Senin, 30 November 2009

PENJARA KEHIDUPAN (bagian 2)

Temukan di Dalam
Sebenarnya, agar kita bisa benar-benar berhasil, kita tidak dapat mengandalkan buku, teknik atau ajaran yang bermacam-macam. Untuk mendapatkan manfaat yang benar-benar nyata, kita harus belajar dari bendanya sendiri, yaitu penjara yang sebenarnya. Pelajari dukkha itu sendiri, penjara itu sendiri. Jadi sebaiknya kita mencari dan menemukan penjara ini, yang akan kita bicarakan nanti.

Pada titik ini, kita berhadapan dengan dua pilihan: apakah Anda akan belajar dari luar atau dari dalam? Pembedaan ini sangat penting. Sang Buddha mengatakan kita harus belajar dari dalam. Belajar eksternal adalah dari buku, upacara, praktek, dan sebagainya. Semua yang harus kita pelajari telah dijelaskan oleh Tathagata berdasarkan tubuh yang masih hidup. Ini berarti tubuh yang hidup, dengan pikiran yang hidup, bukan tubuh yang mati. Di situlah belajar yang sebenarnya terjadi, jadi belajarlah dari situ. Belajar dari dalam, yang artinya belajar dalam diri Anda selama masih hidup, sebelum Anda mati. Belajar eksternal, belajar dari buku dan semua upacara dan ritual, tidak akan mencapai sesuatu yang berharga. Jadi mari belajar dari dalam. Mohon diingat kata-kata 'belajar dari dalam'.

Latihan samadhi dan vipassana, yaitu mengembangkan perhatian penuh terhadap pernapasan (anapanasati bhavana) seperti yang kita lakukan di sini adalah belajar dari dalam. Untuk mempelajari pelajaran internal ini dibutuhkan cukup banyak kesabaran dan ketahananan, tetapi tidak terlalu banyak. Sebenarnya, bila dibandingkan dengan hal-hal yang dilatih orang lain, seperti olahraga tingkat tinggi, senam dan akrobatik, hal-hal ini lebih sulit daripada berlatih samadhi dan vipassana. Namun demikian, orang tetap memiliki ketahanan dan kegigihan untuk dapat melakukan hal-hal tersebut. Kita hanya cukup memiliki ketahanan yang biasa untuk mampu berlatih samadhi dan vipassana, melalui perhatian penuh terhadap nafas. Beberapa orang tidak tahan dan meninggalkannya begitu saja. Kita telah memiliki ketahanan yang cukup untuk sampai sejauh ini, dan bila kita lanjutkan sedikit lagi, maka kita akan sanggup melakukannya dan mendapatkan hasil yang sesuai. Jadi, mohon gunakan pembelajaran dari dalam ini bagi diri Anda sendiri dan lakukan dengan kesabaran dan ketahanan yang cukup.


Hidup itu Sendiri Adalah Penjara
Penggunaan kiasan akan mempermudah kita untuk memahami permasalahan yang kita bahas, dan kita akan menggunakannya. Hari ini kita akan berbicara mengenai 'penjara.' Penjara pertama yang harus Anda cari dan lihat adalah hidup itu sendiri. Bila Anda melihat kehidupan sebagai penjara, dan melihat penjara sebagai penjara, maka dapat dikatakan bahwa Anda mengetahui dengan baik kebenaran alam. Namun, kebanyakan orang melihat hidup sebagai sesuatu yang menyenangkan, sebagai kesempatan untuk bersenang-senang. Mereka rela hidup demi kenikmatan hidup. Kemudian mereka menjadi tergila-gila dan terpikat pada kehidupan. Karena mereka tergila-gila dan terperdaya oleh kehidupan inilah yang membuat kehidupan itu sendiri menjadi penjara.

Bila kita melihat kehidupan sebagai penjara, maka kita telah melihat upadana dalam kehidupan. Bila kita belum melihat upadana dalam kehidupan maka kita tidak akan melihat kehidupan sebagai penjara dan kita akan puas dengan memikirkan kehidupan ini sebagai surga. Ini dikarenakan banyak hal dalam kehidupan ini yang memuaskan kita, yang mengelabui dan memikat kita. Tetapi di dalam semua hal yang memuaskan, menyenangkan, menarik dan memabukkan itu akan ada upadana juga. Hal itu juga akan menjadi penjara. Seberapa banyak kita mencintai sesuatu, maka sebesar itu pula penjara karena upadana. Ini adalah upadana yang jenisnya positif. Begitu kita membenci atau tidak menyukai sesuatu, maka itu pun berubah menjadi upadana negatif, yang juga merupakan penjara. Tertipu dan disesatkan, baik oleh yang positif maupun negatif, sama-sama merupakan penjara. Dan penjara itu mengubah kehidupan menjadi dukkha.

Selanjutnya, seseorang dapat menyadari bahwa ketika ada upadana dalam kehidupan, maka kehidupan menjadi penjara. Demikian sebaliknya, ketika tidak ada upadana, maka kehidupan bukanlah penjara. Anda dapat melihat ini sekarang, di sini, ada tidaknya upadana dalam hidup Anda? 'Apakah hidup saya adalah penjara atau bukan? Apakah saya hidup dalam penjara upadana atau tidak?' Anda masing-masing harus melihat dengan seksama hati anda dan melihat dengan jelas apakah hidup adalah penjara bagi Anda atau bukan? Apakah Anda memiliki penjara atau tidak? Apakah Anda hidup dalam penjara atau tidak? Bila tidak, mengapa kita datang kemari untuk bermeditasi, mengembangkan pikiran? Intinya, tujuan sebenarnya dari pengembangan mental adalah menghancurkan penjara kita. Apakah Anda belajar dan berpraktek dengan sukses, atau apakah Anda dapat menghancurkan penjara ini atau tidak, adalah hal lain. Namun, arah dan tujuan kita sebenarnya adalah untuk menghancurkan penjara kehidupan.

Pertimbangkan ini dengan seksama, bila kita tidak mengenali upadana, kita terperangkap dalam penjara bahkan tanpa mengenali penjara ini. Kita terperangkap dalam penjara tanpa mengetahui penjaranya. Lebih lagi kita merasa puas dan tergila-gila dengan penjara ini, sama seperti kita tergila-gila dan puas dengan kehidupan. Karena kita tergila-gila dan puas dengan kehidupan, kita terperangkap dalam penjara kehidupan. Apa yang akan kita lakukan sehingga kehidupan tidak menjadi penjara? Pertanyaan ini harus kita jawab dengan sangat hati-hati dan tepat.

Bagaimana cara kita menjalani hidup sehingga kehidupan bukan sebagai penjara. Maksudnya, biasanya atau sejatinya, hidup bukanlah penjara. Kita membuatnya menjadi penjara melalui upadana. Dikarenakan ketidak-tahuan, kebodohan, dan kurangnya pemahaman yang tepat dari kita, kita memiliki upadana dalam kehidupan. Maka hidup adalah penjara, menjadi penjara bagi kita. Dalam bahasa Thai kita memiliki frase yang sederhana dan kritis, 'som nam na man,' yang artinya kira-kira, 'resiko setimpal untuk Anda.' Kehidupan bukanlah penjara atau sejenisnya, tetapi melalui kebodohan kita sendiri, kita membuat upadana dengan ketidaktahuan (avijja) dan kemudian muncullah penjara ini. Yang dapat kita katakan hanya: 'risiko setimpal untuk Anda.'

Bila Anda berhasil dalam praktek anapanasati bhavana (pengembangan mental dengan perhatian penuh terhadap pernafasan), anda akan memahami kehidupan dengan baik. Anda akan mengetahui upadana dengan baik dan anda tidak akan memiliki upadana terhadap 'kehidupan.' Maka penjara ini tidak akan timbul; penjara apapun yang timbul akan terurai dan menghilang. Inilah yang paling berharga, tetapi apakah seseorang mendapatkannya atau tidak adalah masalah lain. Cobalah untuk memahami fakta ini sebagaimana mestinya. Pemahaman ini akan memotivasi anda untuk mempergunakan energi dan kesabaran Anda agar mampu menghancurkan penjara ini.

Salah satu cara untuk mengamatinya adalah dengan mengamati fakta bahwa hidup harus berjalan sesuai dengan hukum alam; atau kita sendiri harus berlaku sesuai dengan hukum alam. Kita harus mencari makan, harus berolahraga, harus beristirahat dan bersantai, harus bekerja untuk mempertahankan dan menyokong hidup kita; kita harus melakukan semua ini dan semua hal lain yang anda ketahui dengan baik. Tidak mungkin untuk tidak melakukannya. Kita dipaksa untuk melakukannya. Ini juga penjara. Fakta bahwa kita harus selalu menyesuaikan dengan hukum alam merupakan penjara juga. Bagaimana kita keluar dari penjara ini?

Mengapa kita terperangkap dalam penjara dimana kita harus hidup sesuai dengan hukum alam? Penjara ini timbul dari upadana menyangkut diri kita, atau menyangkut hidup kita. Ketika ada upadana terhadap diri kita, maka 'saya,' sang Aku lahir. 'Saya' ini cemas, khawatir, dan takut pada tugas alami ini, sehingga semua ini membuatnya menderita. Kesulitan-kesulitan ini timbul dari upadana. Bila kita tidak memiliki upadana yang menyangkut 'saya,' maka tugas-tugas wajib ini bukanlah penjara. Kita akan mampu berburu demi kebutuhan kita, mendapatkan penghidupan, dan berolahraga dan menjaga tubuh, tanpa menjadi menderita, bila kita tidak memiliki upadana terhadap kehidupan. Hal ini sangatlah halus dan mendalam; merupakan misteri bagi kebanyakan orang. Inilah misteri dari kebenaran alam. Bagaimanakah kita hidup sehingga tidak menimbulkan dukkha yang berhubungan dengan fakta bahwa semua hal dalam hidup ini harus dilakukan sesuai dengan hukum alam?

(bersambung... Naluri adalah Penjara)

Neraka dan Kebelet Pipis


Kata Buddhadasa Bhikkhu :

"Neraka sebenarnya oke-oke aja, sampai ada beberapa orang yang sok tahu menyelinap ke surga dan kemudian kembali."

"Hell was OK, until some wise guy went to heaven and came back"



Buddhadasa Bhikkhu makin terkenal dan makin banyak bis penuh pengunjung datang ke viharanya. Beliau mengatakan para pengunjung itu datang seperti mau ke Taman Hiburan saja :
"Kadang saya berpikir bahwa kebanyakan orang cuma mampir ke sini sekedar karena kebelet pipis."
As Buddhadasa Bhikkhu became more famous, busloads of visitors started visiting his monastery. Decrying many who went as if visiting an amusement park, he said,
"Sometimes, I think many of these people just stop here because they have to use the bathroom".

