. Dalam kelahiran yang akan dayang, aku akan terlahir sebagai babi. Setelah aku meninggal, babi yang ada di kandang kita akan hamil. Aku adalah anak babi nomer empat yang akan lahir dari perutnya. Selain itu, engkau akan mengenaliku karena alisnya berwarna putih. Saat itu juga, jangan buang waktu lagi, SEGERA kau ambil pisau yang sangat tajam, dan akhiri hidupku sebagai babi."

Benar saja. Tahun berikutnya sang guru tua meninggal dan tidak lama kemudian babi yang ada di kandang mereka hamil.

Murid itu mengingat pesan gurunya dan mengasah pisaunya tajam-tajam.
Ia bergegas menuju kandang dan tiba-tiba ....

"Stop! Jangan bunuh aku!"

Murid itu menjatuhkan pisaunya saking terkejut. Ia melihat dengan pandangan bingung pada babi kecil itu.



"Muridku, saat aku masih jadi manusia seperti kamu, aku tidak menyadari bagaimana kehidupan seekor babi sebenarnya. Jadi babi juga asyik, kok. Biarkan aku tetap hidup, sebagai babi pun jadi lah!"

Rabu, 28 April 2010

ZIARAH BUDDHA - JULI 2010

Sel 20 Jul 2010/Hari 01: JAKARTA - DELHI
Berkumpul di Bandara Sukarno-Hatta, Jakarta untuk selanjutnya dengan pesawat berangkat menuju ibukota India, New Delhi.

Rab 21 Jul 2010/Hari 02: DELHI - AGRA
Setibanya di Bandara Indira Gandhi, New Delhi, langsung naik bis menuju kota Agra. Setelah beristirahat, sore hari kita saksikan salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia yaitu TAJ MAHAL. Menginap di Agra.

Kam 22 Jul 2010/Hari 03: AGRA - SANKASYA - LUCKNOW
Perjalanan ziarah kita mulai di Sankasya, tempat Buddha turun ke bumi setelah ber-vassa di Surga Tavatimsa. Menginap di Lucknow.

Jum 23 Jul 2010/Hari 04: LUCKNOW - SRAVASTI
Hari ini kita tiba di Taman Jeta atau Jetavana. Kita bisa berbakti di Gandha Kuti (kamar Buddha) dan menyaksikan Pohon Bodhi Ananda. Menginap di Sravasti.

Sab 24 Jul 2010/Hari 05: SRAVASTI - KAPILAVASTU - LUMBINI
Setelah berbakti di Stupa Kapilavastu yang pernah digunakan untuk menyimpan sebagian relik Buddha, kita menyebrangi perbatasan, masuk ke negara Nepal. Menginap di Lumbini.

Min 25 Jul 2010/Hari 06: LUMBINI - KUSINAGAR
Salah satu tempat utama tujuan kita adalah TAMAN LUMBINI, tempat lahir Pangeran Siddhartha. Setelah itu kita kembali masuk negara India, menginap di Kusinagar.


Sen 26 Jul 2010/Hari 07: KUSINAGAR - RAJGIR

Tujuan utama kita yang ke dua adalah MAHA PARI NIRVANA VIHARA, tempat Buddha wafat. Kita juga akan berbakti di tempat perabuan jenasah Buddha. Menginap di Rajgir.

Sel 27 Jul 2010/Hari 08: RAJGIR - BODHGAYA
Pagi hari kita mendaki Puncak Burung Nasar. Lalu mengunjungi bekas Universitas Nalanda yang terkenal. Kita juga akan ke Hutan Bambu Venuvana, tempat berlangsngnya peristiwa Magha Puja. Menginap di Bodhgaya.

Rab 28 Jul 2010/Hari 09: BODHGAYA
Inilah tujuan utama kita, yaitu POHON BODHI tempat tercapainya Pencerahan Sempurna di bulan Wesak. Untuk lebih memberi kesempatan bagi kita semua untuk berbakti dan bermeditasi di tempat suci ini, malam ini kita masih menginap di Bodhgaya.

Kam 29 Jul 2010/Hari 10: BODHGAYA - VARANASI
Perjalanan ziarah kita akhiri di TAMAN RUSA ISIPATANA, tempat Buddha membabarkan Dharma untuk pertama kalinya. Menginap di Varanasi.

Jum 30 Jul 2010/Hari 11: VARANASI - DELHI
Pagi ini acara istimewa, menyaksikan Sungai Gangga yang termashur. Setelah berbelanja oleh-oleh, kita akan naik pesawat domestik menuju New Delhi. Menginap di New Delhi.

Sab 31 Jul 2010/Hari 12: DELHI - JAKARTA
Pagi hari diantar ke bandara untuk selanjutnya kembali ke tanah air. Malam hari ini tibalah kita kembali di Jakarta dengan semangat baru dan keyakinan yang lebih mantap akan Buddha Dharma Sangha!

Biaya US$1,980.- per orang (sekamar berdua atau bertiga)
Biaya belum termasuk fiskal (sesuai ketentuan pemerintah), airport tax Jakarta Rp 150.000,-, Visa India Rp 700.000,- dan visa Nepal US$25.-


Pendaftaran :
Kirim copy paspor via email ke anandaindonesia@yahoo.com
PERHATIAN:
Daftar dalam bulan Mei 2010 discount khusus US$100,-

Segera daftar, tempat terbatas!

Selasa, 27 April 2010

Tante Aki di Manado

Tante Aki sementara ada di Manado. Tapi bukan di kota, melainkan di perkampungan, jauh lah pokoknya, dari Kakas Kasem pun masih jauh. Tante Aki harus menjaga cucunya, karena papi dan mami cucunya itu sedang tour ke Hongkong, menang undian berhadiah sebuah merk sabun terkenal.

Pagi itu Sinyo yang berumur 8 tahun, kebetulan lagi libur sekolah. Sinyo minta ijin pada Tante Aki.

Sinyo: "Oma, kita mo pi bermaeng dulu pa Boy pe rumah....."

Tante: "eh Sinyo..., io pigi jo dang, mar kalo ba potong jalang (menyeberang jalan) tunggu oto (mobil) lewat dulu baru ba potong neh?"

Sinyo: "beres oma..."

10 menit kemudian Sinyo kembali menemui Tante Aki sambil menangis keras-keras.

Tante: "kiapa ngana Sinyo...? dong ada cubi (cubit) pa ngana? atau ada tumbu (tinju) pa ngana?"

Sinyo: "bukang oma..."

Tante: "kong apa dang?"


Sinyo: "abis oma bilang tunggu oto lewat dulu baru kita menyebrang. Kita tunggu-tunggu nyanda ada oto yang lewat.... jadi kita nyanda bisa menyeberang!"

Rupanya Tante Aki lupa bahwa di perkampungan jarang ada mobil lewat! Kasihan si Sinyo...! Wkwkwkwk...

Senin, 26 April 2010

Bulan Tak Bisa Dicuri

Seorang Guru Zen hidup sangat sederhana di kaki gunung. Suatu malam, saat ia pergi, seorangpencuri menyelinap masuk ke gubuknya dan sangat kecewa karena tidak menemukan apapun yang layak dicuri. Guru Zen itu kebetulan pulang dan menemukan pencuri di dalam gubuk.

"Kamu sudah repot-repot masuk kemari," katanya kepada pencuri, "jangan sampai kamu tidak memperoleh hasil apa-apa. Terimalah pakaianku ini sebagai hadiah."

Pencuri itu bingung tapi tetap mengambil pakaian tersebut sambil melarikan diri.

Guru Zen duduk telanjang memandang bulan.
"Kasihan," katanya bergumam. "Andai saja aku bisa, akan kuberikan bulan yang indah ini kepadanya."



A Zen Master lived the simplest kind of life in a little hut at the foot of a mountain. One evening, while he was away, a thief sneaked into the hut only to find there was nothing in it to steal. The Zen Master returned and found him. "You have come a long way to visit me," he told the prowler, "and you should not return empty handed. Please take my clothes as a gift." The thief was bewildered, but he took the clothes and ran away. The Master sat naked, watching the moon. "Poor fellow," he mused, "I wish I could give him this beautiful moon."

Minggu, 25 April 2010

Belajar mencuri

Seorang anak pencuri merengek kepada ayahnya supaya ia bisa belajar mencuri.
Karena tidak tahan terus-menerus mendengar rengekan anaknya, ayah itu setuju. Ia pun mengajak anaknya mencuri ke sebuah rumah.



Mereka berdua berhasil masuk ke dalam, dan si ayah menyuruh anaknya mengambil isi lemari.

Tanpa setahu anaknya, ayah itu menyelinap lagi ke luar dari rumah dan mengetuk pintu keras-keras. Sebelum orang-orang yang ada di rumah itu bangun, si ayah bergegas melarikan diri.





Menjelang fajar, anaknya tiba di rumah dan mengeluh pada ayahnya:
"Mengapa ayah membangunkan mereka? Saya terpaksa bersembunyi supaya tidak ditangkap."

Dengan kalem ayahnya menjawab:
"Nah, itulah nak, pelajaran pertama ilmu mencuri."

