Senin, 31 Mei 2010

POHON BODHI BUKANLAH POHON

Sesepuh ke lima, Hongren meminta semua muridnya untuk menuliskan pengalaman Dharma masing-masing. Tulisan terbaik akan berhak menjadi pewarisnya. Semua murid berpendapat bahwa sebagai murid tertua, pastilah Shenciu yang akan mewarisinya.

Di sebuah tembok Shenciu menulis,
"Tubuh adalah pohon Bodhi
Pikiran adalah tempat cermin bersih berkilau.
Usaplah setiap hari dengan penuh perhatian, tanpa henti,
agar tetap bersih dari debu duniawi
"

Semua murid terpesona dengan gatha ini.
Namun setelah membacanya, Sesepuh Hongren mengatakan bahwa gatha ini belum mencerminkan pencerahan.

Huineng adalah seorang murid yang berasal dari keluarga miskin dan buta huruf. Ia tinggal di vihara dengan tugas sebagai tukang giling gandum di dapur, karena ia yang buta huruf dianggap bodoh. Huineng meminta seorang temannya untuk membantunya menulis sementara ia mendiktekan:

"Pada hakikatnya tidak ada pohon pencerahan.
Tidak juga ada cermin bersih kemilau dan tempat berdirinya.
Karena sejak semula semuanya kosong,
di mana pula debu bisa melekat?"


Murid-murid yang berada di sana tercengang.
Sesepuh Hongren sadar bahwa Huineng-lah yang kelak akan meneruskan garis kepemimpinan. Namun khawatir bahwa hal ini dapat menimbulkan rasa iri dan benci di antara murid, Hongren pun berkata, "Ini juga belum mencerminkan keinsafan sejati, Hapus!!"

Murid-murid pun bubar. Huineng meneruskan kerjanya di dapur. Dengan diam-diam Hongren masuk ke dapur dan tanpa sepatah kata pun, memukul kuali tiga kali.

Malam itu Huineng datang menghadap Hongren tepat jam 3 pagi. Jubah dan patra tanda kepemimpinan pun diwariskan oleh Hongren kepada Huineng.

(Terimakasih kepada bung Suman Sutra yang telah memberi ilham untuk notes ini. Dan TERUTAMA kepada "semua para HUINENG"yang telah sudi menulis di dinding aki.)

Kamis, 27 Mei 2010

PESAN WAISAK 2554/2010 Sangha Theravada Indonesia

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa

Natthi ragasamo aggi, Natthi dosasamo kali
Natthi khandhasama dukkha, Natthi santiparam sukham


Tidak ada api sepanas nafsu, Tidak ada kejahatan yang menyamai kebencian
Tidak ada penderitaan yang menyamai proses kelangsungan hidup,
Tidak ada kebahagiaan melebihi kedamaian sejati.
(Dhammapada, 202)


Kelahiran, Pencapaian Pencerahan Spiritual, dan Pencapaian Parinibbana (Mangkat Sempurna) Buddha Gotama merupakan tiga peristiwa suci (Trisuci) yang diperingati pada Hari Raya Waisak. Peristiwa pertama saat Kelahiran Siddhartha Gotama, putra mahkota kerajaan Kapilavasthu, di India Utara, pada hari purnama di bulan Waisak tahun 623 SM. Sedangkan peristiwa kedua adalah Pencapaian Pencerahan Spiritual Siddhartha Gotama menjadi Buddha yang terjadi pada hari purnama di bulan Waisak tahun 588 SM. Kemudian selama 45 tahun Buddha membabarkan ajaran Kebenaran Dhamma kepada masyarakat luas. Akhirnya peristiwa ketiga terjadi ketika Buddha Gotama mangkat sempurna mencapai Parinibbana dalam usia 80 tahun pada hari purnama di bulan Waisak tahun 543 SM.