Buddhadasa Bhikkhu

Lahir dengan nama Nguam Panitch di Phumriang, Thailand, 27 Mei 1906. Wafat 25 Mei 1993 dalam usia 86 tahun.
Buddhadasa Bhikkhu sebagai ahli filsafat, memandang semua keyakinan pada prinsipnya tunggal dan menolak identitas keagamaan.

For more on Buddhadasa Bhikkhu please click WIKIPEDIA.

Become fan of Buddhadasa Bhikkhu on Facebook!

Buddhadasa Bhikkhu (Thai: พุทธทาสภิกขุ, May 27, 1906 - May 25, 1993) was an ascetic-philosopher of the 20th century. Known as an innovative reinterpreter of Buddhist doctrine and Thai folk beliefs, Buddhadasa fostered a reformation in conventional religious perceptions in his home country Thailand as well as abroad. While a formalized upasampanna ascetic, or "monk," having at the age of twenty years submitted to mandatory government religious controls, Buddhadasa developed a personal view that rejected specific religious identification and considered all faiths as principally one. His ground breaking thought inspired such persons as French schooled Pridi Phanomyong, leader of Siam's 1932 revolution, and a group of Thai social activists and artists of the 1960s and 70s.

PENJARA KEHIDUPAN (bagian 1)

Hari ini kita akan membicarakan sesuatu yang disebut 'penjara'. Hal ini akan membantu kita memahami dengan lebih baik apa yang disebut 'kehidupan', sehingga kita dapat memahami Dhamma dengan lebih baik, yang akan membantu kita hidup tanpa dukkha (ketidakpuasan, sakit, kesengsaraan, penderitaan). Oleh karena itu pada hari ini kita akan membicarakan 'penjara'. Tolong persiapkan pikiran Anda untuk mendengarkan dengan seksama.

Bilamana kondisi dan tanda-tanda dari penjara timbul, di situ terdapat dukkha. Anda harus mengamati bahwa semua bentuk dan jenis dukkha memiliki karakteristik penjara di dalamnya. Karakteristik dukkha adalah memerangkap, memenjara, membelenggu, dan membuat kita mengalami kesulitan serta ketidak-nyamanan. Bila Anda mampu memahami hal ini, maka Anda akan dapat dengan lebih jelas memahami arti dari apa yang kita sebut 'upadana'. Kapanpun ada upadana, di situ ada penjara. Upadana dengan sendirinya menimbulkan kondisi keterpenjaraan.

Kapanpun ada upadana, di situ ada belenggu. Belenggu ini bisa bersifat positif maupun negatif, namun keduanya sama-sama membelenggu. Belenggu timbul karena kita menganggap dan melekat pada sesuatu sebagai 'saya' atau 'milik saya'. Ketika kita terbelenggu oleh sesuatu, kita terjebak di dalamnya, sama seperti terjebak di dalam penjara.

Semua prinsip Dhamma dalam ajaran agama Buddha dapat diringkas sebagai perihal upadana. Upadana adalah sebab dukkha, dukkha lahir dari upadana. Kita harus memahami upadana dengan baik. Untuk membuatnya mudah dipahami, kita perlu melihatnya dengan jelas sebagai penjara. Upadana adalah penjara mental, penjara spiritual. Kita mempelajari Dhamma serta mengembangkan samadhi (kestabilan dan ketenangan mental) dan vipassana (pengetahuan-terang) untuk menghancurkan upadana. Dengan kata lain, kita belajar Dhamma dan mengembangkan pikiran untuk menghancurkan penjara yang memerangkap kita.

Kita membicarakan penjara mental atau penjara spritual, namun maknanya serupa dengan penjara nyata. Penjara mental ini mirip dengan penjara fisik yang memenjara banyak orang di banyak tempat. Tetapi sekarang ini kita membicarakan penjara spiritual murni. Penjara ini sedikit aneh, atau luar biasa, karena kita tidak dapat melihat hakikatnya dengan mata daging. Bahkan yang lebih luar biasa lagi, orang-orang dengan sukarela masuk dalam penjara ini. Orang-orang malah merasa senang untuk berada di penjara spritual ini dan terkunci di dalamnya. Ini adalah aspek penjara spritual yang amat aneh.


Kebebasan adalah Keselamatan dari Penjara
Anda harus mengingat kata 'keselamatan' atau 'kebebasan' yang digunakan dalam semua agama. Tujuan akhir semua agama adalah keselamatan, atau kemerdekaan, atau istilah apapun yang cocok dalam setiap bahasa. Tetapi semua kata-kata ini memiliki makna yang sama: terselamatkan. Semua agama mengajarkan keselamatan. Jadi, sebenarnya kita diselamatkan dari apa? Kita selamat dari penjara spiritual. Yang Anda semua inginkan dan butuhkan, bahkan pada saat ini, adalah 'kebebasan' atau 'kemerdekaan,' yang arti sebenarnya hanyalah keluar dari penjara. Baik penjara fisik / material maupun penjara mental / spritual, memiliki makna yang sama. Pada dasarnya, kita menginginkan kebebasan.

Mereka yang kurang bijaksana hanya dapat melihat dan takut pada penjara fisik /material. Tetapi mereka yang memiliki kebijaksanaan (panna) untuk melihat lebih dalam, dapat mengetahui betapa lebih menakutkan dan berbahayanya penjara spiritual. Sungguh, kita dapat melihat bahwa hanya sedikit orang yang terpenjara dalam penjara biasa, sementara semua orang di dunia terperangkap dalam penjara spiritual. Contohnya, Anda semua yang duduk di sini bebas dari penjara biasa, tetapi Anda semua terpenjara dalam penjara spiritual. Yang mendorong kita untuk tertarik pada Dhamma, untuk datang dan belajar Dhamma, untuk berlatih pengembangan mental, adalah tekanan dan paksaan akibat terperangkap dalam penjara spiritual. Tidak jadi soal Anda menyadarinya atau tidak, tetapi hal ini terus memaksa Anda, apapun yang terjadi, untuk berjuang dan mencari jalan untuk keluar dari keterpenjaraan spiritual. Singkat kata, Anda semua dipaksa, sadar maupun tidak, untuk mencari kebebasan spiritual. Sehingga Anda datang kemari maupun ke tempat-tempat lain.

Walaupun kita terpenjara hanya oleh satu hal, yaitu upadana saja, namun penjara ini mempunyai bentuk yang beraneka macam. Ada banyak sekali corak dan jenis penjara. Bila kita meluangkan waktu untuk mempelajari setiap jenis penjara, maka kita dapat memahami gejala ini dengan lebih baik. Kemudian kita akan memahami upadana dengan lebih baik, dan kita juga akan lebih memahami tanha (nafsu-keinginan) dan kilesa (kekotoran mental), yang menurut ajaran Buddhis menyebabkan dukkha. Kita akan memahami persoalan dukkha bila kita juga memahami persoalan penjara dengan jelas dan menyeluruh.

Saya menyarankan Anda untuk menggunakan kata 'upadana' daripada 'kemelekatan' atau terjemahan lain karena kata-kata lain ini sering disalah-artikan. Mungkin saat ini Anda belum dapat memahami sepenuhnya, namun cobalah untuk menggunakan kata upadana untuk membiasakan mulut, pikiran, dan perasaan Anda terhadapnya. Kita harus memahami bahwa inti ajaran agama Buddha adalah untuk menghilangkan upadana. Inti ajaran agama Buddha adalah perihal menyingkirkan atau memotong upadana. Sehingga tidak ada lagi penjara, dan tidak ada lagi dukkha.

Anda harus menggunakan kata-kata kemelekatan, pemegangan, dan pelengketan, kemudian digabung untuk mendapatkan makna 'upadana'. Akan lebih baik bila kita menggunakan kata upadana karena maknanya yang lebih luas dan memungkinkan kita untuk melihat persoalan ini dengan lebih mendalam dan menyeluruh


Intisari Tunggal Agama Buddha
Upadana hanyalah sebuah kata yang sederhana namun merupakan hal yang terpenting. Jantung agama Buddha hanyalah untuk mencabut atau memotong upadana. Sehingga dukkha lenyap. Harap dipahami bahwa inilah jantung agama Buddha yang dapat ditemukan di setiap sekte dan aliran. Agama Buddha Theravada, Mahayana, Zen, Tibet, dan agama Buddha macam apapun yang Anda sukai, berbeda hanya dalam nama atau upacara dan latihan eksternal. Tetapi di dalam, semuanya sama: pemotongan upadana.

Jangan sedih, kecewa atau cemas. Jangan menyulitkan diri sendiri karena tidak dapat mempelajari semua aliran agama Buddha. Jangan khawatir bila Anda tidak dapat belajar agama Buddha di Tibet, Sri Lanka, Birma, Cina, atau di tempat lain. Anda hanya akan membuang-buang waktu saja. Hanya ada intisari tunggal atau jantung dari semuanya, yaitu untuk melenyapkan upadana. Label Theravada, Mahayana, Zen, Tibet, dan Cina hanya mencerminkan kulit luar dari apa yang tampaknya seperti jenis-jenis agama Buddha yang berbeda. Perbedaan, bila ada, hanyalah pada permukaan, hanyalah pada sekumpulan upacara dan tata-cara. Inti sebenarnya, jantung dari semua agama Buddha adalah sama di mana-mana: pencabutan dan pemotongan upadana. Jadi pelajarilah hanya satu ini. Jangan membuang waktu dengan bersedih atau berpikir bahwa Anda tidak dapat mempelajari semua jenis agama Buddha. Pelajari hanya satu hal ini, pemotongan upadana, dan itu sudah cukup.

Bila Anda ingin mengetahui agama Buddha Mahayana seperti seorang ahli, maka Anda harus pergi dan belajar bahasa Sanskerta. Anda bisa menghabiskan seumur hidup untuk mempelajari Sanskerta dan tetap tidak memahami apapun. Atau bila Anda ingin memahami Zen dengan baik, Anda harus belajar bahasa Cina. Menghabiskan seumur hidup Anda mempelajari bahasa Cina dan pada akhirnya Anda tetap tidak memahami Zen. Untuk mengetahui Vajrayana, agama Buddha Tibet, Anda harus mempelajari bahasa Tibet. Anda bisa menghabiskan seumur hidup Anda mempelajari hanya bahasanya dan tetap tidak memahami apapun. Anda belum sampai pada jantung agama Buddha. Semuanya hanyalah bentuk-bentuk luar yang timbul sebagai perkembangan baru. Pahami jantungnya dan pelajari hanya satu hal ini: pemotongan upadana. Baru kemudian Anda memahami intisari agama Buddha, baik labelnya Mahayana, Theravada, Zen, atau Vajrayana. Baik dari Cina, Jepang, Korea, atau tempat lainnya, semuanya terletak pada satu tempat: pemotongan upadana.