Sabtu, 24 April 2010

Wiku Sadayana ~ SAHABAT SEJATI

Ditulis oleh : Tatang Gowarman

Setelah semalam diguyur hujan yang sangat lebat, daun-daun yang masih basah tampak berwarna lebih hijau berkilauan ditimpa cahaya matahari pagi. Saat itu Padepokan Wiku Sadayana kedatangan seorang pemuda dengan 2 orang pengiringnya yang membawa beberapa karung ketan, kedelai, gula kelapa dan berbagai kebutuhan lainnya.

Pemuda tersebut adalah Viryaguna, putra dari Upasaka Danavirya yang sering berdana untuk padepokan Wiku Sadayana sejak muda. Kedatangan rombongan ini diterima dengan ramah karena sebagian besar penghuni padepokan tahu hubungan baik antara Wiku Sadayana dengan Danavirya. Viryaguna sering datang bersama ayahnya; sehingga banyak cantrik yang sebaya yang menjadi kawan dekat Viryaguna.

Setelah santap siang mereka diantar ketempat untuk istirahat. Sore hari, Viryaguna beserta rombongannya ikut serta menguncarkan tembang mantram di Sanggar Pamujan. Usai pembacaan mantram, seperti biasa Wiku Sadayana menjawab berbagai pertanyaan dari para cantrik dan memberikan petunjuk yang sesuai dengan perkembangan masing masing. Setelah itu Wiku Sadayana menatap Viryaguna sambil tersenyum : "Viryaguna, engkau sudah besar sekali, tubuhmu tegap dan tampaknya sudah lebih tinggi daripada ayahmu. Ayo maju kesini, dan Bagaimana kabar ayah dan ibumu Viryaguna?"

Viryaguna maju kehadapan Wiku Sadayana. Setelah memberikan sembah sujudnya, Viryaguna menjawab : "Ayah dan ibu sehat dan sejahtera, eyang guru. Ayah mengirimkan beberapa karung ketan, kedelai, serta gula kelapa, juga sebotol minyak gandapura untuk Eyang Guru. Ibu juga mengirimkan selimut yang terbuat dari potongan potongan kain yang dijahitnya sendiri, untuk eyang."

Wiku Sadayana tertawa : "Ibumu pasti sangat repot menjahit selimut dari potongan potongan kain. Apa tidak menghabiskan waktu menjahit selimut seperti itu? Nanti jika engkau sudah kembali, sampaikan terima kasih dari eyang guru. Memang selimut itu eyang perlukan, karena yang lama sudah robek robek dan tidak lama lagi musim angin tiba. Biasanya di padepokan ini sangat dingin jika ada angin. Juga sampaikan terima kasih kepada ayahmu, dari seluruh cantrik di padepokan ini, atas kiriman berbagai bahan pangan dan keperluan dapur. Minyak Gandapura itu pasti berguna saat musim bediding yang biasanya sangat dingin disini."

"Baik, eyang guru, nanti akan disampaikan kepada ayah dan ibu," jawab Viryaguna.

Sambil tersenyum, Wiku Sadayana melanjutkan : "Viryaguna, ada apa lagi yang ingin kau sampaikan?"

Setelah ragu ragu sejenak, Viryaguna berkata : "Ada yang ingin kutanyakan eyang guru. Ayahku yang menganjurkan agar bertanya kepada eyang guru. Menurut ayah, eyang guru juga tahu dengan jelas."

"O, begitu," tukas Wiku Sadayana, "Apa masalahnya Viryaguna?".

Eyang guru, aku tidak mengerti mengapa ayahku marah padaku, padahal aku berusaha agar pengiriman beras ke ibukota kerajaan bisa lancar dan baik. Bahkan tindakan beliau minggu lalu, tidak masuk akal", kata Viryaguna.

"Hmmm," Wiku Sadayana bergumam, "Ayahmu biasanya sangat baik kepada siapapun, apalagi kepada putranya sendiri. Coba ceritakan dengan jelas awal mula kejadiannya bagaimana Virya?"

"Sejak tahun lalu, ayah menugaskan aku untuk mengurus pengiriman beras dan hasil panen lainnya ke pedagang di ibukota kerajaan. Sejak dulu kami menggunakan jasa pengiriman milik Mahesapala, teman ayah.
Tetapi akhir akhir ini sering terjadi masalah. Pengiriman sering terlambat, kalau bukan lembunya sakit, poros roda patah sehingga seharusnya 3 hari sudah sampai, ini baru sampai di hari ke 5, dan mengakibatkan pedagang yang di ibukota menjadi marah. Bahkan bulan lalu, lembu penarik pedati yang dipergunakan, sakit di perjalanan ditambah lagi atap pedati rusak, sehingga air hujan membasahi beras yang dibawa. Akibatnya kami menanggung rugi yang cukup besar.
"

"Lalu, apa yang dilakukan ayahmu Virya?"

"Pada saat itu ayah sedang pergi ke Ujung Galuh dan baru kembali sepasar (5 hari) kemudian. Aku memutuskan untuk mengirimkan beras lagi tanpa menggunakan jasa Mahesapala, tetapi menggunakan jasa milik ayah salah seorang temanku. Hasilnya baik, pengiriman lancar, tidak ada kerusakan dan tiba di ibukota tepat 3 hari kemudian.

Ketika ayah kembali, dengan gembira aku melaporkan penggantian jasa perusahaan pengangkutan tersebut dan hasilnya yang sangat baik.
"

Dengan nada kesal, Viryaguna melanjutkan : "Tetapi, alih alih mendapatkan pujian, ayahanda marah-marah kepadaku, dan mengatakan harus menggunakan jasa Mahesapala. Kemudian saat aku menjelaskan mengapa pengiriman melalui Mahesapala selalu terlambat, karena lembunya sudah tua, pedati yang dipergunakan sudah bobrok, ayah makin marah. Mengatakan bahwa aku tidak ingat budi, bahkan membentakku supaya diam."

"Tentu engkau sedih, kecewa dan marah," sambut Wiku Sadayana, "setelah itu, bagaimana kelanjutannya?"

"Keesokan harinya, ayah memanggilku untuk bersama paman pergi ke pengusaha pedati. Beliau memesan 4 pedati besar yang ditarik 4 ekor lembu. Hari berikutnya ayah menyuruhku mengirim 16 lembu yang terkuat milik kami untuk dikirim ke tempat Mahesapala. Saat itu aku menolak mengirim lembu tersebut. Tapi ayah memelukku dan mengatakan
'Nak, semua harta kekayaan kita ini bisa kita miliki dan kita nikmati karena kebaikan hati Mahesapala. Lakukan saja apa yang kusuruh. Minggu depan pergilah ke padepokan eyang guru. Tanyakanlah pada beliau mengenai Mahesapala. Beliau mengetahui masalah ini dengan baik’,
Demikianlah eyang guru, aku mohon penjelasan
".

Setelah merenung sejenak Wiku Sadayana :
"Viryaguna, ayahmu memang bijaksana. Dengan memintaku untuk menceritakan hal ini, beliau terhindar dari pembicaraan untuk membanggakan dirinya sendiri. Viryaguna, tentunya ayahmu pernah bercerita bahwa beliau sebelum memiliki usaha sendiri, beliau pernah bekerja sebagai pembantu petani di ladang."

"Betul eyang guru, ayah pernah bercerita seperti itu."

"Ayahmu Danavirya adalah pekerja yang ulet dan tekun, menyisihkan upahnya sedikit demi sedikit untuk membeli sebidang sawah."
Lanjut Wiku Sadayana : "Berbeda dengan petani yang lain yang biasa menjual hasil panen langsung kepada para pedagang yang datang ke desa, ayahmu memilih untuk mengirimkan sendiri gabah hasil panen ke ibukota dan menjualnya di sana," tutur Wiku Sadayana, dan sambil tersenyum melanjutkan : "Saat itulah aku yang sedang belajar di biara di ibukota bertemu dengan ayahmu. Sejak itu setiap kali ke ibukota, ayahmu pasti mampir di biara, serta berbincang bincang dengan aku".

Wiku Sadayana termenung cukup lama, seperti mengenang masa muda mereka, kemudian melanjutkan : "Pada awalnya semua berjalan lancar. Selain menjual gabah hasil sawah sendiri, ayahmu juga membeli gabah milik tetangga dan menjualnya ke kota dengan harga yang lebih tinggi. Tetapi pada suatu ketika, saat ayahmu berdagang dengan jumlah pengiriman yang cukup besar, ayahmu ditipu oleh seorang yang berpura pura ingin membeli seluruh gabah yang dibawa ayahmu. Ternyata ayahmu ditipu. Habis tidak bersisa uang beliau, hanya sawah dan benih yang masih tersisa. Musim panen berikutnya, tidak ada satupun perusahaan pengangkut yang bersedia mengangkut gabah milik ayahmu ke ibukota. Semua tahu bahwa ayahmu masih memiliki banyak utang. Hasil penjualan gabah itu tidak akan cukup untuk membayar utang, apalagi untuk membayar biaya pengangkut. Ada satu orang yang tetap percaya pada ayahmu. Orang itu adalah Mahesapala. idak hanya mengangkut gabah, tetapi Mahesapala juga memperkenalkan ayahmu kepada kenalannya seroang pedagang yang jujur. Dengan usaha ayahmu yang ulet, maka beliau dapat melunasi utang utangnya, menjadi makin makmur , terus sampai sekarang."