Kehadiran Buddha di dunia ini membuka pandangan masyarakat luas terhadap keberadaan Kebenaran Dhamma yang berlaku secara universal. Melenyapkan ketidaktahuan dan memunculkan pengetahuan terhadap fenomena hidup. Perubahan yang terjadi pada setiap sendi kehidupan merupakan salah satu fenomena hidup. Kebijaksanaan menuntun manusia untuk menerima kenyataan kebenaran serta menyikapi dengan tepat kebenaran itu. Menggunakan perubahan sebagai kondisi dan peluang kesempatan untuk merubah hidup kearah harapan hidup lebih baik. Perubahan terjadi dalam segala sesuatu yang berkondisi, orang yang menyikapi hal itu dengan bijak, maka ia tidak akan mengalami penderitaan, inilah pandangan mulia yang menuju kepada pencerahan spiritual (Dhammapada, 277).

Dengan Kedamaian Membangun Kebahagiaan Sejati, demikian tema Peringatan Hari Raya Waisak 2554/2010 yang diangkat oleh Sangha Theravada Indonesia. Kedamaian dan pertikaian merupakan dua hal yang saling berlawanan dalam hidup kita. Pada umumnya pertikaian sangat mudah terjadi karena terdapatnya perbedaan yang dimaknai sebagai permusuhan. Perbedaan itu ingin ditiadakan karena dipandang mengancam kelangsungan hidup. Memang pada saat manusia masih berpikiran bahwa kelangsungan hidupnya sendiri jauh lebih utama dibandingkan dengan kelangsungan hidup orang lain ataupun makhluk lain, maka pertikaian selalu terjadi. Padahal setiap manusia mempunyai kesempatan untuk hidup di dunia ini saling berdampingan, meskipun terdapat perbedaan tingkat kekayaan, kepandaian, kedudukan. Kedamaian perlu diupayakan terjadi sebagai perwujudan dari penerimaan perbedaan yang dimaknai sebagai persahabatan. Tentu persahabatan yang benar adalah persahabatan yang tumbuh bertumpu pada kode etik, norma moral, dan nilai spiritual luhur, bukan persahabatan yang merupakan persekongkolan kejahatan ataupun kecurangan. Persahabatan yang diajarkan oleh Buddha hendaknya berpegang teguh pada sikap malu berbuat buruk (Hiri) dan takut terhadap akibat perbuatan buruk (Ottappa). Sebagian besar orang tidak mengetahui bahwa dalam pertikaian mereka dapat binasa, tetapi mereka yang menyadari kebenaran itu akan segera mengakhiri semua pertikaian (Dhammapada, 6).

Suasana damai bukan saja terdapat dalam relasi antar sesama manusia, tetapi kedamaian juga perlu dimiliki dalam diri pribadi manusia itu sendiri, serta dalam relasi antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Pertikaian dalam diri manusia akan menimbulkan kecemasan, kekawatiran, ketakutan, bahkan ada manusia yang tidak mampu menghadapi pertikaian dalam dirinya dengan cara mengakhiri hidup sendiri. Pertikaian antar sesama manusia akan menimbulkan ketidaknyamanan hidup, permusuhan antar sesama manusia dapat menimbulkan tindakan kekerasan dan peperangan yang saling membinasakan. Pertikaian antara manusia dengan lingkungan hidup akan menimbulkan ketidakharmonisan lingkungan hidup, musibah banjir, tanah longsor, pencemaran lingkungan, bahkan dampak pemanasan global mengancam hidup manusia. Karena itu diantara dua pilihan sikap perilaku, bertikai atau berdamai, tentu berdamai menjadi pilihan yang benar, karena kedamaian dapat dipergunakan sebagai sarana untuk memperoleh kebahagiaan sejati.

Kedamaian dapat terjadi apabila manusia mampu meningkatkan kualitas hidupnya masing-masing untuk menghindari keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin. Keserakahan ibarat api panas yang berkobar dalam kenikmatan dan ketidakpuasan, sedangkan kebencian seringkali merupakan penyebab perilaku jahat. Kegelapan batin membuat manusia tidak memiliki prinsip yang tepat dalam hidupnya.

Nafsu serakah atau tamak tidak akan padam selama manusia belum mampu menyadari bahwa nafsu itu bukannya menyenangkan tetapi menyebabkan manusia terjerat makin kuat dalam ikatan nafsu yang berakibat pada pelupaan ataupun peniadaan keberadaan orang lain ataupun lingkungan hidupnya. Perilaku manusia menjadi arogan bahkan sewenang-wenang terhadap orang lain dan lingkungan hidup. Kehancuran orang lain dan lingkungan hidup tidak dipahami, karena yang diketahui adalah terpuasinya nafsu serakah tersebut.