Bahkan dalam satu aliran agama Buddha Theravada ada berbagai macam bentuk. Ada berbagai macam cara pengolahan mental. Ada jenis meditasi dari Birma yang mengamati naik dan turunnya perut. Ada pula yang berlandaskan mantra 'Samma Araham' dan 'Buddho, Buddho,' dan banyak hal lainnya. Tetapi bila benar, jantung dari semuanya selalu berada di tempat yang sama: kebutuhan untuk melenyapkan upadana. Bila cara itu tidak sampai pada pelenyapan upadana, maka cara itu bukanlah cara yang benar, dan juga tidak ada gunanya. Mengapa kita tidak tertarik pada masalah pemotongan upadana, atau, bila kita menggunakan kiasan, mengapa kita tidak tertarik untuk menghancurkan penjara. Oleh karena itu alangkah baiknya bila kita membicarakan penjara ini.

(bersambung.... TEMUKAN DI DALAM)

Minggu, 29 November 2009

Burung (bukan CACING!) dan Kotoran kesayangannya

Ada seekor burung kecil yang tidak mau ikut beserta kawan-kawannya pindah ke Selatan untuk menghindari musim dingin.

Apa boleh buat. Kawan-kawannya sudah menasehati, tapi burung kecil itu tetap bergeming. Maka ia pun ditinggalkan oleh kawan-kawannya.

Cuaca mulai bertambah dingin. Ketika semakin dingin, burung kecil itu baru sadar dan ingin pindah ke Selatan juga. Sayang ia telambat. Saat terbang, sayapnya terkena jatuhan salju dan mulai membeku. Ia pun jatuh ke tanah.

Menggigil kedinginan, burung kecil itu mengira ia akan segera mati.

Namun tiba-tiba seekor kerbau melintas. Kerbau itu mengeluarkan kotoran, dan pas jatuh mengenai badan burung kecil. Kotoran yang hangat itu menyelimuti tubuh burung. Senang sekali burung kecil itu. Ia berpikir bahwa akhirnya akan bisa selamat dan hidup. Saking senangnya ia mulai bersiul.

Seekor kucing melintas juga. Mendengar siulan burung, tak ayal ia segera mengorek kotoran kerbau dan memangsa burung kecil itu!
Ada tiga hal yang bisa kita pelajari dari dongeng ini :

1. Tidak setiap orang yang memberaki Anda adalah musuh Anda.

2. Tidak semua orang yang membebaskan Anda dari kotoran adalah teman Anda.

3. Kalau Anda sedang menikmati kenyamanan kotoran Anda, jangan buka mulut!


Wkwkwkwkwk....!

Sabtu, 28 November 2009

Joko dan Jono

Joko dan Jono sedang asyik ngobrol.

Tiba2 ada seekor nyamuk terbang mengelilingi mereka.

Joko dengan hati-hati menangkap nyamuk tersebut dengan tangannya, lalu membawa keluar jendela, dan melepaskannya.
Jono: "Gitu aja kok repot? Untuk hal sepele seperti itu mah bunuh aja langsung dong!".
Joko: "Astaga, untuk hal sepele itu, kok tega ya melakukan pembunuhan?"

BEBAN KARMA ~ Wiku Sadayana

Suatu ketika, wihara tempat tinggal Wiku Sadayana mendapat kunjungan Danaviriya. Sebagai upasaka yang saleh, Danaviriya sering berkunjung ke wihara-wihara untuk berdoa dan bermeditasi, selain berdiskusi Dharma dengan para wiku. Pada setiap kunjungan, biasanya Upasaka Danaviriya selalu membawa oleh-oleh bagi para wiku, selain memberikan dana bagi kebutuhan para anggota Sangha.

Dalam kehidupan sehari-hari Upasaka Danaviriya dikenal sebagai pedagang yang ulet dan tekun, sehingga menjadi kaya raya. Sawah ladang yang dimilikinya luas, begitu pula ternak peliharaannya beratus-ratus. Diapun memiliki berbagai kedai yang menjual bermacam macam barang. Dengan demikian banyak pula orang yang bekerja pada Upasaka Danaviriya.

Sebagai penengah dari 9 bersaudara, Danaviriya memilik 4 saudara laki-laki dan 4 saudari perempuan. Berkat kekayaan yang dimiliki Danaviriya, semua saudaranya dapat hidup dengan nyaman tanpa perlu bekerja keras. Setiap minggu mereka datang ke rumah Danaviriya untuk mengambil kebutuhan sehari-hari, dan kadang kadang meminta bantuan sedikit uang untuk keperluan kehidupan mereka. Kebahagiaan Danaviriya pun lengkap karena kedua orang tuanya masih hidup. Demikian pula kedua mertuanya. Suami-istri Danaviriya dapat melaksanakan bakti penghormatan dan merawat kepada orang tua mereka.

Namun kedatangan Danaviriya ke wihara kali ini tidak seperti biasanya yang selalu gembira. Kali ini ia tampak murung dan sedih.

Sebagai wiku yang arif, Wiku Sadayana diam saja, sampai suasana agak sepi,

Danaviriya mengeluh kepada Wiku Sadayana: "Oh Bhante, betapa berat karma yang saya pikul. Saya menghidupi ke 8 saudara saya yang lain dan ke 2 pasang orang tua kami. Namun tiada sedikitpun terimakasih yang mereka ucapkan. Pada saat ini, karena musim kering yang berkepanjangan, hasil panen gagal dan banyak ternak yang mati. Banyak pula pekerja yang sakit yang perlu diberi obat. Sedangkan saudara-saudaraku tidak ada yang mau membantu. Mereka bermalas-malasan tidak mau bekerja. Bahkan mereka tidak hanya meminta tetapi juga menuntut. Jika aku memberi sedikit, mereka mengadu kepada orang tuaku. Sehingga aku dipanggil untuk ditegur, dianggap sebagai saudara yang tidak mau membantu. Demikian berat rasanya beban karma yang kutanggung dalam kehidupan ini. Walaupun aku tahu bahwa ini merupakan bagian karmaku yang harus kubayar, namun rasanya sikap para saudaraku sangat keterlaluan. Aku sungguh-sungguh tidak beruntung."

Mendengar keluhan ini Wiku Sadayana termenung sejenak. Lalu beliau berkata :
"Jika anda mengerti bahwa dalam kehidupan ini anda diberi kesempatan untuk membayar karma buruk anda, itu sangat baik.
Namun memberi bantuan yang sifatnya memanjakan saudara-saudara anda, sehingga mereka bersenang-senang dengan uang anda tanpa perlu bekerja, bukanlah suatu perbuatan yang bijaksana. Adalah kewajiban anda pula untuk membimbing mereka untuk bertanggung jawab bagi kehidupan mereka dan keluarganya.
Jika mereka kelaparan, anda wajib memberinya makan. Jika kedinginan anda perlu memberinya pakaian dan perlindungan terhadap cuaca dingin. Namun pemberian
yang berlebihan sehingga mereka bisa bersenang-senang dan melupakan kewajibannya, bukanlah cara melunasi hutang karma yang bijaksana.
Sangat sulit mengubah kebiasaan orang yang tidak biasa bekerja agar mereka mau bekerja. Namun pada saat ini semua orang mengalami kesulitan. Maka merupakan saat yang tepat untuk membuat mereka mulai bekerja. Perlu tekad yang kuat agar anda dapat memaksa mereka untuk bekerja.
"

"Oh, terima kasih bhante. Saya gembira sekali mendapatkan penjelasan seperti ini. Namun bagaimana dengan kedua orang tua saya yang menegur saya karena tidak mau membantu mereka?"

"Mengenai kedua orang tua anda, coba pertimbangkan. Jika anda punya 2 orang anak saja, yang satu berkelimpahan dan kaya raya, sedangkan yang satu lagi karena tertipu menjadi jatuh miskin, sedangkan anda sebagai orang tua yang tidak bekerja lagi, tidak mempunyai harta untuk diberikan kepada anak anda yang miskin; menurut anda apa yang akan anda lakukan?"

"Saya akan meminta kepada anak yang kaya untuk meminjami uang kepada yang miskin agar dapat berusaha lagi"

"Nah, artinya sama saja dengan orang tua anda sekarang, yang meminta anda untuk membantu saudara-saudara anda yang sedang kesulitan. Memang demikianlah sifat orang tua, mereka mengasihi semua anak-anaknya. Bahkan seorang ibu yang sudah berusia 90 tahun, tetap mengkhawatirkan putranya yang masih belum pulang pada saat larut malam, padahal putranya sudah berusia 70 tahun."

"Bhante, saya mengerti saya sedang melunasi hutang karma saya. Namun rasanya beban ini berat sekali. Saya sangat tidak beruntung pada kehidupan ini"

"Upasaka, itu tergantung dari sisi mana anda memandang, coba pikirkan, seandainya anda yang seperti salah satu saudara anda, yang menggantungkan hidup anda kepada belas kasihan orang lain, dibicarakan oleh orang lain sebagai orang yang malas dan tidak bertanggung jawab, apakah anda lebih beruntung pada kondisi kehidupan seperti itu? Bukankah sekarang anda yang beruntung memiliki karma baik sehingga bisa membantu saudara-saudara anda?"

Setelah termangu-mangu sejenak, Danaviriya tersenyum dan berkata:
"Benar Bhante, aku sangat beruntung dalam kehidupan ini"

Dhyanaloka, Juli 98

Jumat, 27 November 2009

KAMBING YANG MENYELAMATKAN PANDITA

Dulu sekali, ada seorang pandita yang amat termasyur. Suatu hari ia memutuskan bahwa sudah tiba saat yang tepat untuk melakukan pengorbanan kambing. Ia menganggap bahwa itu merupakan persembahan yang diinginkan oleh dewa.

Pertama-tama ia memilih kambing yang cocok. Lalu ia menyuruh pembantunya agar memandikan kambing tersebut di sungai.
Di tepi sungai, entah bagaimana tiba-tiba kambing tersebut merasa bahwa hari ini ia akan mati. Ia teringat akan kehidupannya yang lampau, kematiannya dan kelahirannya kembali. Ia juga menyadari bahwa akibat dari perbuatan buruknya dimasa lampau akan masak. Hal tersebut membuat kambing itu tertawa, bunyi aneh karena kambing tidak biasa tertawa.

Di saat ia tertawa-tawa, ia juga teringat pada kenyataan lain. Ia sadar bahwa si pandita karena mengorbankan kambing, akan mengalami derita mengerikan yang sama pada akhirnya, karena kebodohannya. Melihat kenyataan ini ia lalu menangis dengan kerasnya, sama kerasnya ketika ia tertawa.