"Viryaguna, akhir akhir ini aku sering mendengar bahwa penipuan makin sering terjadi. Hubungan usaha yang sudah dijalin bertahun tahun bisa hancur hanya karena salah satu pihak berlaku curang hanya demi menambah keuntungan bagi dirinya sendiri. Banyak pula orang yang tidak lagi mementingkan persahabatan tetapi lebih mementingkan keuntungan diri sendiri. Seorang pengusaha seperti ayahmu, seorang yang berusaha menjalani hidup sesuai dengan Dharma, orang yang patut dibanggakan."

Setelah menghembuskan napas lega, Viryaguna berkata : "Eyang, kalau aku tahu kisah ini, tentu aku tidak akan menggantikan jasa pengiriman paman Mahesapala. Ayahku benar, dan aku bangga memiliki ayah yang setia pada orang yang pernah membantunya dulu."

"Bagus Viryaguna, bagus!" tukas Wiku Sadayana. "Ayahmu Danavirya dan Mahesapala bisa dijadikan contoh dari persahabatan sejati. Mereka saling membantu ketika salah satu sedang kesulitan. Mungkin ayahmu tidak mengetahui, bahwa sudah 1 tahun ini, istri dari Mahesapala sakit keras, yang memerlukan obat berharga mahal serta perhatian penuh dari keluarganya untuk merawatnya. Mungkin karena perhatian Mahesapala tercurah pada upaya mengobati istrinya, maka perhatian pada perawatan pedati serta lembu menjadi kurang."

"Oh, kiranya demikian eyang guru," kata Viryaguna. "Esok pagi aku pulang, dan akan kusampaikan berita ini kepada ayah."

"Bagaimana Viryaguna, sudah puaskah engkau?" tanya Wiku Sadayana sambil tersenyum.

"Sudah eyang guru. Aku mohon pamit untuk kembali ke pondokanku, untuk cepat beristirahat, karena besok pagi pagi aku akan pulang ke rumah."

"Baiklah, kalau tidak ada hal yang lain lagi, kita semua kembali ke pondok masing masing untuk istirahat."

Setelah menghaturkan sembah sujud kepada rupang Hyang Guru Buddha, semua meninggalkan Sanggar Pamujan, untuk beristirahat di pondok masing masing, dan tak lama kemudian padepokan diselimuti keheningan malam.

Dhyanaloka, Maret 2010

Jumat, 23 April 2010

Debat Bisu Nomer 2

Sesuai tradisi Zen, bila berhasil memenangkan perdebatan di vihara yang dikunjunginya, seorang bhikshu pengembara boleh menetap di vihara tersebut. Sebaliknya bila kalah, ia harus meneruskan pengembaraannya.

Di sebuah vihara di utara Jepang, tinggal dua oranmg bhikshu. Yang tua terpelajar, namun yang muda kurang pandai. Bhikshu yang muda ini matanya cacat, hanya tinggal satu.

Seorang bhikshu pengembara datang dan meminta berdebat.
Bhikshu yang tua sudah lelah, dan menugaskan yang muda untuk melayani bhikshu pengembara itu berdebat.
"Ajak berdebat tanpa suara saja," katanya.

Maka bhikshu muda dan bhikshu pengembara masuk ke dharmasala dan duduk berhadapan.

Tak lama kemudian bhikshu pengembara bangkit, menghadap bhikshu tua dan menyerah :
"Bhikshu muda itu sangat pandai. Saya akan meneruskan perjalanan."

"Jelaskan," kata bhikshu tua.

"Demikianlah," kata bhikshu pengembara, "saya mengacungkan satu jari, lambang Buddha. Ia mengacungkan dua jari, yaitu Buddha-Dharma. Saya acungkan tiga jari, melambangkan Tri Ratna (Buddha-Dharma-Sangha). Ia mengepalkan tinjunya, tentu maksudnya menegaskan bahwa baik Buddha, Dharma, maupun Sangha merupakan satu kesatuan karena semuanya adalah KESADARAN. Ia menang dalam perdebatan ini. Saya tidak berhak tinggal di sini, dan saya pamit, meneruskan perjalanan."

Tidak lama kemudian bhikshu muda datang sambil marah-marah.
"Mana bhikshu kurang ajar itu?" ia bertanya pada bhikshu tua.

"Lho, bukannya kamu sudah menang berdebat?"

"Menang apa? Aku ingin menghajarnya!"

"Kenapa?"

"Begitu duduk ia langsung mengacungkan satu jari, mengejek karena aku cuma punya satu mata. Namun mengingat statusnya sebagai tamu, aku masih menghormatinya. Aku acungkan dua jari, memuji dia yang lengkap mempunyai dua mata. Eh, dia malah mengacungkan tiga jari, menegaskan bahwa kalau dijumlah tetap saja tiga buah mata. Tentu saja aku marah dan aku kepalkan tinju. Ia segera lari..."


(kemarin udah baca DEBAT BISU NOMER 1?)

Kamis, 22 April 2010

Debat Bisu Nomer 1

Seorang maharaja yakin bahwa tak ada lagi yang bisa menandingi kekuasaannya.
Suatu hari ia mengumpulkan para menterinya, untuk mencari seseorang yang bisa membaca isi hatinya. Ternyata sampai akhir batas waktu yang ditentukan, para menteri tidak berhasil menemukan orang yang tepat. Salah seorang putri perdana menteri menyarankan agar menghadapkan seorang penggembala kepada raja.

Raja mengangkat satu jari.
Gembala itu mengangkat dua jari.

Raja tersenyum. Lalu raja mengacungkan tiga jari.
Gembala itu menggelengkan kepala dan ingin segera pergi meninggalkan istana.

Raja tertawa dengan sangat puas dan memuji putri perdana menteri yang telah berhasil menemukan orang yang sangat jenius itu.

Para menteri bingung. Raja kemudian memberi penjelasan:
"Aku angkat satu jari," kata raja. "Maksudnya aku berkata bahwa aku lah yang paling berkuasa dan tidak ada yang menyaingi aku.
Tapi ia mengangkat dua jari, mengingatkan bahwa masih ada Tuhan, yang jangan lupa juga sangat berkuasa.
Lalu aku mengacungkan tiga jari untuk mengetahui apakah ada kekuasaan yang ketiga. Ia menggeleng dengan hebat, karena memang tidak ada lagi yang lebih berkuasa."



Para menteri masih kebingungan. Setelah pulang mereka bertanya kepada gembala.

Kata gembala :
"Saya cuma punya tiga ekor kambing. Raja mengangkat satu jari, artinya kan beliau ingin mengambil satu kambing. Karena beliau adalah raja yang mulia, saya angkat dua jari, biarlah saya bersedia menyerahkan dua ekor kambing. Namun saat beliau mengacungkan tiga jari, ya saya menggeleng. Masak saya harus kehilangan ketiga ekor kambing saya? Engga mau dong!"


(Besok lihat DEBAT BISU NOMER 2 ya?)

Rabu, 21 April 2010

Debat Mimpi

Kepala sekolah kami biasa tidur siang, kenang seorang murid Soyen Shaku.
Kami para murid bertanya mengapa beliau berbuat begitu. Jawab beliau : "Aku pergi ke dunia mimpi dan bertemu dengan para bijaksana, seperti yang dilakukan oleh Confucius."

Maklum memang konon Confucius bila tidur bisa bermimpi dan berjumpa dengan para bijaksana, dan kemudian menceritakan hasil pertemuannya itu kepada para pengikutnya.

Siang itu hari sangat panas. Sampai-sampai kami semua turut tertidur. Kepala sekolah menegur. Kami beralasan: "Tapi pak, kami juga pergi ke dunia mimpi dan bertemu dengan para bijaksana."

Kepala sekolah bertambah marah : "Hmmm... Lantas apa yang dikatakan oleh para bijaksana itu pada kalian, hah?"

Salah seorang teman menjawab : "Kami pergi ke dunia mimpi dan bertanya kepada para bijaksana, apakah bapak kepala sekolah selalu ke sana setiap siang? Namun mereka menjawab, katanya bapak tidak pernah datang ke sana!"

Senin, 19 April 2010

His Eminence Kensur Kyabje LATI RINPOCHE passes away

YM Kensur Kyabje Lati Rinpoche, wafat 12 April 2010 jam 05.45 pagi di Dharamsala, India dalam usia 88 tahun.




Rinpoche yang terkenal ini wafat dengan damai di kediaman beliau tanpa diduga. Beliau hanya menderita gejala sakit perut ringan dan tidak dibawa ke rumah sakit. Sesaat sebelum wafat, beliau sempat melakukan pradaksina mengelilingi Vihara Dalai Lama.




Lati Rinpoche diakui sebagai inkarnasi seorang praktisi dharma yang agung, dan menjalankan hidup di vihara sejak usia 10 tahun. Beliau adalah Ketua Kehormatan Vihara Gaden Shartse di Mundgod, India Selatan, dan menjadi Penasehat Spiritual Dalai Lama ke-14 hingga akhir hidupnya.