Kebencian dapat dipadamkan apabila manusia menyadari kebersamaan hidup sebagai keniscayaan untuk saling peduli. Ingatan kebersamaan menjadi dasar bagi pelenyapan kebencian. Karena kebersamaan adalah menghargai keberadaan hidup manusia, meskipun manusia memiliki perbedaan-perbedaan dalam banyak hal, suku bangsa, agama, bahasa, budaya. Keberadaan hidup adalah perihal hidup-mati manusia, berbeda dengan kualitas perilaku hidup yang bisa baik-buruk. Terhadap kualitas perilaku baik tentu kita mendukung, tetapi terhadap kualitas perilaku buruk hendaknya kita menghindari.

Prinsip hidup sering tidak jelas, bahkan prinsip Kebenaran Dhamma sering diabaikan. Kemudian manusia menggunakan prinsip hidup lain seperti mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari kesempatan yang ada tanpa berpegang pada prinsip etik moral spiritual luhur. Kebenaran Dhamma memberi tuntunan bagi manusia untuk memegang teguh prinsip etik moral spiritual luhur. Dampak langsung dari penggunaan prinsip etik moral spiritual itu adalah munculnya ingatan kebersamaan hidup yang merupakan sikap tepat untuk melenyapkan kegelapan batin. Kebersamaan akan menimbulkan pola pikir yang luas, minimal terhadap orang-orang yang ada disekelilingnya ataupun lingkungan hidup sekitarnya. Kepedulian terhadap orang lain dan lingkungan hidup ini merupakan kepekaan pikiran manusia yang bisa dibangun dengan diawali oleh sikap belas kasih terhadap penderitaan dalam kehidupan orang lain dan lingkungan hidup ini.

Selamat Hari Raya Waisak 2554/2010.
Marilah kita mewujudkan kedamaian dalam diri kita masing-masing, di antara kita bersama, dan antara kita dengan lingkungan hidup ini agar kita dapat membangun kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang dicita-citakan oleh masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia tercinta.


Semoga Tuhan Yang Maha Esa, Tiratana, selalu melindungi.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia


Kota Mungkid, 28 Mei 2010
SANGHA THERAVADA INDONESIA

Bhikkhu Jotidhammo, Mahathera
Ketua Umum / Sanghanayaka

Rabu, 26 Mei 2010

RENUNGAN WAISAK 2554 BE / 2010

Namo Sanghyang Adi Buddhaya
Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa
Namo Sarve Bodhisattwaya Mahasattwaya


Purnamasiddhi di bulan Waisak telah tiba, seluruh umat Buddha mengenang dan merenungkan kembali makna spiritual dan semangat yang dikandung dalam tiga peristiwa agung:
Pertama Kelahiran Pangeran Siddhartha Gautama di Lumbini, di sebuah taman yang indah. Beliau adalah Bodhisattva yang turun ke dunia dari surga Tusita untuk menjadi Buddha.

Kedua tercapainya Penerangan Sempurna, Petapa Gautama berhasil merealisasikan Nirwana dan menjadi Samyaksambuddha di Bodhgaya, di bawah pohon Bodhi.

Ketiga parinirwana Buddha Gautama di Kusinara, di antara dua pohon Sala kembar.
Peristiwa agung yang terjadi pada bulan waisak merupakan sebuah rangkaian kehidupan yang penuh dengan totalitas dedikasi dan karya besar bagi kemanusiaan, peradaban, dan alam semesta.

Realisasi spiritualitas keterbangunan nurani Sidharta bukanlah suatu capaian yang berangkat dari ketakutan atau penolakan sepihak terhadap penderitaan pribadi ataupun yang bersifat kebetulan karena sudah dipilih dan ditakdirkan, melainkan berangkat dari observasi langsung terhadap realitas kehidupan diiringi kepedulian terhadap derita semua agregat kehidupan, kemudian diperjuangkan dengan sepenuh hati tanpa kenal lelah.