Pelayan yang sedang mandi di sungai, sangat terperanjat mendengar suara tawa dan tangis kambing.
"Kenapa kamu tertawa tawa-tawa keras lalu menangis dengan keras juga? Kenapa begitu?" tanyanya.
"Akan kuberitahu," jawab kambing, "Tapi sebaiknya di hadapan majikanmu."

Penasaran ingin tahu sebabnya, segera ia membawa kambing korban tersebut ke majikannya. Ia ceritakan semua yang terjadi. Pandita juga ingin segera mengetahuinya. Dengan sopan ia meminta si kambing untuk menjelaskan:
"Tuan kambing, kenapa engkau tertawa lalu menangis?"

Kambing menjawab:
"Jauh di masa lalu, aku juga seorang pandita yang mahir dalam upacara-upacara. Seperti dirimu, aku menganggap bahwa mengorbankan kambing adalah persembahan yang wajib untuk dewa. Kurban yang akan membawa kebaikan. Baik untuk aku sendiri maupun untuk keluargaku pada hidupku yang akan datang. Namun nyatanya selama 499 kali kelahiranku kemudian, aku mengalami penderitaan dipotong kepalaku."

"Saat disiapkan sebagai korban hari ini, aku sadar akan kehilangan kepalaku sekali lagi, untuk yang ke 500 kalinya. Selanjutnya, setelah hari ini, aku akhirnya terbebas dari karma buruk perbuatan buruk yang telah ku lakukan jauh dimasa lampau. Kegembiraan ini membuat aku kegirangan.
Lalu tiba-tiba aku menyadari bahwa engkau, sebagai pandita, baru saja akan memulai perbuatan buruk yang sama, yang telah saya lakukan, dan akan bernasib mengalami akibat sama kepalamu akan dipotong dalam 500 kali kelahiranmu yang akan datang! Jadi, karena rasa kasihan dan prihatin kepadamu, tawaku berubah menjadi tangisan.
"

Mendengar perkataan itu pandita buru-buru berkata: "Baiklah, tuan kambing, jika ternyata demikian, aku tak akan membunuhmu."
"Pandita Mulia, meskipun dirimu tidak membunuhku, aku tahu sudah pasti aku tetap saja akan kehilangan kepalaku hari ini, dan pada akhirnya tebebas dari karma burukku," jawab si kambing.

"Jangan cemas kambingku. Aku akan memberimu perlindungan yang sangat baik. Aku jamin tak ada yang akan menyakitimu," kata pandita.
"Oh pandita, perlindunganmu tak ada gunanya dibandingkan kekuatan karma."

Demikianlah pandita tersebut membatalkan upacara korban. Ia mulai mempertanyakan pembunuhan binatang yang tanpa dosa. Ia membebaskan si kambing. Bersama pelayannya, ia mengikuti kambing tersebut dari dekat untuk melindunginya dari bahaya apapun.

Namun demikian, kambing memang telah sampai pada akhir masa hidupnya. Kambing itu berkeliaran di daerah berbatu. Melihat beberapa daun hijau di cabang ia berusaha meraihnya. Tiba-tiba ada petir menyambar batu yang miring, dan hempasan pecahan tajam runtuh, langsung memotong kepala kambing tersebut! Ia mati seketika.

Mendengar kejadian yang menakjubkan ini, ratusan penduduk sekitar mendatangi tempat tersebut. Tak seorangpun yang mengetahui bagaimana ini bisa terjadi.


Kinara yang hidup di pohon dekat tempat itu menyaksikan seluruh kejadiannya. Ia memperlihatkan dirinya, mengepakan sayapnya dengan aggun, lalu menceritakan semua ini kepada penduduk yang sangat ingin tahu:

"Lihatlah apa yang terjadi pada kambing malang ini. Inilah akibat dari membunuh binatang! Semua makhluk hidup yang lahir; menderita sakit, usia tua dan mati. Akan tetapi semua ingin hidup dan tidak mau mati.
Ketika seseorang membunuh makhluk hidup lainnya, ini menyebabkan penderitaan bagi yang melakukannya, baik saat ini maupun tak terbilang hidupnya yang akan datang.


"Makhluk hidup tidak mengerti bahwa akibat segala perbuatan, baik atau buruk, adalah tak terhindarkan. Beberapa orang terus membunuh, dan memanen derita pada masa yang akan datang. Setiap kali membunuh, bagian dari dirinya sendiri haruslah juga mati dalam hidup yang saat ini juga. Bukan itu saja, penderitaannya berlanjut hingga lahir di alam neraka!"

Mereka yang mendengar kata-kata kinara tersebut merasa gembira. Mereka menjalankan pola hidup yang lebih baik, dan hidup berbahagia.

(diceritakan ulang berdasarkan tulisan Romo Surya Mahendra)

Rabu, 25 November 2009

Wiku Sadayana - MALU dan TAKUT

Cuaca di padepokan tempat Wiku Sadayana tinggal, sudah mulai berangsur gelap. Hujan rintik disertai kabut pun makin membuat pelita yang dipasang menerangi jalan dalam area padepokan tidak mampu memberikan penerangan yang cukup.

Di Sanggar Pamujan, suara tembang mantra dari para cantrik terdengar bagai dengung lebah, mengalun menembus gemersik batang bambu membuat suasana menjadi terasa tenteram dan hening. Pada saat itulah terdengar detak kaki kuda merencah tanah yang becek tergenang air hujan. Disertai seruan : "Hoooi", detak kaki kuda berhenti di ujung jalan masuk ke Padepokan. Serentak terdengar gonggongan anjing peliharaan yang berlarian menuju gerbang masuk. Citrabala menghentikan pembacaan mantra dan setelah bersujud, lalu merapihkan jubah dan mengencangkan ikat pinggangnya bangkit kemudian berjalan keluar sanggar Pamujan untuk melihat siapa yang datang malam malam begini.

Sambil berjalan, Citrabala berteriak menenangkan gonggongan anjing : "Belang, Hitam ayo diam jangan ribut". Perlahan-lahan suara salak anjing mereda, hanya terdengar geraman si Hitam yang masih curiga dengan tamu yang baru datang.
Di tengah perjalanan menuju gerbang, terdengar teguran : "Kakang Citrabala, ada tamu dari kota".
Ternyata yang berkata adalah Wirasaba, penduduk desa yang tinggal di kaki bukit yang sering datang dan membantu di padepokan. Tamu yang dikatakan dari kota itu kini melangkah maju menatap Citrabala sambil berkata : "Aku Saccawirya ingin bertemu dengan Wiku Sadayana, dan engkau Citrabala? Wah sudah dewasa dan kekar sekali, masih ingat dengan aku Citrabala?"
Setelah mengamati wajah tamunya, yang usianya diperkirakan sudah menjelang senja, dengan wajah bingung dan malu Citrabala menjawab : "Maaf kisanak, aku sudah lupa".
"Haha…ha," tawa Saccawirya menggema: "Pasti sudah tidak ingat lagi, waktu umurmu baru 5 tahun, aku sering menggendongmu, saat kakimu luka karena jatuh, coba perhatikan dibetismu ada bekas luka yang cukup dalam bukan?"

Tanpa sadar Citrabala meraba bekas luka di betisnya.
"Maaf, paman, aku betul betul tidak ingat, mari silahkan ke tempat menginap dulu, dan aku akan tunjukkan jalan ke pancuran untuk mandi. Dan kau Wirasaba, sudah selarut ini, daripada pulang lebih baik menginap sekalian disini, eh sudah dapat ijin dari istrimu untuk tidak pulang malam ini? Jangan jangan engkau akan disambut dengan palang pintu besok".

Dengan senyum lebar, Wirasaba menjawab: "Citrabala, tidak ada masalah kalau aku menginap disini, istriku yang menyuruhku mengantarkan tamu ini dan dia juga menyuruhku menginap disini".
"Kalau begitu engkau menginap di pondok ku saja, tahu kan jalan kesana? Dan setelah mandi, sebaiknya langsung ke sanggar Pamujan, untuk bertemu dengan Guru", ujar Citrabala.


"Terimakasih, dan engkau Citrabala, setelah mengantar ke tempat menginap Saccawirya, kembalilah ke sanggar Pamujan, biar aku yang menjemput tamu ini dan mengantarnya kesana".
"Baik, sampai ketemu di Sanggar Pamujan nanti".

Setelah mengantar tamu, Citrabala balik kembali ke Sanggar Pamujan. Ternyata pembacaan mantra sudah selesai. Tampak Wiku Sadayana sedang berbincang-bincang dengan para cantrik.

Ketika melihat Citrabala memasuki Sanggar Pamujan, Wiku Sadayana bertanya : "Siapa yang datang malam malam begini Citrabala?".
"Tamu itu bernama Saccawirya, guru, aku tidak ingat lagi siapa dia?"

Dengan gembira Wiku Sadayana berkata: "Oo Saccawirya, sudah lama sekali aku tidak bertemu. Di mana dia sekarang?"
"Sedang mandi. Seusai mandi akan kesini diantarkan oleh Wirasaba".

"Baiklah, kita tunggu dia disini, Citrawirya, siapkan tambahan 2 gelas minuman secang untuk tamu kita."

Catatan:
Secang ~ sejenis minuman yang terbuat dari sereh, kayumanis, cengkeh, jahe dan gula merah.


Tidak berapa lama, Wirasaba dan Saccawirya masuk ke Sanggar Pamujan. Setelah memberikan sembah kepada Wiku Sadayana, mereka duduk di tempat yang telah disediakan.

"Saccawirya, sudah lama sekali kita tidak bertemu. Tanpa kita sadari, kita semua sudah bertambah tua. Rambutmu dan rambutku sudah mulai beruban. Bagaimana kabar keluargamu, dan kemana saja selama ini?" tanya Wiku Sadayana sambil menatap ke wajah tamunya yang sudah mulai dihiasi guratan guratan usia.

"Kakang Wiku", jawab Saccawirya, "Kami semua sekarang sehat, kakang. Namun hampir saja menemui ajal ketika ditugaskan untuk menjadi juru catat di tanah seberang, saat ada pemberontakan disana. Untunglah aku sekeluarga diselamatkan oleh penduduk setempat yang sering meminta dibacakan lontar".

"Ayo diminum dulu wedang Secang-nya selagi masih panas," tukas Wiku Sadayana sambil dirinya juga menyeruput wedangnya. Lanjut Wiku Sadayana: "Syukurlah Anda sekeluarga selamat, karma baikmu melindungimu Saccawirya. Setelah kembali ke ibukota, anda ditugaskan di mana?"
"Aku masih menjadi juru tulis, dan sekarang ditugaskan sebagai juru catat pada bagian Adhyaksa, dan tugasku adalah membuat catatan perkara maupun keputusan yang diambil dalam persidangan", sahut Saccawirya.