Upacara penyempurnaan jenasah telah dilaksanakan Senin 19 April 2010 jam 7 pagi hari.


Biography: The Most Venerable Kyabje Lati Rinpoche

His Eminence Kyabje Lati Rinpoche was born in the Kham region of Eastern Tibet in 1922. After the famous Gongkar Rinpoche (previous incarnation) identified and recognized Him as a reincarnation of a great practitioner, Rinpoche consequently embarked on the fulfillment of His destiny by joining the local monastery in Tibet - at the age of ten.

By fifteen years old, Rinpoche was enrolled in Gaden Shartse Norling College, located in central Tibet. It is the most prestigious and renowned school in Tibet, and it was at Gaden Shartse Norling College where Rinpoche pursued his study of Buddhist scriptures, and eventually, earning Him the highest honours among the foremost scholars of His day. At that time, Rinpoche?s field of study included Pramana Vidya (Logic), Prajnaparamita (Perfection of Wisdom), Madhyamika (Middle Philosophy), Abidharma (Treasure of Knowledge), Vinaya (Spiritual Rules and Moral Law).

In 1959, after nineteen years of intensive study and training, Rinpoche sat for the Geshe Lharmapa examination. This major examination was held in the summer palace of His Holiness the 14th Dalai Lama, located in the capital of Tibet, Lhasa. Candidates were various scholars and top students from the 3 main monasteries, and yet Rinpoche still managed to emerge 2nd overall. In the next year, H.E. was officially conferred as "Geshe Lharampa", a qualification which is equivalent to the PH.D. degree in the Indian universities. And in that same year, Rinpoche joined the tantric college in Lhasa, and started intensive study in Tantra since. In the following years, H.E. taught many young incarnate lamas, as well as gave dharma talks to the mass public. In 1964, Rinpoche arrived in Dharamsala, and was subsequently appointed as Spiritual Assistant to His Holiness the 14th Dalai Lama. Rinpoche serves His Holiness faithfully till today.

In 1976, under His Holiness's suggestion, various universities in America invited Lati Rinpoche over, where H.E. gave illuminating dharma discourses to an appreciative public. In addition, Rinpoche taught at Namgyal Gomba (His Holiness?s personal monastery), at the debating college, and has guided and taught many laypeople as well. In the same year, Rinpoche was appointed as the Abbot of the Shartse Norling College of Gaden Monastery, in South India. H.E. held this position for eight years where besides looking after the administration, law and order of the Sangha, Rinpoche also personally taught extensively on all aspects of Buddhism. Rinpoche?s contribution towards Gaden Shartse Norling College is widely recognized by all, and H.E. is deeply respected by many strong devotees all over the world.

Since His retirement, Rinpoche dedicated His life mainly on dharma practice, as well as propagating the dharma, guiding people along the sometimes complex path of the dharma. On repeated requests from many countries in Europe and America, Rinpoche has travelled extensively, benefiting dharma students in various parts of the world.

To His credit, Lati Rinpoche has authored many important books on Tibetan Buddhism, including:

- Death, Intermediate State and Rebirth
- Mind in Tibetan Buddhism
- Meditative States in Tibetan Buddhism




Click this link for Dharma Teachings: Bliss and Emptiness in the Gelug Tradition by Lati Rinpoche

Selasa, 13 April 2010

Beruang Jadi Galak

Konon, dahulu sebenarnya beruang itu binatang jinak. Tidak galak sama sekali.

Malahan katanya beruang suka membantu manusia.
Yang enak ya Pak Tani, karena beruang dengan suka hati senang membantu pekerjaan di sawah. Pak Tani tinggal duduk-dudk saja di rumah, sawah dan ladangnya sudah beres diurus oleh beruang.

Tapi alangkah terkejutnya beruang. Saat panen, ternyata semua padi sudah habis dituai dan diangkut oleh Pak Tani.
Beruang protes dan meminta bagiannya kepada Pak Tani.
Pak Tani menjawab : "Saya kan hanya mengambil bagian yang atas saja. Tuh di sawah masih saya sisakan bagian yang bawah buat Bung Beruang."
Terpaksalah Beruang mengalah, makan jerami saja.

Musim berikutnya, kata petani : "Ya sudah, sekarang giliran. Saya yang bawah, Bung Beruang ambil yang atasnya ya?"

Sekali lagi beruang terkejut. Ternyata Pak Tani mengambil semua singkong, kacang dan ubi jalar. Beruang hanya disisakan daun singkong, daun kacang dan daun ubi jalar saja.

Sadarlah beruang bahwa Pak Tani bukan sahabat yang baik. Hatinya culas, suka menipu dan ingin menang sendiri.

Sejak itu Beruang pindah ke hutan. Ia hanya datang ke sawah dan ladang kalau sangat lapar dan terpaksa mencuri makanan. Sebaliknya kalau ada manusia yang tersest ke hutan, beruang siap menghadang dengan kukunya yang tajam dan giginya yang runcing.

Senin, 12 April 2010

Bejo dan Ariel

Bejo naik kereta api dari Yogya ke Surabaya. Di depannya duduk seorang nenek.

Sejak awal nenek itu sering mencuri pandang menatap Bejo. Bejo jadi risih juga, kalau gadis manis sih engga apa. Tapi ini nenek-nenek?

Setelah satu jam nenek itu bertanya sambil tersenyum (bayangkan saja senyuman seorang nenek ya?) : "Nak, anak ini Ariel ya?"
Sambil tersenyum Bejo menjawab : "Bukan, nek, saya ini Bejo. Bukan Ariel."
"Ooo..." kata nenek itu.

Satu jam kemudian nenek itu bertanya lagi : "Namanya tadi siapa, nak? Bejo? Bukannya Ariel Peter Pan?"
Bejo mencoba tetap bersikap ramah : "Bukan, nenek. Saya bukan Ariel Peter Pan."

Kereta masih terus melaju dengan kencangnya. Nenek itu masih tetap mencuri-curi pandang ke arah Bejo, sambil sesekali tersenyum. Bejo bertambah risih. Mau pindah duduk, kereta penuh sesak.

Satu jam kemudian si nenek bertanya lagi : "Nak, benar anak ini bukan Ariel Peter Pan?"
Apa boleh buat, kesabaran Bejo sudah habis. Sambil setengah membentak ia berkata : "Iya! Saya memang Ariel. ARIEL PETER PAN."




Si nenek mengomel: "Huh... Ariel?! Kok engga ada mirip-miripnya sama sekali ya?"

Hahahaha....!!!!

Minggu, 11 April 2010

Jubah emas di surga

Seorang romo pandita meninggal dan antri untuk masuk ke surga.

Di depan beliau, ada seorang pengemudi taxi yang juga sedang antri. Pada gilirannya, pengemudi taxi diberi jubah keemasan dan dipersilakan masuk ke surga.


Kemudian romo pandita itu pun dipersilakan masuk ke surga, tapi hanya diberi jubah kain biasa. Beliau protes:
"Lho, pengemudi taxi itu kok diberi jubah keemasan? Padahal dia kalau bawa taxi suka ugal-ugalan."

Petugas menjelaskan :
"Kalau dia mengemudi, semua orang berdoa. Kalau romo ceramah, semua orang tertidur."

Wkwkwkwk....!

Sabtu, 10 April 2010

BANGKOK - Manjur kali ye?

Dalam tulisan terdahulu saya mencatat adanya praktek 'konsultasi nasib' di Wat Bovorn. Memang praktek ini lazim saja di mana-mana. Yang saya alami sendiri adalah di Wat Traimit, tempat patung Buddha emas yang sudah saya ceritakan.

Di situ ada sebuah paseban, dengan mesin-mesin sederhana berjajar. Bentuknya hampir seperti mesin ding-dong kecil. Ada sebuah lubang tempat memasukkan koin, lalu ada lampu yang bisa menyala berputar-putar seperti mesin roulette. Kalau koin kita masukkan, lampu akan berputar, sampai akhirnya berhenti di suatu nomer. Nah, kita ambil kertas dengan nomer yang sesuai yang terdapat di laci-laci di bawah mesin itu. Di situ bisa kita baca 'karma' apa yang akan berbuah pada saat itu.

Saya ingin tahu dan mau mencoba mengambil kertas 'ramalan'. Ada banyak mesin di sana. Ada tujuh buah dengan patung Buddha di dalamnya, masing-masing satu untuk setiap hari. Ada Buddha yang 'pas' untuk hari Minggu, ada yang hari Senin, dan seterusnya. Selain itu masih ada mesin yang tidak pakai patung Buddha, tapi pakai patung lainnya. Ada yang patung Kwan Im, ada yang patung Amurwabhumi (Hok Tek Ceng Sin). Karena saya sudah kena promosi sehari sebelumnya tentang 'Se Mien Fo', maka saya pun memilih untuk memasukkan koin ke mesin yang 'dihuni' oleh 'Buddha Muka Empat' itu.