Memaknai Waisak adalah memaknai Buddha, sebuah kapasitas mental untuk bangkit, mengasihi, peduli dalam memahami dan menghadapi realitas kehidupan, agar menjadi tercerahkan. Kapasitas mental tersebut kita miliki sebagai manusia, baik dalam bentuk benih-benih kecil maupun sudah menjadi tunas- tunas muda yang siap bangkit, tumbuh berkembang menjadi pohon-pohon pencerahan yang menyejukkan. Latihan yang dapat dilakukan untuk membangkitkannya adalah dengan menyiraminya dengan kesadaran, mengetahuinya sebagai sebuah realita bukan gagasan, bukan pendapat, bukan mitos, melainkan kenyataan yang dapat diraih secara terus-menerus tanpa dibatasi oleh waktu, ruang, dan keadaan.

Karakter bijak dan penuh kepedulian terhadap derita makhluk lain merupakan denyut nadi spiritualitas yang sesungguhnya. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dua karakter ini merupakan modal dasar untuk membentuk masyarakat, bangsa dan negara yang maju, harmonis, bermartabat. Kurangnya kepedulian terhadap sesama adalah awal dari tindakan mementingkan diri sendiri, memakmurkan diri sendiri, menyenangkan diri sendiri dengan cara apapun yang pada titik ekstremnya terdemonstrasikan dalam tindakan mencuri, korupsi, menggunakan wewenang secara salah sehingga menyuburkan sikap saling curiga, sikap saling tidak percaya, akhirnya terakumulasi menjadi krisis kepercayaan baik secara personal dan lebih parah pada dimensi institusional sebagai benih-benih keretakan.

Jika latihan spiritual kita semakin dalam, menekankan pada kebijaksanaan dan belas kasih, kita akan berkali-kali berjumpa dengan penderitaan makhluk hidup lain, dan kita akan memiliki kemampuan untuk mengenalinya, menanggapinya, dan merasakan belas kasih mendalam, alih-alih perasaan apatis atau tak berdaya. Ketika merenungkan penderitaan, janganlah jatuh dalam depresi. Ketika merenungkan kebahagiaan, janganlah jatuh dalam kesombongan atau merasa bahwa kita begitu penting.

Mengembangkan kebijaksanaan akan membantu kita untuk menghindari kejenuhan ini. Tetapi ini sulit untuk di generalisir karena keberanian dan ketangguhan masing-masing orang adalah berbeda. Inilah karakteristik yang membuat kita mampu mengenali dan merespon penderitaan orang lain.

Hidup berkesadaran adalah untuk dilakukan sepanjang hari, dalam segala aktivitas. Dengan senantiasa memelihara kesadaran untuk berdiam pada kekinian, maka kita akan memiliki perlindungan yang paling aman dan pasti. Dalam Samyutta Nikaya I : 208, tercatat Buddha Gotama menyatakan bahwa, "Bagi seseorang yang sadar, selalu ada kebaikan; bagi seorang yang sadar, kebahagiaan bertambah; bagi seorang yang sadar, segala hal membaik; walaupun ia belum terbebas dari para musuh. Namun, ia yang baik siang maupun malam mendapatkan kegembiraan dalam ketenteraman, membagi cinta kasih dengan semua yang hidup, ia tidak menemukan permusuhan dengan siapa pun."

Seiring dengan momentum wiasak ini, saya mengajak segenap umat Buddha untuk membantu memberikan kontribusi positif bagi upaya bersama membangkitkan kemajuan bangsa dan negara melalui internalisasi nilai-nilai spiritualitas dasar ke-buddha-an yakni kepedulian (karuna) dan kejernihan atau kebijaksanaan (prajna) dalam bingkai ke-Indonesiaan. Umat Buddha yang ada seyogyanya dapat menjadi bagian dari solusi, bukan justru menambah persoalan bangsa. Pekerjaan besar tersebut tidak lain merupakan wujud dari rasa kebangsaan atau nasionalisme, karena nasionalisme yang sesungguhnya juga mengandung sikap sadar berpijak pada realitas kekinian dalam konteks ruang dan waktu (sati sampajana) dan ditindaklanjuti dengan sikap kepedulian (karuna), sebuah sikap kontribusi.

Marilah kita internalisasikan pesan-pesan waisak yang lebih bermakna dalam kehidupan sehari-hari secara nyata agar terbentuk proses pembangunan karakter berbasis manusia, menjadi manusia utuh dan paripurna agar mampu memberikan kontribusi nyata untuk bangsa dan negara dalam bidang kita masing-masing.