"Tentunya makin baik kehidupanmu sekarang Saccawirya", kata Wiku Sadayana. "Nah anda datang kesini tiba tiba ada keperluan apakah Saccawirya?"

Sambil merangkapkan tangannya Saccawirya menjawab : "Yang pertama tentunya ingin menemui Kakang Wiku. Juga untuk memohon kesediaan Kakang Wiku beserta beberapa murid disini, untuk berkenan datang ke rumahku saat purnama penuh yang akan datang, karena aku sekeluarga ingin mengadakan acara selamatan 100 hari cucuku sekaligus pembacaan doa pemberkahan untuk rumahku yang di ibukota".

Dengan gembira Wiku Sadayana berkata : "Aku bisa datang ke rumah mu saat itu, Saccawirya, dan selamat atas kelahiran cucumu".

"Terima kasih Kakang Wiku", jawab Saccawirya. "Selain itu juga aku ingin mendengar nasihat nasihat Kakang atas masalah yang aku hadapi sehari-hari".

"Ada masalah apa Saccawirya? Bukankah kehidupanmu makin mapan?" tanya Wiku Sadayana.

"Bukan masalah itu Kakang, tapi aku prihatin dengan perilaku orang orang di Majapahit sekarang ini", jawab Saccawirya.

Dengan tenang Wiku Sadayana menatap Saccawirya, menunggunya melanjutkan pembicaraan.

"Dengan tugasku di bagaian Adhyaksa, mencatat berbagai perkara serta keputusan-keputusan yang telah ditetapkan, kini makin sering aku melihat perkara yang seharusnya dihukum berat, tetapi keputusan yang diberikan adalah sangat ringan. Mereka yang menjadi kaya dengan mencuri atau mengutip uang kerajaan, menjadi sangat kaya dan bisa lolos dengan mudah, meskipun ada dugaan penyuapan tetapi itu sulit dibuktikan, sedangkan Gusti Prabu selalu berdiam diri seperti banyak masalah berat lainnya yang beliau pikirkan. Karena itu makin lama makin banyak penyalah gunaan wewenang, penyelewengan pemakaian uang yang bukan haknya, dan ini meluas tidak saja di punggawa kerajaan, tetapi sudah sampai kepada para pedagang, pekerja bahkan guru yang seharusnya memberi teladan kepada anak anak.

"Kalau begini terus bagaimana kelanjutan kerajaan ini Kakang?" keluh Saccawirya.

Sambil mengurut-urut jenggotnya, Wiku Sadayana termenung memandang dlupak yang apinya berkelap kelip . Akhirnya berkata: "Saccawirya, memang sejak perang Paregreg (Perang Saudara) yang lalu, tatanan laku para pamong praja dan masyarakat sudah menjadi rusak. Jauh menurun dari ketertiban yang pernah digalang oleh mendiang Apatih Gajah Mada, dan Gusti Prabu Hayam Wuruk. Kini mereka sudah tidak takut lagi pada akibat dari perbuatan buruk. Mereka sudah lupa walaupun bisa lolos dari hukum kerajaan, bahwa hukum Karma tetap berlangsung. Dan sudah tidak memiliki rasa malu pada diri sendiri yang melakukan perbuatan yang salah.
Padahal rasa malu inilah yang mencegah kita melakukan perbuatan yang merendahkan martabat diri sendiri.
Mungkin seseorang tidak takut pada hukum kerajaan atau pada akibat perbuatannya: tetapi setiap orang pasti menginginkan putra putrinya untuk bangga kepada ayah –ibu nya, maka itu dikatakan rasa malu untuk melakukan perbuatan yang tercela mampu mencegah seseorang berbuat tidak pantas. Tetapi kalau memang rasa takut dan malu ini sudah tidak ada lagi, semua tatanan menjadi rusak.
"

"Terus bagaimana Kakang?", tanya Saccawirya.

"Saccawirya, yang penting anda berperilaku dengan pedoman pada rasa takut dan malu agar tidak melakukan perbuatan tercela, hidupmu akan tenteram dan tidurmu pun nyenyak. Aku tetap yakin cukup banyak orang yang ingin kerajaan ini kembali tenteram dan tertib, dan mereka ini sebetulnya membutuhkan pedoman untuk berperilaku baik, sedangkan teladan yang baik sangat sedikit. Maka itu mulai dari diri anda sendiri , Saccawirya, jadilah teladan yang baik bagi mereka. Masyarakat membutuhkan teladan yang baik dari pejabat dan punggawa kerajaan. Jika ada pejabat kerajaan yang berperilaku baik, dengan mudah dia akan memimpin rakyatnya".
"Mengenai kerajaan ini, aku tidak tahu Saccawirya, semua yang ada di dunia ini tidak kekal, selalu berubah. Mungkin menjadi makin buruk, tetapi juga mungkin menjadi makin baik. Sebuah kerajaan terdiri dari raja, menteri, panglima dan ponggawa kerajaan lain, serta yang paling banyak adalah rakyat. Jika semuanya menginginkan ketertiban dan ketentraman, dan mau memulainya dari diri sendiri, akan menjadi baik. Jika tidak peduli ya mungkin makin buruk. Hal ini tidak bisa kita yang mengaturnya. Biarlah kita lihat hari depan seperti apa.
Kini sudah sangat larut malam, kita semua perlu istirahat. Ayo kembali ke tempat masing masing,
" kata Wiku Sadayana, sambil bersiap siap untuk bangkit.

"Terima kasih Kakang Wiku, akan aku ingat baik-baik nasehatmu", sahut Saccawirya sambil bangkit dari duduknya.

Dhyanaloka, Nopember 2009

Selasa, 24 November 2009

2012 ~ FILM ATAU FAKTA?

Sebenarnya lebih menarik membicarakan FILM 2012 daripada membicarakan segala gossip seputar apa yang KONON KHABARNYA akan terjadi pada tahun 2012.

Dalam film 2012 ada sedikit kejutan berupa konsep Buddhis yang secara jelas ditampilkan. Seorang rinpoche membabarkan ajaran inti yang terdapat dalam Kalama Sutta kepada muridnya yang bernama Nima. Nima merasa curiga bahwa suatu persekongkolan hebat sedang berlangsung di pegunungan itu.
"Jangan percaya begitu saja terhadap sesuatu, hanya karena engkau telah pernah mendengarnya."

(Nah, bukankah ini juga nasehat yang sangat baik bagi mereka yang sibuk karena mendengar apa yang KATANYA akan terjadi pada tahun 2012!)

Rinpoche itu melanjutkan dengan contoh klasik ajaran Zen dengan mengisi cangkir bhikshu muda itu sampai luber dan berkata :
"Seperti cangkir ini, engkau penuh dengan opibni dan spekulasi. Untuk dapat melihat cahaya kebijaksanaan, yang pertama harus engkau lakukan adalah mengosongkan cangkirmu."
Rinpoche lalu memberikan kunci jip kepada Nima agar ia bisa pergi memeriksa kebenaran dugaannya.

Belakangan Nima melarikan diri ke perahu bersama dengan keluarganya dan sekelompok orang tak dikenal. Ketika didorong untuk mengusir orang-orang asing itu, Nima berkata:
"Aku adalah pengikut dari Lama Rinpoche yang agung. Kalian pasti tahu aku tak mungkin berbuat begitu. Kita semua adalah putra-putri dari Bumi ini."
Bodhicitta, kebersamaan yang dilandasi kasih sayang dan kebijaksanaan untuk membebaskan semua mahluk dari sengsara, adalah hal yang akan membebaskan kita.

Meskipun tidak ada ramalan dalam Ajaran Buddha mengenai sesuatu yang khusus yang akan terjadi pada tahun 2012, ada suatu hal yang sudah nyata dan tidak bisa kita hindarkan.

Kematian adalah pasti, hanya waktunya yang belum tentu. Kita mungkin saja sudah mati bahkan sebelum 2012! Kita malahan bisa saja mati pada hari ini. Kehidupan ini penuh dengan hal-hal tak terduga.


Apakah Anda percaya yang dikatakan orang tentang 2012 ataukah tidak, yang paling masuk akal adalah kita perlu hidup selaras dengan Dhamma ~ SAAT INI.

Sebagai umat Buddha kita yakin akan tumimbal lahir. Jadi 'kiamat' atau 'hancur leburnya dunia' bagi kita adalah sesuatu yang terlalu dibesar-besarkan. Toh dunia itu akan muncul lagi. Toh para mahluk akan hidup lagi. Yang lebih menakutkan adalah apabila kita kehilangan kesempatan ntuk meneruskan kemajuan batin kita.

(Berdasarkan tulisan Shen Shi’an)

Senin, 23 November 2009

Kidung PUNNA THERI

Punna, budak di rumah Anathapindika,
masuk ke Arus Pembebasan
ketika mendengarkan khotbah "Raungan Singa"
yang disampaikan di rumah majikannya.

Suatu hari dia pergi ke sungai
Mengambil air untuk rumah tangga.
Di sana dia bertemu seorang brahmana,
si pembersih-air- suci
yang masuk ke dalam air,
menyanyikan hymne-hymne Veda.

"Brahmana, siapakah yang amat sangat engkau takuti
sehingga melalui bibir-bibir yang bergetar
dan gigi yang gemeletuk
engkau melantunkan mantra di air sedingin es?"


"Punna, betapa anehnya engkau
Tidak engkau tahu bahwa orang bijak manapun - pria atau anak
Dapat membersihkan dosa-dosanya, di air suci ini?"


Punna pun tertawa - "Oh brahmana tolol!
Seandainya dongengmu itu benar,
Yang pertama masuk ke surgamu
adalah para buaya, kepiting dan ikan.
Kemudian diikuti para nelayan,
Pemburu rusa-rusa yang tak-berdaya,
Mereka yang menyiksa babi-babi di tiang -
Yang bersumpah palsu, para pembunuh,
dan pencuri-pencuri kecil

Karena, apakah engkau sudah lupa, brahmana,
Mereka juga mandi di sungai ini?

Lagi pula, Brahmana tolol,
Dengan berendam di dalam sungai
Engkau menyingkirkan baik dosa
maupun kesalehanmu juga,

Dan engkau terserobot dari keduanya.
Sebagai ganti berendam setiap pagi,
mengapa engkau tidak berpikir baru?
Jika engkau telah berdosa, dan engkau percaya
penebusan air membeku ini akan membebaskanmu;
mengapa engkau tidak membebaskan diri
dari dosa saja?"


Brahmana itu akhirnya melihat penalaran.
"Punna, oh bijak," katanya,
"Engkau telah membebaskanku dari ilusi,
Terimalah selendang ini - kekayaanku satu-satunya."