Namun tiba-tiba pemandu wisata lokal yang pandai bahasa Indonesia itu menyuruh saya - setengah memaksa - untuk memasukkan koin di tempat Buddha yang sesuai dengan hari lahir saya. Maka saya pun pindah, dan menuruti sarannya, meskipun dengan hati yang sedikit tidak enak. Benar saja, nomer yang keluar tidak sebaik yang saya harapkan. Lumayan, sih, tapi engga terlalu 'wah', gitu.

Karena itu saya pun ngotot menukar koin lagi, supaya bisa sekali lagi 'meramal' di 'Se Mien Fo', sesuai keinginan awal saya. Keluar nomer yang lain. Tapi waktu kertasnya saya ambil dan saya baca, ternyata isinya kurang lebih sama dengan kertas yang tadi!

Saya pun engga bisa ngomong apa-apa, deh. Manjur kali, ye?

24 Sep 01

Jumat, 09 April 2010

BANGKOK - Chena Songklam

Ke arah belakang Wat Bovorn, menyusuri daerah pertokoan yang juga dipadati pedagang kaki lima, kita akan tiba di sebuah wat yang tidak terkenal di kalangan turis. Saya sendiri salah masuk, malah masuk dari bangunan kompleks perumahan di sebelahnya, dan baru belok ke bagian belakang wat tersebut. Ada sebuah stupa besar yang sedang dipugar.

Karena saya masuk dari pintu belakang, saya malah 'berjodoh' melihat-lihat aneka patung Buddha yang ditaruh di gang sebelum kita masuk ke ruang Dhammasala. Patung-patung itu cukup besar. Tidak disediakan tempat lilin dan dupa di depannya, memang, tapi toh cukup megah dengan berbagai hiasan altar sebagaimana layaknya vihara di Thai.

Yang menarik, ada sebuah patung Maitreya a la Cina turut duduk di sana. Lengkap dengan senyumnya yang lebar dan perutnya yang gendut. Patung ini cukup populer, rupanya, terbukti banyak kertas emas yang tertempel di tubuhnya.

Memang di Thai selain mempersembahkan lilin dan dupa, umumnya orang pun mempersembahkan kertas emas untuk ditempelkan di patung, di ukiran dinding, atau di mana saja yang kita inginkan. Lebih baik daripada membakar kertas yang malah membuat hitam ruangan kena abunya.

Begitulah setibanya di pintu depan, saya pun menyalakan lilin dan dupa, serta juga menempelkan sehelai kertas emas di sebuah Buddha-rupang. Seluruhnya ada lima buah patung yang diletakkan di kiri kanan pintu pasuk, dan masing-masing terkesan punya 'spesialisasi' tersendiri. Artinya, ada orang-orang yang lebih 'fans' sama patung tertentu, sebab mungkin saja lebih 'manjur', barangkali.

Wat yang sederhana ini tetap saja mengesankan kemegahan. Ruang dhammasalanya besar dan lebar, berlapis karpet empuk. Dua buah patung Buddha (maha) besar menempati altar utama. Yang agak lain, di kiri kanan altar ada puluhan lilin besar menyala, lengkap dengan tulisan nama penyumbangnya, seperti di kelenteng di Indonesia. Bedanya lilin di sini berwarna kuning, bukan merah. Masih ratusan batang lilin yang siap dinyalakan menanti giliran, semuanya sudah komplit dengan nama dermawan yang memohon 'sesuatu', tentunya.

Saya masuk, bernamaskara, lalu meditasi. Wah, alangkah nyaman dan damainya tempat ini! Lebih setengah jam saya menikmati ketenangan, dan rasanya sayang ketika merasa harus mengakhirinya sebab sudah harus bergegas ke bandara.

Meskipun tidak tertera di brosur wisata, wat yang bernama Wat Chena Songklam ini masih tetap mendapat kunjungan para wisatawan mancanegara. Saya bertemu dengan lima kelompok turis bule saat menuju ke gerbang ke luar. Seorang anak lelaki di antaranya, dengan mantap memukul genta besar yang ada di halaman sehingga berbunyi dengan merdu.

Di halaman samping, menjelang keluar pintu utama, ada beberapa upasika atthasila (kasihan, perempuan Thai tidak bisa jadi bhikkhuni. Mereka paling banter jadi upasika atthasila dengan jubah putih, tapi tetap harus gundul). Mereka sedang sibuk memasak, entah buat siapa, soalnya pasti mereka tidak akan makan lagi sebab waktu itu sudah menjelang senja.

Di pintu utama (saya masuk dari pintu belakang tapi keluar dari pintu depan), ada seorang upasika lagi, sudah tua. Beliau menjual dupa, lilin dan bunga. Entah bagaimana cara bayarnya, apa diperbolehkan memegang uang?

23 sep 01

Kamis, 08 April 2010

BANGKOK - Wat, Wat, Wat, dan Wat....

Buat rekan-rekan yang berminat ke Bangkok dan barangkali saja butuh informasi, ada cukup banyak Wat sehingga kita tidak mungkin mengunjungi semuanya. Beberapa yang terkenal adalah :

Wat Phra Keaw
Wat ini adalah wat kerajaan, letaknya juga di halaman istana. Di dalamnya ada patung yang disebut sebagai Emerald Buddha, namun agaknya sebetulnya terbuat dari nephrite (sejenis jade/giok). Lukisan dinding di serambi yang mengelilingi vihara melukiskan kisah Ramayana. Lukisan dinding di bagian dalam vihara menggambarkan kisah kehidupan Buddha.

Wat Arun
Dikenal juga sebagai Temple of the Dawn alias Kuil Fajar. Padahal sebetulnya wat ini lebih cantik disaksikan di waktu sore, saat matahari terbenam. Letaknya di tepi kiri dari Sungai Chao Praya yang membelah kota Bangkok. "Prang", yaitu menara gaya Kamboja setinggi 82-meter ditutupi dengan kepingan porselen Cina berwarna-warni. Di bagian depan terdapat serambi dengan atap berbentuk mahkota. Di depan serambi para yaksa dari kisah Ramayana hadir sebagai patung besar yang membisu.

Wat Benchamabopitr
Terletak di dekat Istana Chitralada. Bangunan utamanya didesain oleh Pangeran Naris, putra Raja Rama IV, dan dibangun dengan menggunakan marmer dari Itali pada masa pemerintahan Rama V (1868-1910). Bagian dalamnya dihias dengan laquer dan emas. Di selasar yang membatasi halaman bagian dalam yang luas, terdapat koleksi patung-patung Buddha dari perunggu yang cukup banyak jumlahnya.

Wat Indrawiharn
Terkenal dengan patung Buddha kuno berusia 100-tahun lebih dalam posisi berdiri setinggi 32-meter. Di puncak hiasan rambutnya terdapat sebuah relik Buddha (saririkadhatu) dari Sri Lanka.

Wat Rakang Kositaram
Vihara ini dibangun di jaman Ayutthaya dan sudah mengalami tiga kali renovasi. Di 'hawtrai' atau perpustakaannya, terdapat lukisan dinding yang indah-indah, hasil karya seniman besar Ajahn Nak. Rama I pernah tinggal di sini sebelum menjadi naik tahta menjadi raja.

Wat Saket
Pembangunannya dimulai pada masa pemerintahan Rama I (1782-1809). Beberapa kali gagal karena longsor. Namun akhirnya bukit buatan berhasil juga, dan wat yang dijuluki 'Gunung Emas' ini menjulang diatas panorama kota. Ada 318 anak tangga yang harus dinaiki bila kita ingin sampai ke puncak stupa emas yang berisi relik Buddha.

Wat Sutat
Terkenal dengn lukisan dindingnya yang penuh seni dan patung-patungnya yang berlapis emas. Di halaman depan vihara ini terdapat sebuah ayunan besar. Dulunya benar-benar dipergunakan sebagai ayunan pada upacara tahunan Hindu untuk memperingati saat Dewa Shiva turun ke bumi.

Wat Kanlayanimit
Terletak di tepian sungai Chao Praya, di wat inilah terdapat patung Buddha duduk yang terbesar dan juga genta terbesar.

Wat Leng Nuei Yee
Inilah vihara Buddha gaya Cina yang paling kuno di Bangkok. Terdapat juga beberapa sesembahan yang biasa dimuliakan oleh orang-orang Cina.

Wat Mahatat
Di sinilah terdapat Maha Chulalongkorn University, salah satu perguruan tinggi Buddhis yang terkemuka.

Wat Po
Terkenal di seluruh dunia, inilah salah satu yang paling tua dan paling besar. Di dalamnya ada patung Buddha dalam posisi berbaring sepanjang 40-meter dan tingginya 15-meter. Vihara ini juga merupakan salah satu pusat pendidikan terkemuka dan sering disebut-sebut sebagai universitas pertama di Thailand. Selain itu, wat ini pun merupakan pusat pengobatan tradisional. Patung-patung batu dengan tanda di sana-sini dan prasasti bertuliskan tata-cara pengobatan India kuno dengan jamu dan pijat. Wat Po sudah berusia 2000 tahun.