Selamat Hari Waisak 2554 BE, semoga semua makhluk hidup berbahagia.



Mettacittena,
SANGHA AGUNG INDONESIA





Mahathera Nyanasuryanadi
Ketua Umum

Senin, 24 Mei 2010

纸上谈兵 Zhi Shang Tan Bing

Pada jaman Negara-negara berperang, ada seorang jenderal hebat bernama Zhao She. Anaknya bernama Zhao Gua. Sejak muda Zhao Gua sudah gemar membaca buku strategi perang. Dia juga suka berdiskusi tentang strategi dengan ayahnya.

For ENGLISH please see THE WHISPER OF CHINESE WISDOM

Tapi sayangnya, Zhao Gua sering meremehkan perang sebagai suatu hal yang mudah.

Suatu waktu, Negara Qin menyerang Negara Zhao. Sebenarnya Raja Zhao Xiao ingin mengirim Jenderal Lian Po yang sudah banyak pengalaman. Namun akhirnya Raja berpikir Lian Po sudah terlalu tua untuk berperang. Ia lalu memutuskan untuk menggantikan Lian Po dengan Zhao Gua.

Ketika Ibunda Zhao Gua mendengar kabar ini, dia sangat terkejut dan segera menemui Raja Zhao Xiao. Sang ibu memohon dan berkata: "Sekalipun Zhao Gua sering membaca buku perang dan punya pengetahuan luas tentang perang, ia tidak pernah mempraktekkannya dalam perang sesungguhnya. Harap pertimbangkan kembali, Yang Mulia".

Tapi Raja Zhao Xiao tetap mengirim Zhao Gua untuk mengambil alih pasukan Lian Po.

Zhao Gua dengan cepat mengubah strategi Lian Po secara gegabah tanpa mau mendengarkan pendapat orang lain. "Ini sudah sesuai text book!" begitu pikirnya.
Hasilnya pun jelas. Pada malam pertama ia langsung kehilangan 400.000 pasukannya. Ia sendiri kemudian terbunuh terkena panah pada saat melarikan diri.

"纸上谈兵 Zhi Shang Tan Bing " menggambarkan orang-orang yang hanya bisa bicara tapi tidak bisa mempraktekkannya. Walaupun demikian, dia masih "bicara tinggi" tentang skillnya.

Di Indonesia, mungkin lebih dikenal dengan OMDO(Omong doang)

Jumat, 21 Mei 2010

Apakah kita tempayan yang bocor?

Seorang nenek mempunyai dua buah tempayan. Ia memikul tempayan itu di pundaknya. Satu di ujung pikulan sebelah kiri, satu di ujung pikulan sebelah kanan. Setiap pagi, nenek itu pergi ke ke sungai untuk mengambil air.

For ENGLISH please see INTERESTING FACTS...

Karena salah satu tempayan itu bocor, airnya cuma tinggal setengah setiap kali si nenek tiba di rumah. Namun selama dua tahun nenek itu terus saja tiap hari mengambil air dengan dua buah tempayan ini. Tidak pernah mengeluh, meskipun setiap hari ia hanya membawa pulang air sebanyak satu setengah tempayan.

Tempayan yang utuh selalu merasa bangga karena mampu membawa banyak air.

Sebaliknya tempayan yang bocor merasa malu karena cacat. Ia sedih melihat si nenek hanya bisa mendapat setengah dari yang seharusnya ia tampung. Akhirnya setelah dua tahun menyimpan kesedihannya sendiri, ia tak tahan lagi, dan berkata kepada si nenek :
"Nenek yang baik, maafkan saya. Saya sangat malu. Karena saya bocor, setengah tempayan air tercecer di sepanjang jalan. Nenek hanya mendapat setengah tempayan air untuk di rumah. Maafkanlah saya, nek...", kata tempayan itu terbata-bata menahan kesedihan.

Tanpa diduga, nenek itu malah tersenyum.
"Tempayan yang baik, tidakkah kamu melihat bahwa ada bunga-bunga yang indah di sisi jalan yang biasa kamu lalui? Mengapa tidak ada bunga di sisi jalan yang lain? Dari dulu nenek juga sudah tahu bahwa kamu ini tempayan yang bocor. Makanya di sisi jalan yang biasa kamu lalui, nenek tanami pohon bunga. Tiap hari, sambil kita lewat, air bocoran kamu menyirami bunga.