Punna berkata - "Saya tidak membutuhkan selendangmu,
tetapi saya masih akan membantumu.
Jika kesedihan engkau takuti,
janganlah berdosa
dalam tindakan, pemikiran, atau tujuan.
Dengarkanlah Bhagava
dan beliau akan meredakan rasa sakitmu."


"Dengan ini, Punna, dulu saya adalah brahmana melalui kelahiran,
Kini melalui tindakan juga.
Vedaku sekarang adalah Jalan Berunsur-Empat,
Tiga Pengetahuan -
Pandangan-terang masa-lampau,
pandangan-terang masa-kini
Dan berhentinya kelahiran

Saya yang dulu membersihkan diri di air
Kini telah membersihkan diri dari dosa.
Saya telah tersingkir dari kesedihan;
Brahmana Sejati, sekarang saya berdiri,
Akhirnya terbebas dari rasa takut."


Punna si bijak - masih seorang budak
Yang menebus kesalahannya masa-lampau
berbentuk kesombongan,
Anathapindika membebaskan belenggu-belenggunya,
Dan Punna pun terlepas dari ikatan-ikatan duniawi.

KIDUNG PARA THERI
Bahasa Inggris oleh : Usula P. Wejisuriya
Diterjemahkan oleh : Dra. Wena Cintiawati dan Dra. Lanny Anggawati

Wiku Sadayana, MBA

Sekembalinya Wiku Sadayana dari menimba ilmu dan memperdalam Buddha Dharma di negeri jiran, beliau menjadi sangat sibuk, memenuhi undangan ceramah, mengajar, bahkan menjadi ketua pembangunan vihara ini dan itu. Pada suatu ketika, karena terlalu letih, Wiku Sadayana jatuh sakit.

Setelah sembuh dari sakit, Wiku Sadayana berubah perilakunya. Dia ingin agar di belakang namanya ditambahkan gelar MBA.

Para wiku yang lain menjadi heran dan bertanya-tanya. Ada yang menduga Wiku Sadayana ingin melepas jubah dan menjadi eksekutif. Adapula yang mengira Wiku Sadayana akan membuka biro konsultasi manajemen dan forecasting yang kesemuanya tentu akan lebih afdol dengan gelar MBA.

Akhirnya pada suatu hari uposatha, beberapa wiku yang sudah tidak tahan lagi dengan perilaku "menyimpang" dari vinaya yang dilakukan oleh Wiku Sadayana, menanyakan dengan nada menuduh:

"Yang Mulia Wiku, setahu kami kunjungan wiku ke negeri jiran yang dibiayai oleh salah satu umat yang menjadi konglomerat, adalah bertujuan untuk mempelajari Tripitaka dan untuk memperdalam segala makna dan tafsir mengenai Buddha Dharma. Jadi darimanakah gelar MBA itu? Ataukah pada waktu belajar di negeri jiran, wiku sempat mengambil kursus kilat dan memperoleh gelar MBA?"

Mendengar pertanyaan yang bernada menuduh itu, Wiku Sadayana terkekeh-kekeh dan menjawab, "Saudara-saudaraku para wiku, aku tidak mendapat gelar MBA dari negeri jiran. Gelar itu aku sendiri yang menghendaki dipasang di belakang namaku, setelah aku sakit."

Sebelum para wiku sempat bertanya, Wiku Sadayana melanjutkan, "Sewaktu aku sakit, sesuai dengan ajaran Buddha, aku berusaha agar batinku tetap tenang. Tapi dengan kondisi badan yang lemah, aku kadang-kadang jatuh tertidur.
Suatu saat, ketika aku berusaha agar batinku tenang, aku merasa berada dalam suatu vihara yang amat megah dan besar, kulihat ada ratusan wiku berada di situ. Tiba-tiba kudengar namaku dipanggil dan diminta agar maju ke depan mimbar.
Saat itu juga aku mengerti bahwa yang berada di atas mimbar dengan panggung bunga seroja adalah Bodhisattva Maitreya. Beliau menatapku dan bertanya, 'Wiku Sadayana, setelah engkau mempelajari dan memperdalam Buddha Dharma di negeri jiran, engkau kembali ke Bumi Majapahit. Lalu apa yang engkau lakukan di Bumi Majapahit?’"


"O, Yang Maha Sempurna, sekembalinya dari negeri jiran, atas permintaan para sponsor, saya berusaha sekuat tenaga untuk membabarkan Buddha Dharma dengan berceramah, seminar, dan bahkan sempat menjadi ketua pembangunan beberapa vihara yang satu di antaranya akan menjadi pusat studi Buddha Dharma bagi para wiku dan pertapa di Majapahit."

Dengan tersenyum Bodhisattva Maitreya berkata: "Dan karena terlalu letih maka engkau jatuh sakit bukan?"

Kujawab, "Demi Buddha Dharma aku rela bekerja keras."

Bodhisattva Maitreya berkata: "Wiku Sadayana, pengorbananmu untuk pengembangan Buddha Dharma merupakan karma baik yang tak ternilai besarnya. Tetapi mengapa harus engkau yang memberikan ceramah, seminar, dan lain-lain? Bukankah masih ada wiku yang lain?"

Kujawab: "Memang demikian kehendak umat. Dan juga baru hamba sebagai wiku pertama yang telah mempelajari Buddha Dharma di pusat studi negeri jiran. Wiku yang lain di Majapahit tidak mendapat pengajaran dengan cara yang sistematis seperti di negeri jiran. Oleh karena itu aku berniat mendirikan pusat studi yang serupa di Majapahit."

Bodhisattva Maitreya : "O,kiranya itu sebabnya sehingga engkau demikian sibuk. Kalau begitu, menurut perasaanmu tidak ada wiku lain di Bumi Majapahit yang cukup mampu membabarkan Prajna Paramita yang engkau pelajari di negeri jiran?"

Aku menjawab : "Pada saat ini, demikianlah keadaannya."

Bodhisattva Maitreya : "Baiklah jika demikian, tetapi dapatkah Dharma yang sejati atau Kesunyataan diungkapkan dengan kata-kata?
Jika timbul pembedaan antara aku yang mengerti dan mereka yang tidak mengerti, dapatkah Kesunyataan yang tanpa noda akan muncul?
Jika Kesunyataan tidak muncul, bagaimana akan dipahami?
Jika Kesunyataan tidak dipahami, bagaimana Kesadaran Bodhi dapat muncul?
Jika Kesadaran Bodhi tidak muncul, maka tentunya noda akan muncul dan bila noda masih bermunculan, maka Kebebasan Sejati, masih belum tercapai.
"
Wiku Sadayana melanjutkan ceritanya :
Tiba-tiba aku merasa pusing, dan rasanya aku jatuh kebawah dan terbangun.

Setelah terbangun aku merasa malu atas sikapku selama ini, dan karena itu aku pasang tambahan MBA di belakang namaku, untuk mengingatkan bahwa aku harus berusaha lebih keras lagi karena aku M-asih B-elum A-rahat
."

Dhyanaloka, Desember 1992

(diketik ulang oleh Aryo Kurniawan Dharmasurya atas permintaan Dayananda Tatang Gowarman dengan bersumber dari Majalah Manggala edisi Waisak 2543 Mei-Juni 1999, pada Senin, 20 Juli 2009 di Bandung. Semoga semua makhluk hidup dapat merasakan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung).

Senin, 16 November 2009

Kidung SUMANGGALAMATHA THERI

Terperangkap dalam cengkeraman pahit kemiskinan,
dihina, dipukul, direndahkan
ibunda Sumangala ini.
Bagai budak dia bekerja dari pagi sampai malam
Nasibnya jauh lebih buruk dibanding sapi jantan
yang diikat ke bajak tanpa henti.

Suaminya adalah seorang penganyam
keranjang-keranjang rotan, saringan dan kipas.
Dia menghina istrinya : karena si istri tidak bersedia
memenuhi nafsunya.

Si suami memukulinya sampai menyerah.
Dalam batin si istri yang tersiksa
Bergema suara engkit-engkit rotan yang berderit.
Rumahnya adalah penjara yang bau.
Sengatan makanan yang anyir
dan belanga serta panci yang kotor
menghunjam pikirannya yang berkelana.

Katanya pada diri sendiri :
"Aku tidak akan membiarkan diriku tercekik
Oleh pukulan atau bau atau ancaman.
Pasti ada jalan keluar
Dan aku pasti menemukannya."


Maka dia pun mencari Sang Guru
Yang welas asihNya meredakan rasa sakitnya,
Dan atas perintah beliau, dikenakannya jubah kain kafan
pada tubuhnya yang rapuh dan tua.

Pembebasan pun datang padanya
Dalam suatu kilatan pemikiran yang meyakinkan;
Melalui semua penderitaannya dia melihat
Penyebabnya, kemunculannya, kelenyapannya,
Maka dia mendendangkan Kidung pembebasan ini.

"Terbebas aku dari suami,
Terbebas dari alu dan lesung pula,
Terbebas dari bau rumah yang basi
Dan deraan suara
engkit- engkit- engkit- engkit
Tidak akan menyiksaku lagi.

Terbebas juga aku
Dari nafsu keinginan, nafsu jasmani dan keserakahan.
Aku tidak lagi menyimpan kekotoran batin
Yang dikembang-biakkan kelana samsara.

Alih-alih, bagaikan perahu dihembus angin sepoi
yang lembut
Aku berlayar pada Aliran Pembebasan.
Aku telah terbebas."


KIDUNG PARA THERI
Bahasa Inggris oleh : Usula P. Wejisuriya
Diterjemahkan oleh : Dra. Wena Cintiawati dan Dra. Lanny Anggawati

Minggu, 15 November 2009

ALIRAN ~ Wiku Sadayana

Ditulis oleh D Tatang Gowarman, 24 Oktober 2001

Wiku Sadayana sedang mengisi tempayan besar dengan air untuk mandi, ketika dikagetkan oleh Citramatra muridnya yang baru kembali dari ibukota kerajaan.
Citramatra mendesak ingin bercerita kepada gurunya mengenai keadaan di ibukota. Setelah membasuh kaki dan tangannya, mereka duduk di bawah pohon yang rindang.
Wiku Sadayana bertanya : "Muridku apa yang membuat engkau menjadi tegang dan gelisah seperti ini? Ceritakan padaku apa yang kau lihat di ibukota."