Wat Rachabophit
Tidak jauh dari Wat Po, arsitektur luar vihara ini bergaya Thai namun di bagian dalamnya penuh dekorasi bergaya Eropa. Vihara ini dibangun dengan semangat untuk menelusuri gagasan baru, pada saat pemerintahan Rama V tahun 1869, dan merupakan bagian dari tradisi bahwa setiap raja akan membangun sebuah vihara untuk menandai pemerintahannya.

Wat Ratchanatdaram
Dibangun untuk menandai pemerintahan Rama III tahun 1846. 'Loha Prasat', yang menjadi pusat perhatian, tingginya 36-meter dan dikelilingi oleh 36 menara yang unik.


Diedarkan di Milis Buddha, 22 Sep 2001

Rabu, 07 April 2010

BANGKOK - Kampus Bhikkhu Indonesia

Ada waktu beberapa jam bagi saya sebelum jadwal pesawat berikutnya. Jelas,
kesempatan tidak boleh disia-siakan dan sayapun meluncur menunju Wat
Bovoranives
.

Tidak ada patokan yang jelas dalam menuliskan bahasa Thai ke huruf Latin. Beberapa orang menulis nama wat ini sebagai Wat Bowonivet, atau lebih singkat lagi, Wat Bowon. Orang Thai memang senang singkat-menyingkat. Tak heran Wat Benchamabopitr yang sulit diucapkan itu disingkat saja menjadi Wat Bencha. Beberapa sopir taksi malah lebih keren menyebutnya Wat Ben. Titik.

Kembali ke Wat Bovorn.
Dengan aneka perasaan saya membeli bunga teratai dan sebatang lilin kecil
plus tiga batang dupa dari penjual bunga di gerbang vihara. Inilah wat yang
punya pertalian erat dengan agama Buddha di Indonesia. Salah satu patungnya berasal dari Sriwijaya, konon. Kelak kemudian hari, beberapa Dhammaduta yang berasal dari vihara ini mampu mengukir sejarah dalam percaturan Sangha di Indonesia. Sampai sekarang pun, masih sejumlah bhikkhu Indonesia yang bermukim dan 'nyantri' di sini.

Siang itu dhammasala penuh sesak oleh rombongan anak-anak sekolah (kurang lebih setara SMP) yang mengadakan kebaktian bersama dengan diantar oleh guru-guru mereka. Tentu saja saya tidak bisa masuk, namun saya sempat melongok Buddharupa yang besar dan menggetarkan hati itu. Setelah melakukan amissa puja, saya pun melakukan padakhinna (pradaksina, mengelilingi vihara tiga kali). Udara panas tapi rasanya sejuk di hati.

Di belakang dhammasala terdapat stupa yang menjulang tinggi keemasan. Pradaksina saya lanjutkan, mengelilingi stupa sekarang, sembari mengagumi keindahan arsitekturnya yang unik. Empat buah paseban gaya Cina terdapat di setiap sudutnya. Di selasar bawah, patung para dewata Cina tampak menjaga dengan gagahnya. Di bagian atap paseban, terdapat lukisan dinding berbentuk timbul, menggambarkan (jangan kaget, ya?) kisah See-Yu alias Hsuan-tsang mencari Kitab Suci ke Barat. Di Bogor tentu saja lebih dikenal dengan serial Kera Sakti alias Sun Go Kong!


Masih di bagian bawah stupa, patung-patung dewa Hindu juga turut menjaga dengan garangnya. Patung batu dalam ukuran besar tersebut cukup menggugah pertanyaan : kok bisa-bisanya ada di vihara ya? Kisah Kera Sakti masih bolehlah, sama-sama Agama Buddha meskipun yang satu Theravada dan yang satu Mahayana (contoh bahwa dua-duanya bisa hidup berdampingan, dan engga ribut, lagi!). Tapi para dewa Hindu?

Satu bangunan lagi di belakang stupa, ada paviliun kecil. Berbeda dengan
tempat lainnya yang hening dan sepi, di paviliun ini banyak orang berdiri menunggu giliran dan berbisik-bisik. Di dalam paviliun ada Buddharupang, dan orang ke sana membawa bunga untuk berkonsultasi nasib (semacam ciamsi). Seorang lelaki bertugas meladeni para tamu (dan menerima uang). Saya tidak tahu bagaimana hubungan antara lelaki tersebut dengan pengelola vihara.

Tidak lama saya di sana, bergegas sayapun menyusuri bagian vihara yang
lain. Sekelompok bhikkhu ada di sebuah bangunan yang kelihatannya seperti kantor. Saya pun mendekat memberi hormat, dan bertanya apakah saya boleh berdana sedikit. Mereka tertawa-tawa geli sebab 'no english', kata mereka.
Saya disuruh mengetuk sebuah jendela tertutup, katanya disitu 'sepik inglis bhikkhu' tapi saya takut mengganggu. Maka mereka pun memanggil bhikkhu tersebut. Kulit putih, badan tinggi besar dan bahasa Inggrisnya lancar. Beliau tetap saja menyuruh saya menunggu di depan jendela yang ternyata adalah sebuah loket. Disitu saya ditanya mau menyumbang berapa. Uangnya tidak diterima oleh bhikkhu tersebut sebab bhikkhu tidak pegang uang, tapi harus saya taruh sendiri ke sebuah tempat yang memang sudah ada uang dari penyumbang sebelumnya. Saya mendapat sebuah piagam sebagai bukti tanda terima sumbangan tersebut, sebuah patung Buddha kecil (yang digoyang-goyang dan didengarkan oleh bhikkhu tersebut. Katanya berbunyi
seperti bel. Saya sih engga berani menggoyang-goyang Buddha, ih, takut karmanya ah!
) dan sejumlah medali Buddha. Saya ucapkan terimakasih kepada bhikkhu yang berayah Thai beribu Amerika itu.

Beliau menawarkan apakah saya mau bertemu dengan bhikkhu asal Indonesia. Namun sayang waktu saya mepet, sehingga saya terpaksa pamitan.


21 Sep 2001

Selasa, 06 April 2010

BANGKOK - Buddha Emas terbesar di dunia

Keesokan harinya pagi-pagi kami dijemput. Acara pertama, ke Kuil Buddha
Emas
(Golden Buddha).

Alkisah, pada jaman Sukhothai (lebih dari 700 tahun yang lalu), patung Buddha dari emas (padat) seberat kira-kira 5 ton ini, dibuat dalam mudra menaklukkan Mara. Tingginya sekitar 462cm, diameternya 372cm. Buatannya sangat halus dan indah.

Pada waktu itu sering terjadi peperangan dengan bangsa-bangsa tetangga. Maka demi menghindari dirampoknya harta yang sangat berharga ini, patung dari emas murni tersebut dilapisi sejenis semen. Demikianlah maka patung ini selamat dari jarahan para penyerbu.


Jaman beralih, tahun demi tahun berlalu. Orang-orang tidak ingat lagi di mana patung emas tadi (yang sudah tertutup semen).

Tahun 1931, The East Asiatic Company ingin memperluas daerah operasinya.
Mereka memperoleh ijin untuk menggunakan lahan bekas Wat Chotinaran atau dikenal juga sebagai Wat Phrayakrai yang terletak di distrik Yannawa.
Sebenarnya Wat Chotinaran ini sudah dibangun sejak penguasa ketiga dinasti
Chakri pada jaman Ratanakosin, namun pada saat tersebut sudah mulai
terbengkalai dan keadaannya terlantar.

Maka dipindahkanlah patung utama (dari semen) yang terdapat di vihara
tersebut ke Wat Traimit Witthayaram. Pemimpin vihara, Phra Visutha-thibordee, berupaya membangun gedung yang layak bagi patung (dari semen) yang besar tersebut. Ketika gedungnya siap dan patung sedang dalam proses pemindahan, tiba-tiba terbentur sehingga gugurlah lapisan semennya.
Sungguh terkejut mereka menyadari bahwa setelah lapisan semennya dikelupas
semua, ternyata patung tersebut terbuat dari emas murni belaka.

Demikianlah kisahnya. Ada yang tertarik mau membawanya pulang?

20 Sep 2001

Senin, 05 April 2010

BANGKOK - Here I come!

Setelah sekian lama tidak pernah ke Bangkok, gamang juga rasanya menapakkan kaki di kota ini. Tentu sudah banyak sekali perubahan yang terjadi.

Antrian di imigrasi cukup panjang. Sempat saya tersesat masuk ke bagian
'visa on arrival'. Rupanya saya salah duga. Visa jenis tersebut adalah
dengan bayaran 300 Baht, untuk para warga negara tertentu yang daftarnya
bisa dibaca di pengumuman yang ada. Sedang untuk warga Asean diberi visa
gratis, yang diberikan 'on arrival' juga tapi langsung oleh petugas di
loket pemeriksaan paspor.

Setelah melalui gerbang imigrasi, kejutan kedua menanti. Pesawat mendarat
di terminal 1, tapi bagasi kami rupanya ada di terminal 2. Maka berjalanlah
saya menyusuri lorong penghubung antar kedua terminal tersebut. Lumayan
jauh, tapi tidak melelahkan. Untung mencari bagasi tidak terlalu repot
karena sudah keluar semua. Bukan karena mereka bekerja dengan cepat, tapi
karena antrian di imigrasi tadi yang terlalu panjang dan makan waktu lama.

Kebetulan saya ikut beli tiket yang sudah termasuk tour, sehingga ke luar
dari terminal sudah ada yang menjemput. Hebat juga, seorang Thai yang belum
pernah ke Indonesia tapi sangat lancar berbahasa 'gaul' layaknya anak muda di Jakarta. Di mobil menuju hotel, saya tidak lagi mengenal kota ini. Highway sambung menyambung, seakan begitulah seharusnya sebuah kota dunia.
Buyar sudah gambaran kota Bangkok "jadul" yang memang sudah lama pudar dari ingatan saya. Saya cerna saja Bangkok yang sekarang, yang modern dan yang ada di hadapan mata kini.

Sesama orang Indonesia yang masuk dalam rombongan yang sama (meskipun
sebetulnya berangkat masing-masing dengan tujuan sendiri-sendiri) akhirnya
saling berkenalan. Senang juga, ya, menambah kenalan dan kegembiraan. Namun
satu hal orang-orang Indonesia ini kompak : semua ogah diajak tour ke Taman
Safari
(di Indonesia juga ada!!) dan lebih memilih mengunjungi Erawan Shrine.

Erawan Shrine? Rekan-rekan yang sudah pernah ke Bangkok pasti tahu. Di dekat Hotel Erawan, ada sebuah patung Brahma bermuka empat bertangan banyak.
Itulah patung yang 'manjur'. Begitu bertuah sampai menurut guide lokal
kami, banyak orang Indonesia yang datang ke Bangkok khusus hanya untuk bersembahyang ke patung tersebut. Apalagi orang Jawa Timur, katanya, pasti kenal semua!

Maka malam itu sehabis makan dan nonton 'life show' a la Bangkok, mereka pun menuju Erawan Shrine. He he he ... abis 'bikin dosa, mau cuci dosa', kata mereka. Termasuk seorang ibu yang agaknya Kristen sebab selalu berdoa panjang sebelum makan, tapi ingin mengucapkan terimakasih kepada 'Se Mien Fo' (Buddha muka empat) atas kesembuhan penyakit yang dideritanya. Juga sepasang pengantin baru, pasangan Batak dan Toraja.

Saya mah engga ikutan, ah. Mendingan tidur, ngantuk.

19 Sep 2001 (hehehe, ini memang catatan lama, baru ketemu lagi).

Minggu, 04 April 2010

Tante Aki Cheng Beng di Carrefour

Seorang ibu tua, teman Tante Aki, menuliskan pesan terakhirnya.

Pertama, ia ingin diperabukan setelah meninggal, dan tidak ingin dikebumikan.
Kedua, ia ngin agar abu jenasahnya ditaburkan di Carrefour.

Tante Aki terkejut. Lho, mengapa harus di Carrefour?


Temannya menjelaskan :
"Kalau ditebarkan di laut, paling-paling anak-anak saya hanya datang setahun sekali menjelang Cheng Beng. Tapi kalau di Carrefour, dalam sebulan pasti mereka dua kali datang ke sini!"

Hahaha... bener kan kata ibu teman Tante Aki itu ya?
Selamat Hari CHENG BENG!

Sabtu, 03 April 2010

Kisah Seekor Kelinci (bukan kotbah)

Jimmy pulang ke rumah setelah main basket, seperti biasa setiap hari Jumat bersama teman-temannya. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat si Macan, anjing kesayangannya, sedang menggigit-gigit tubuh seekor kelinci. Jangan-jangan ...

Setelah ia teliti, dugaannya benar! Si Macan menggigit si Manis, kelinci putih kesayang Lusi, anak tetangga yang sedang ditaksir Jimmy. Wah, bisa kiamat kecil nih dunia gua, pikir Jimmy.

Jimmy segera naik motor dan menyingkirkan bangkai kelinci itu jauh-jauh.

Keesokan harinya Jimmy pergi ke toko binatang peliharaan. Ia memilih seekor kelinci yang semirip mungkin dengan si Manis. Sambil bersiul ia diam-diam melepaskan kelinci itu di halaman rumah Lusi.

Minggu pagi. Saat Jimmy masih merem-melek menikmati kopi, antara tidur dan bangun ia dikejutkan suara Lusi berseru-seru:
"Jimmy! Jimmy!"
Wah, Jimmy separuh happy separuh takut akal bulusnya ketahuan, bergegas menemui Lusi:
"Hi Lusi, what's up sweetie?"

Lusi memperlihatkan seekor kelinci yang ada dalam gendongannya :
"Jimmy, tahu nggak? Si Manis kan hari Jumat mati. Aku udah kubur, tapi ternyataka kuburannya ada yang bongkar. Eh, hari Minggu pagi ini dia hidup kembali! Ajaib ya? Cuma kasihan, agak kurus sedikit, dan berubah menjadi jantan..."



Hehehe... Sekali lagi catatan : dilarang mengaitkan cerita khayalan ini dengan kejadian apa pun, ya? Namanya juga cerita khayal... ;-)

Um Meni Pudmi Hem

(dikutip dari buku "Kisah-Kasih SpiritualBagian 14 - Wisnu Prakasa")

Alkisah seorang wanita tua penjual kayu bakar yang tinggal di pinggir sungai kecil. Setiap harinya, wanita tua ini harus menyebrangi sungai untuk dapat menjual kayu bakarnya di pasar. Walaupun sudah puluhan tahun menyebrangi sungai, tetap saja timbul perasaan takut yang luar biasa dihatinya akan derasnya air sungai yang mengalir. Dan setiap kali merasa takut, wanita ini terus melafalkan mantra “Um Meni Pudmi Hem” selama berkali-kali. Setiap kali wanita tua ini melafalkan mantranya, maka air sungai menjadi surut dan tidak berderas kencang lagi. Setelah melihat air sungai menjadi surut, baru rasa takutnya agak berkurang dan wanita tua ini mulai memberanikan diri menyebrangi sungai sambil terus melafalkan mantranya hingga sampai keseberang.

Pada suatu hari, wanita ini mendengar adanya seorang Guru Spiritual yang sangat terkenal dari negeri seberang datang berkunjung di dekat desanya. Wanita tua ini juga tidak menyia-nyiakan kesempatan yang sangat berharga ini. Pagi itu dirinya, tidak menjual kayu bakar di pasar, dirinya memang telah berniat mengunjungi Guru Spiritual yang sangat terkenal itu.

Rupanya keberuntungan ada dipihak sang wanita tua ini, sehingga dirinya dengan mudahnya dapat mencari kediaman sang Guru Spiritual dan ternyata sang Guru Spiritual juga berkenan menerima kedatangannya. Dihadapan sang Guru Spiritual tersebut, Wanita tua ini langsung bersujud memohon berkah dan blessing.

Buddha memberkatimu” kata sang Guru Spiritual.

Um Meni Pudmi Hem… Um Meni Pudmi Hem… Um Meni Pudmi Hem…” wanita tua terus melafalkan mantra sebagai rasa hormat yang tinggi kepada sang Guru, pewaris dan penerus berputarnya Roda Dharma dari Sang Buddha.

Wahai nenek yang terkasih, apa yang dapat saya bantu ” sang Guru Spiritual dengan nada lembut menawarkan bantuannya.

Guru, mohon maaf. Selama ini hidup saya, saya tidak pernah memohon apapun. Tetapi kali ini, saya terpaksa harus memohon bantuan anda. Saya hanya mempunyai satu permohonan saja,” mohon wanita tua ini dengan kepala terus menunduk ketanah.

Nenek, Silahkan menjelaskan permintaan anda.”

Guru, setiap hari saya harus menjual kayu bakar ke pasar, dan setiap hari saya harus menyebrangi sungai. Tetapi……… setiap kali saya ingin menyebrangi sungai, saya selalu merasakan rasa takut yang sangat luar biasa. Saya tidak tahu harus berbuat apa-apa lagi, untuk menghilangkan rasa takut yang luar biasa ini. Saya bisanya hanya melafalkan mantra ‘Um Meni Pudmi Hem’ setiap kali sebelum menyebrang. Tolonglah saya, Guru. Bagaimana menghilangkan rasa takut menyebrangi sungai.” Pinta sang nenek sambil bersujud.

Nenek tua, anda sudah benar sekali caranya. Bila kita dalam kesulitan, maka dengan melafalkan mantra sangat baik sekali untuk menenangkan hati. Oh yah, saya baru saja mendengar anda mengucapkan mantra “Om Mani Padme Hum”. Tetapi sayang sekali, rupanya mantra yang nenek ucapkan sedikit salah. Nenek, anda harus mengucapkan mantra Avalokitsvhara dengan baik dan benar, sehingga dapat benar-benar bermanfaat. Coba nenek ikut saya ‘Om Mani Padme Hum’” jelas sang Guru.

Om Meni Pudmi Hum.” Kata si Nenek dengan perlahan.

Sekali lagi nenek, Om Mani Padme Hum”, sang Guru berkata lagi.

Om Meni Padmi Hum”, kata sang nenek dengan perlahan.

Dengarkan baik-baik, Nek. Om…Ma…ni… Pad…me… Hum…”, sang Guru berkata lagi dengan nada sangat perlahan.