Citramatra menjawab : "Oh guru, setelah aku membeli minyak
untuk keperluan vihara, aku berjalan pulang. Dalam perjalanan itu aku melihat sekumpulan orang yang sedang menyaksikan orang berdebat. Mereka berkata-kata dengan keras, dan karena banyak kalimat-kalimat mengenai Guru Agung kita, maka aku tertarik dan mendekat serta ingin mendengarkan lebih jelas. Mereka berdebat dengan suara keras menyatakan apa yang diyakininya yang benar. Yang satu mengatakan bodhisattva belum sesuci arahat. Yang satunya lagi mengatakan sama sucinya, tetapi memilih menunda untuk membantu yang lain, dan arahat adalah mahluk suci yang egois. Masih banyak lagi kata-kata lain yang berdasarkan pendirian mereka masing-masing. Aku jadi pusing dan bingung guru, apakah Guru Buddha memberikan pelajaran yang berbeda-beda sehingga menimbulkan hal seperti ini. Dan kalau aku mengingat apa yang dilakukan guru sehari-hari, aku lebih bingung lagi, yang mana yang guru ikuti?
"

Wiku Sadayana dengan santai menjawab : "Citramatra, Guru Buddha memberikan pelajaran kepada berbagai muridnya memang berbeda-beda sesuai dengan taraf kemampuan batin muridnya. Tetapi semuanya mempunyai tujuan yang sama yaitu kebebasan dari lingkaran tumimbal lahir. Biarkan saja mereka berdebat sampai puas.
Yang penting adalah engkau sendiri perlu memperhatikan dengan sepenuhnya apa yang kau pikir, kau katakan dan kau kerjakan. Inilah langkah awal menuju kebebasan.

Nah, mengenai aku mengikuti yang mana, aku sendiri tidak peduli. Aku hanya tahu kebebasan itu betul-betul bebas dari konsep 'aku yang benar'.

Kalau ada yang mengatakan aku ikut aliran ini atau itu bagiku itu tidak penting.

Air Kali Brantas dan Kali Porong kalau sudah sampai di laut rasanya akan asin juga dan menjadi satu tanpa bisa dibedakan asalnya dari aliran sungai yang mana.
"

Citramatra termangu-mangu mendengar jawaban Wiku Sadayana.

Melihat itu Wiku Sadayana berdiri sambil mengetuk kepala
Citramatra :
"Sudah jangan bingung! Ayo bantu aku mengambil air dari sumur. Adikmu Sunyacitra sedang sakit sehingga tidak bisa mengisi air.
Tanpa air kita tidak bisa mandi membersihkan badan
".

Selasa, 10 November 2009

ZIARAH BUDDHA - Hanya $1,725.- all in!!

11~21 Januari 2010
Segera daftar!


Tour ini MURAH, khusus untuk yang berjiwa muda.
Hotel yang digunakan sederhana (bintang 2 atau 3), dan satu kali menggunakan kereta api malam. Jadi hendaknya tidak mengeluh.

Hari 01 : JAKARTA - DELHI
Berkumpul di bandara Sukarno-Hatta untuk selanjut berangkat dengan pesawat malam hari menuju Delhi, ibukota India.

Hari 02 : DELHI - SRAVASTI
Tiba di Delhi subuh, langsung diantar ke stasiun untuk naik kereta api Shatabdi Express menuju Lucknow. Setelah makan siang, dengan bis ke Sravasti. Makan malam dan menginap di Sravasti.

Hari 03 : SRAVASTI - LUMBINI
Perjalanan ziarah kita awali dengan berbakti di TAMAN JETA (Jetavana), KAMAR BUDDHA (Gandha-kuti) dan POHON BODHI ANANDA. Langsung melintasi perbatasan menuju negara Nepal. Apabila keadaan mengijinkan, kita akan singgah di Stupa Kapilavastu yang pernah digunakan untuk menyimpan sebagian relik Buddha. Menginap di Lumbini.

Hari 04 : LUMBINI - KUSINARA
Pagi hari ini kita kunjungi TAMAN LUMBINI untuk memperingati kelahiran Pangeran Siddhartha, Bodhisattva calon Buddha. Setelah itu kita kembali memasuki negara India. Menginap di Kusinara.

Hari 05 : KUSINARA - RAJGIR
Kita akan berbakti di MAHA-PARINIRVANA STUPA (tempat Buddha wafat) dan RAMABHAR STUPA (tempat kremasi sisa jasmani Buddha). Apabila keadaan mengijinkan, kita akan singgah di Vaishali. Menginap di Rajgir.

Hari 06 : RAJGIR - BODHGAYA
Banyak tempat di Rajgir, antara lain GRIDHAKUTA (Puncak Burung Nasar), VENUVANA (Hutan Bambu) dan bekas UNIVERSITAS NALANDA. Menginap di Bodhgaya.

Hari 07 : BODHGAYA
Hari ini kita khususkan untuk berbakti di MAHABODHI MAHAVIHARA (Tempat Buddha mencapai Pencerahan di bawah Pohon Bodhi). Juga ke SUJATA TEMPLE, PATUNG BUDHA BESAR dan vihara-vihara lain di sekitar Bodhgaya. Untuk lebih memberi kesempatan bagi Anda yang ingin berbakti / bermeditasi di tempat suci ini, malam ini kita masih menginap di Bodhgaya.

Hari 08 : BODHGAYA - VARANASI
Kita akhiri perjalanan ziarah kita di TAMAN RUSA ISIPATANA (tempat Buddha membabarkan kotbah Dharma pertama kali di bulan Asadha). Menginap di Varanasi.

Hari 09 : VARANASI - AGRA
Pagi hari acara unik : menyaksikan matahari terbit sambil naik perahu di SUNGAI GANGGA. Setelah berbelanja oleh-oleh, malam hari kita akan naik kereta api menuju Agra.

Hari 10 : AGRA - DELHI
Pagi hari tibalah kita di Agra. Setelah beristirahat, kita saksikan TAJ MAHAL, salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia. Menginap di Delhi.

Hari 11 : DELHI - JAKARTA
Kita tinggalkan India menuju Indonesia. Sore hari ini, tibalah kita di kembali di tanah air dengan penuh kenangan indah dan keyakinan yang lebih teguh akan Buddha Dharma Sangha.


Biaya : US$1,725.-/orang (seribu tujuh ratus dua puluh lima dollar Amerika)


Biaya sudah termasuk :
  • Biaya penerbangan Jakarta-Delhi pp kelas ekonomi
  • Visa India dan visa Nepal
  • Transportasi dan karcis masuk sesuai acara
  • Hotel bintang dua/bintang tiga atau setara, sekamar berdua atau bertiga
  • Makan tiga kali sehari, vegetarian dapat disediakan
  • Tip untuk pemandu wisata setempat


Biaya belum termasuk :
  • Airport tax Jakarta
  • Fiskal sesuai ketentuan pemerintah
  • Biaya fotografi/makan/minum/cuci pakaian dan lain-lain yang bersifat pribadi
  • Biaya lain-lain yang tidak disebutkan dalam ketentuan di atas

Pendaftaran : 0818-02-ANANDA (atau 0818-02-262632)

Email : anandaindonesia@yahoo.com

Senin, 09 November 2009

Kidung THERIKA THERI

Therika si gemuk - demikianlah dia dikenal,
tinggal di Wisala, putri keluarga Kshatriya.
Walaupun dinikahkan, jauh di lubuk hatinya tersembunyi
niat untuk meninggalkan dunia;
demikianlah rencananya di samsara

Namun himpitan tugas-tugas harian rumah-tangga
yang tiada-henti
Memasak, menyapu, menggosok, membersihkan,
Membelenggunya dengan pasti bagaikan
gajah-gajah besar yang terjelembab menimpa kaki
yang terbelenggu.

Suatu hari dia menaruh kari daun ke atas api,
dan mengamatinya berdesis dan merepet
sampai airnya mengering, dan kemudian ...
Lihatlah! Kari daun itu menjadi tenang, diam, selesai.

"Therika", katanya pada diri sendiri,
"Ambillah pelajaran dari belangamu:
Bila engkau terbebas dari kekotoran batin
Bagaikan air di dalam pancimu
Engkaupun terbebas.
Pergilah engkau sekarang dan carilah Jalan itu,
Temukan Jalan mereka yang terbebas."


Dan dengan restu suaminya
dia menyembah di kaki Sang Guru.
Beliau berkata padanya :
"Kenakan jubah kain kafan - dan carilah sendiri,
Engkau telah menemukan Jalannya.
Sekarang melangkahlah pada Jalan itu, Therika,
Engkau akan terbebas."



KIDUNG PARA THERI
Bahasa Inggris oleh : Usula P. Wejisuriya
Diterjemahkan oleh : Dra. Wena Cintiawati dan Dra. Lanny Anggawati

Minggu, 08 November 2009

GURU SEJATI ~ Wiku Sadayana

Ditulis oleh D Tatang Gowarman, 3 Desember 2006


Disuatu senja, padepokan Wiku Sadayana yang biasanya sunyi menjadi riuh oleh teriakan para cantrik : "Guru sudah pulang!"
"Wiku Sadayana sudah kembali ke padepokan!"
Bahkan ada yang menangis karena gembira.

Memang telah beberapa tahun Wiku Sadayana berkelana ke seluruh pelosok negeri dan meninggalkan padepokan tempat tinggalnya. Sebagai akibatnya, penghuni padepokan seperti kehilangan gairah kehidupan. Walaupun ritual upacara dan pembacaan ayat ayat suci tetap dilangsungkan, semua aturan yang diajarkan oleh wiku tetap dilaksanakan dengan baik, tetapi, suasana riang gembira seperti saat Wiku Sadayana masih di padepokan menjadi sangat berkurang bahkan cenderung ke arah muram dan murung.

Citramatra sebagai murid kepala dengan gembira menyambut : "Wah guru, kami betul betul kehilangan, aku bingung sekali mengurus padepokan ini, dan kami kuatir atas keselamatan guru yang berkelana disaat negeri ini sedang mengalami pergolakan, banyak bencana alam, huru hara di desa dan dikota, aduuuh guru..." ucap Citramatra sambil bernamaskara diikuti oleh para cantrik yang lain.

Wiku Sadayana yang tampak jauh lebih tua beberapa tahun, sambil tersenyum berkata: "Sudah, sudah, semuanya kembali ke tugas masing masing, aku perlu istirahat dulu setelah perjalanan yang cukup jauh. Nanti malam, setelah upacara, kita kumpul untuk berbincang-bincang. Mana Citrabala, ayo antarkan aku ke tempat aku bisa istirahat."
Dengan sigap Citrabala menjawab : "Mari guru, aku antarkan. Apakah perlu air hangat untuk merendam kaki guru yang letih?"
Wiku Sadayana menjawab : "Ah, Citrabala, engkau masih ingat ya kalau kaki ku letih, aku senang merendamnya di air hangat. Boleh, boleh engkau sediakan untukku".

Seiring dengan berlalunya Wiku Sadayana untuk beristirahat, para cantrik kembali meneruskan kegiatannya masing masing.