Om… Ma…Ni… Pad…Me… Hum…”, kata sang nenek dengan perlahan.

Bagus… Bagus… ini yang benar ‘Om Mani Padme Hum’. Sekarang nenek harus mengucapkan mantra ini sebanyak 108 kalii dengan benar sebelum menyebrang, pasti rasa takut anda, akan hilang.” Jelas sang Guru.

Om Ma Ni Pad Me Hum, Om Ma Ni Pad Me Hum, Terima kasih… terima kasih… terima kasih. Om Ma Ni Pad Me Hum....” kata sang nenek sambil bersujud kembali.

Sang Nenek lalu pulang kerumah, sambil terus melafalkan mantra “Om Mani Padme Hum” dalam hati, agar dirinya terus dapat mengingatnya. Hingga malam harinya sebelum tidur, sang nenek terus melafalkan berulang-ulang.

Keesokan harinya dengan wajah cerah dan penuh kegembiraan, sang Nenek mulai bersiap diri membawa kayu bakar untuk dijual di pasar. Sambil berjalan ke arah sungai dengan penuh keyakinan akan kehebatan mantra barunya, sang nenek berpikir bahwa dirinya benar-benar sangat beruntung sekali mempunyai karma baik, sehingga dapat bertemu dan mendapatkan ajaran akan melafalkan mantra yang benar dari sang Guru Spiritual yang hebat.

Setiba di dipinggir sungai, sang nenek menurunkan pikulan kayu bakarnya. Kemudian dilihatnya air sungai yang tampak setinggi biasanya dan mengalir cukup deras. Sang nenek kemudian memejam matanya, dan menarik nafas perlahan-lahan. Kemudianh dirinya mulai melafalkan mantra ‘Om Mani Padme Hum… Om Mani Padme Hum…’ berkali-kali.

Setelah melafalkan sebanyak 108 kali, sang nenek merasa senang. Ternyata dirinya benar-benar tidak merasakan rasa takut sedikitpun. Lalu sang nenek mulai membuka mata perlahan-lahan. Dilihatnya air sungai yang mengalir dihadapannya. Ternyata air sungainya tidak surut seperti biasanya, dan arusnya tidak mengecil sedikitpun. Dirinya merasa heran, karena biasanya sehabis membaca mantra, air sungai akan menyurut dan arusnya akan mengecil, sehingga dirinya dapat melihat batu-batu besar di dasar sungai sebagai penuntun jalan menyebrang sungai. Walau rasa takut tidak lagi timbul, tetapi sang nenek kebingungan sekali, karena tidak tahu bagaimana caranya untuk menyebrangi sungai dengan air yang masih belum surut dan arus yang cukup deras.

Lalu sang nenek memutuskan, untuk menutup mata kembali dan malafalkan mantra ‘Om Mani Padme Hum’ hingga 108 kali. Kemudian sang nenek membuka matanya, ternyata air dan arus sungai tetap saja tidak berubah sedikitpun. Dicobanya sekali lagi, membacakan mantra ‘Om Mani Padme Hum’ sebanyak 108 kali. Dan air dan arus sungai tidak berubah juga. Dicobanya lagi membaca mantra dengan perlahan-lahan, agar setiap mantra dapat diucapkan tanpa kesalahan sedikitpun, tetapi tetap saja arus sungai tidak juga surut.

Tidak terasa hari telah siang, dan tampak air sungai semakin deras. Sang nenek yang merasa sangat kebingungan, akhirnya memutuskan untuk tidak jadi ke pasar, melainkan pergi mencari sang Guru Spiritual untuk menceritakan kejadian yang sangat aneh ini.

Beruntunglah sang nenek, ternyata sang Guru Spiritual masih berada di penginapanya seperti kemarin.

Guru, Saya mengalami kejadian yang sangat aneh dan tidak masuk akal. Mohon Guru berkenan memberikan petunjuk lagi?” mohon sang nenek.

Nenek, dengan senang hati saya akan membantu.” Jawab sang Guru dengan lembut.

Guru, tadi pagi ketika ingin menyebrang sungai. Saya terus melafalkan mantra ‘Om Mani Padme Hum’ sesuai dengan petunjuk dari Guru kemarin. Mantra Guru benar-benar sangat luar biasa, dengan mengucapkan ‘Om Mani Padme Hum’, rasa takut saya benar-benar tidak timbul lagi.” Jelas sang nenek.

Bagus sekali, memang terbukti bahwa membaca mantra dengan benar, sangat besar manfaatnya. Lalu kejadian aneh apa yang anda alami, Nek?” tanya sang Guru.

Guru, Mantra dari Guru sangat luar biasa. Sehabis malafalkan mantra ‘Om Mani Padme Hum’, saya tidak merasa takut lagi. Tetapi… tetapi… mengapa air sungainya tidak surut dan arusnya tidak mengecil juga. Bahkan, saya telah mencobanya lebih sepuluh kali berturut-turut melafalkan mantra ‘Om Mani Padme Hum’ sebanyak 108 kali. Sungguh aneh, Air sungainya tetap saja tidak surut-surut, dan arusnya juga tidak berubah sedikitpun.

Nenek..... Lalu bagaimana anda dapat menyeberangi sungai tersebut sebelumnya?” tanya sang Guru.

Guru. Dihari-hari sebelumnya, sehabis saya melafalkan mantra ‘Um Meni Pudmi Hem’, air sungai pasti langsung surut dan arusnya mengecil. Sehingga akan tampak batu-batu yang menjadi patokan saya untuk menyebrang. Tetapi saya merasa takut sekali ketika menyebrang sungai. Terlebih-lebih ditengah sungai, Saya pasti merasakan takut yang sangat luar biasa, karena saya selalu membayangkan jangan-jangan airnya akan langsung meninggi lagi dan arusnya akan menjadi deras kembali, atau bagaimana bila batu yang saya injak ini pecah. Walaupun penuh dengan ketakutan, saya terpaksa menyebrang sambil terus melafalkan mantra. Karena takut yang luar biasa, saya hanya dapat menyeberangi sungai dengan sangat perlahan, tetapi.... selama ini saya masih beruntung, karena air sungainya selalu meninggi dan deras kembali, tepat ketika saya telah sampai diseberang sungai." jelas sang Nenek dengan panjang lebar.

Buddha memberkatimu”, kata sang Guru dengan nada kekaguman.

Saya sangat senang sekali. Ternyata mantra yang Guru ajarakan sangat luar biasa hebatnya, sehingga saya tidak merasa takut lagi. Bila saya tidak merasa takut, tentu saya dapat menyebrang sungai dengan lebih cepat sebelum arus sungai naik kembali. Tetapi... sungguh sangat aneh sekali. Setiap hari selama bertahun-tahun, saya selalu menyeberang sungai. Baru hari ini air sungainya tidak surut sedikitpun. Mohon bantuan Guru lagi...” Mohon sang nenek.

Nenek, Buddha memberkatimu. Saya rasa, lebih baik nenek kembali melafalkan mantra ‘Um Meni Pudmi Hem’. Ini jauh lebih baik bagi nenek. Setidaknya, nenek masih dapat menyebrang sungai.” Kata sang Guru.

Guru???” kata sang nenek singkat, dengan wajah kebingungan.

Jumat, 02 April 2010

Don't worry (you will be busy).

You don't have to worry.
You are either healthy or sick,
If you are healthy, you have nothing to worry about.
If you are sick, you are either going to get better or you die.
If you get better, you have nothing to worry about.
If you die, you will either go to heaven or to hell.
If you go to heaven, you have nothing to worry about.
If you go to hell you will be SO BUSY SAYING HI TO ALL YOUR FRIENDS, and don't have time to worry.





Hi my friend, where are you?
Hehehe...

Kamis, 01 April 2010

Burung Wesak dan Asadha

Tiga buah vihara diserbu burung-burung.

Mula-mula umat merasa senang melihat kehadiran burung-burung tersebut. Tetapi semakin lama semakin terganggu karena burungnya bertambah banyak. Kotorannya sangat menjengkelkan. Kicauannya membuat umat tidak bisa khusuk saat membaca paritta dan sulit konsentrasi saat meditasi. Boro-boro mau mendengarkan kotbah... (engga pake burung aja udah membosankan. Hehehe...)

Para pengurus vihara pertama rapat, dan memutuskan bahwa kalau sudah karmanya begini ya sudah, apa boleh buat. Umat terpaksa harus menerima kehadiran burung-burung apa adanya.

Para pandita di vihara kedua mengatakan bahwa semua mahluk berhak mendapatkan kebahagiaan dan tidak boleh dibunuh. Jadi burung-burung di vihara tersebut bertambah banyak, sebaliknya umat yang datang semakin berkurang.

Pandita di vihara ke tiga lebih cerdik.
Beliau melaksanakan visuddhi tisarana kepada para burung-burung tersebut. Hahaha... sesudah visuddhi, burung-burung itu pergi dan hanya muncul ke vihara kalau ada pesta Wesak dan Asadha!



(hihihi... manusia jangan merasa tersindir ya?)





Catatan:visuddhi = semacam "baptis" dalam agama Kristen