Malamnya, di ruang pasamuan yang diterangi puluhan dlupak -­pelita kecil berbahan minyak kelapa- suasana yang biasanya sunyi menjadi meriah, para cantrik yang telah mandi dan segar, bercakap-cakap sambil menunggu Wiku Sadayana muncul.

Tidak berapa lama, Wiku Sadayana dengan senyumnya, masuk ke ruang pasamuan dan duduk ditempat yang telah disediakan. Dan kemudian, serentak para cantrik bernamaskara lalu kembali duduk.

Sejenak hening, lalu Wiku Sadayana berkata : "Aku kembali kesini, dan kulihat kalian semua sudah bertambah matang. Citrabala, engkau sekarang lebih pendiam, tapi mana otot otor kekarmu yang biasa kau tunjukkan saat roda gerobak terperosok di jalan? Pekerjaan fisik yang biasa kau lakukan sekarang sudah berkurang? Citramatra, kau kelihatan tegang dan lelah. Goresan usia tua diraut mukamu, menunjukkan kau banyak pikiran dan mungkin akibat banyak kemarahan yang kau lontarkan."

Riuh rendah suara para cantrik yang menukas: "Benar guru. Citrabala lebih banyak merenung daripada bekerja di ladang..."
Ada lagi yg berkata: "Guru, hampir setiap hari Citramatra marah-marah kepada salah satu dari kami". Dan lain lain.

Citramatra yang menjadi sasaran paling banyak, berkata : "Guru, bagaimana aku tidak marah marah, setelah guru pergi, mereka menjadi malas. Buddharupang yang harus di bersihkan setiap sebelum uposattha tidak dibersihkan. Harus aku yang membersihkan. Giliran mengisi air di tempat penampungan air tidak berjalan dengan baik. Yang bertugas menyapu halaman, bekerja sembarangan, masih banyak sampah yang tertinggal. Bahkan pernah kita kehabisan beras, karena lengah tidak memperhatikan persediaan, untung masih ada jagung yang bisa direbus untuk makan..," demikian Citramatra mengadu.

Dengan terkekeh-kekeh Wiku Sadayana berkata : "Citramatra, mengurus padepokan memang tidak mudah, tapi aku lihat engkau berhasil memimpin padepokan ini. Buktinya semua saudara-saudaramu masih ada, ladang jagung masih terurus, dan pohon mangga yang kita tanam dulu kini sudah berbuah lebat sekali".
Satu di antara cantrik berkata: "Tapi semua itu guru, dengan pengorbanan kami diomeli dan dimarahi oleh Citramatra".
Dengan kesal Citramatra menukas : "Aku yang ditugaskan oleh guru, untuk sementara mengurus padepokan ini...,"

Belum selesai, Wiku Sadayana sudah menengahi: "Baik, baik, sudah cukup jangan diteruskan. Citramatra marah karena kalian tidak melakukan kewajiban yang harus dilakukan. Saat aku tinggalkan, kalian menjadi santai dan tidak melakukan kewajiban yang seharusnya, benar bukan? Sikap seperti ini tidak baik, sebagai murid Guru Buddha, ada atau tidak ada orang lain kita perlu bertindak dan melakukan hal hal yang baik dan perlu dilakukan."

"Benar Guru, mereka tidak patuh pada aturan dan menyebabkan aku menegur mereka bahkan memarahi mereka, tetapi aku tidak berteriak-teriak marah, seperti pengurus padepokan di kabupaten tetangga kita, yang kalau sudah marah, lebih mirip pedagang pasar daripada pengurus padepokan."

Sambil tertawa Wiku Sadayana berkata: "Citramatra, jangan menjadikan perilaku yang tidak baik sebagai tolok ukur. Lalu juga jangan sibuk mengurusi kelakukan orang lain. Dan yang terpenting jangan melemparkan tanggung jawabmu ke orang lain. Jika ada hal hal yang bisa membuat marah, setiap orang memiliki kesempatan untuk memilih reaksi yang akan dilakukan: bisa marah, bisa senyum, atau apa saja. Aku tahu engkau berniat melakukan kewajiban dengan baik dan sempurna. Karena temanmu tidak melakukannya, engkau menjadi marah".

Setelah berhenti sejenak, Wiku Sadayana melanjutkan: "Sudahlah, harap kalian semua memahami. Sikap apa yang kurang baik dan perlu diperbaiki, perbaikilah".

Serentak para cantrik menjawab : "Baik guru."

"Nah begitu, sekarang aku mau cerita, mengenai Guru Sejati yang bisa melatih kita untuk lebih sabar", kata Wiku Sadayana.

Citrabala menukas : "Bukankah guru selalu sabar? Aku tidak pernah melihat guru marah selama ini."


Dengan tersenyum Wiku Sadayana berkata : "Aku belum sehebat itu. Memang aku tidak sampai melontarkan kata kata amarah, tetapi reaksi marah masih muncul dalam diriku, kalau melihat atau mendengar hal hal yang keterlaluan."

Sambil menatap ke semua yang hadir : "Apakah kalian lupa, wejangan dari Guru Buddha dalam Dhammapada? Kesabaran adalah cara melatih diri yang paling baik.
Mengatakan S-A-B-A-R memang mudah, tetapi pelaksanaan sehari-hari tidaklah mudah, sampai kita menemui GURU SEJATI kita yang mengajarkan kesabaran
."

Citramatra berkata : "Siapakah Guru Sejati itu guru? Bisakah kita datang ketempatnya untuk mendengarkan ajaran-ajarannya?"

Dengan tertawa Wiku Sadayana berkata: "Guru sejati adalah guru yang tidak minta dibayar sebagai guru, tidak menuntut dihormati sebagai guru, bahkan tidak merasa sebagai guru."

Para cantrik saling berpandangan dengan bingung, akhirnya Citramatra bertanya: "Dimana kita bisa menemukan guru seperti itu?"

Wiku Sadayana berkata : "Kita semua sudah sering bertemu dengan beliau. Tapi saat itu mungkin kita tidak tahu bahwa dia adalah Guru Sejati yang mengajarkan kita Kesabaran."

Dengan makin bingung Citramatra bertanya: "Apakah beliau sering kesini guru? Kenapa kami tidak pernah melihat beliau?"

"Sangat sering, terutama saat engkau akan marah, dia berada didekatmu. Seperti aku katakan, Guru Sejati yang mengajarkan Kesabaran, tidak pernah minta dihormati sebagai guru, bahkan tidak pernah merasa sebagai guru, mungkin dia sendiri juga tidak tahu kalau dia adalah Guru Sejati bagi kita."
Lanjut Wiku Sadayana : "Guru Sejati berada di mana-mana. Dia bisa berupa teman kita yang sangat menjengkelkan yang membuat kita marah. Bagi seorang suami, mungkin itu adalah istrinya yang membuatnya marah. Bagi seorang istri, mungkin itu adalah suaminya yang membuatnya marah, atau anaknya yang menjengkelkan. Bagi pengusaha, barangkali karyawannya yang membuat kesalahan yang sama berulang- ulang.
Kalau saat itu disadari, 'inilah GURU SEJATI yang mengajarkan kita Kesabaran', maka kita tidak akan menjadi marah. Saat itulah kita belajar SABAR. Memang, ada hal-hal yang perlu dibicarakan, diselesaikan atau diperbaiki, tetapi kita tidak melakukannya dengan perasaan amarah.
"


Ruang pasamuan menjadi sunyi, saat para cantrik mencoba mencerna kata-kata Wiku Sadayana.

Akhirnya Citramatra berkata : "Benar, guru. GURU SEJATI yang mengajarkan kesabaran pada kita, ada di mana-mana".

Jumat, 06 November 2009

93 Dollar Club at Facebook

Bayangkan ini : tanggal 11 Agustus Jenni Ware yang sedang berbelanja bahan makanan di Trader Joe's sebanyak 207 dollar, sangat kaget dan baru menyadari dompetnya hilang saat di depan kasir.

For ENGLISH please see 93 DOLLAR CLUB

Carolee Hazard, seorang wanita lain yang sedang antri untuk membayar di belakang Jenni, secara spontan mengeluarkan katu kreditnya, dan membayarkan belanjaan Jenni.

Setelah pulang, Jenni mengirim cek sebesar $300. Ia mengucapkan terimakasih, dan berharap Carolee yang dermawan bisa menggunakan kelebihan $93 untuk apa saja, mungkin untuk terapi pijat yang menyegarkan di spa?

Namun Carolee ternyata bertanya kepada rekan-rekannya lewat Facebook, apa yang sebaiknya ia lakukan denga hadiah 93 dollar itu. Berdasarkan saran teman-temannya, Carolee memilih untuk menyumbangkan uang itu kepada badan amal yang menyediakan makanan untuk kaum miskin. Bukan itu saja! Carolee ternyata tidak hanya mengirim 93 dollar kelebihan dana itu kepada Second Harvest Food Bank, ia sendiri malah menambahkan juga sumbangan pribadi senilai yang sama. Demikian juga seorang sahabatnya di Facebook. Dan seorang lagi, dan seorang lagi. Bahkan kanak-kanak pun menyumbang 93 sen.

Demikianlah cerita ini semakin berkembang di Facebook, dan semakin banyak orang-orang yang menyumbang seihlas mereka.

Sampai saat ini, lebih dari $10.000,- telah mengalir dari Iran, Israel, Spanyol, Portugal, Turkey, Republik Czech, Australia, Hungaria, Sri Lanka dan negara-negara lain untuk memberi makan kaum miskin melalui badan sosial tersebut.

Carolee memulai “93 Dollar Club” di Facebook. Orang-orang dari seluruh dunia dengan mudah bisa membaca kisahnya dan memberi komentar tentang fenomena karma yang baik ini. Halaman itu juga mencantumkan link supaya orang bisa menyumbang kepada badan sosial yang terdekat dengan mereka.
Carolee berkata : "Sungguh tidak disangka bahwa kegiatan ini bisa sedemikian berkembang dan betapa antusiasnya para penyumbang."

Carolee dan Jenni tentu sekarang bukan orang asing lagi. Mereka sudah berteman di Facebook dan mereka bahkan sudah memiliki hubungan yang nyata yang akan mereka pelihara sampai akhir hayat. Jenni masih ingat bahwa "ia sedang sangat tidak bersemangat" di toko makanan pada hari itu. Uluran tangan Carolee menyadarkannya bahwa masih banyak orang-orang yang baik hati.

Berbaik hati kepada orang yang tak dikenal sudah biasa bagi Carolee. Kadang ia membayarkan karcis tol untuk mobil di belakangnya, sekedar untuk menikmati kejutan gembira dari kaca spionnya.

This is the LINK for 93 DOLLAR CLUB @ Facebook