Bunga-bunga yang indah itulah yang nenek gunakan untuk menghias altar di rumah ini. Tanpa kamu, tempayan yang bocor, nenek tidak bisa menyajikan keindahan bunga-bunga di altar
."


Kita masing-masing mempunyai "kebocoran" masing-masing.

Namun "bocor" dan "retak" itulah yang membuat hidup kita menjadi unik dan menarik.
Lihatlah setiap pribadi apa adanya, dan temukan kebaikan mereka.


Buat teman-teman "tempayan yang bocor", Ki Ananda mengucapkan selamat menikmati hari yang indah ini, dan jangan lupa mencium harum bunga di sepanjang tepian jalan Anda.

Kamis, 20 Mei 2010

Mekanika Kuantum & Interpenetrasi Fenomena

Di dalam sebiji gandum, terdapat banyak sekali gandum lainnya.

Sebagai contoh, misalnya saja kita melihat sehelai kemeja. Dapatkah kita melihat awan di dalam sehelai kemeja? Tentu banyak orang yang merasa bingung apabila ditanya masalah ini. Namun kalau kita merenungkan dari mana datangnya kemeja ini, kita akan mendapatkan jawabannya. Kemeja berasal dari pohon kapas yang mendapat sinar matahari dan hujan. Hujan itu sendiri datang dari awan. Setelah kapas yang sudah tumbuh diambil dan ditenun menjadi benang, kemudian benang dirajut menjadi kain, dan selanjutnya menjadi kemeja. Maka jelas kita dapat melihat sinar matahari dan awan serta hujan didalamnya. Ini adalah interpenetrasi fenomena.
Di dalam sebuah fenomena terkandung fenomena lainnya yang berkaitan.


Prinsip interpenetrasi segala fenomena bisa ditemukan di beberapa sutra Buddhis, seperti Avatamsaka, Surangama, dan Vimalakirti-nirdesa.

Avatamsaka-sutra bab 36 :
Di dalam setiap atom tunggal, mereka melihat seluruh alam semesta.


Surangama-sutra bab 2 :
Dengan tubuh dan pikiran sempurna dan terang, Anda adalah mandala yang bergeming, di mana ujung sebuah bulu mampu secara meyeluruh mengandung daratan-daratan dari sepuluh penjuru.


Vimalakirti-nirdesa-sutra bab 6 :
… seorang Bodhisattwa agung yang telah meraih pembebasan yang tak terbayangkan, mampu mengmbil dan meletakkan di atas telapak tangan kanannya satu milyar dunia kecil seperti seorang pembuat tembikar memegang rodanya, melemparkannya jauh melampaui dunia-dunia sebanyak jumlah pasir di Sungai Gangga, kemudian mengambilnya kembali ke tempat semula sedangkan semua makhluk di dalamnya tidak menyadari mereka telah dilemparkan dan dikembalikan tanpa adanya perubahan pada dunia.


Selanjutnya dalam Avatamsaka-sutra banyak tertulis tentang interpenetrasi dimensi ruang, seperti kutipan di bawah ini:

Bodhisattwa mampu melatih perbuatan bajik universal,
Menjelajah tapak jalan sebanyak jumlah partikel atom di kosmos;
Dalam setiap atom tersingkap daratan tak terhingga banyaknya,
Murni dan besar seperti angkasa.

Mereka memanifestasikan kekuatan mistik seluas angkasa raya
Dan pergi ke Boddhimanda di mana bersemayam para Buddha;
Di atas tempat duduk teratai mereka menyingkapkan banyak wujud,
Dalam setiap tubuh terkandung semua daratan-daratan.

Dalam setiap atom dari daratan-daratan di kosmos
Terbentang samudra besar yang terdiri banyak dunia
Awan para Buddh melingkupi seluruhnya,
Memenuhi setiap tempat.

Daratan-daratan yang termanifestasi dalam sebuah atom
Berasal dari kekuatan ajaib dari kekuatan tekad sumpah awal:
Disesuaikan dengn aneka perbedaan dalam kecondongan pikiran
Semua bisa dibuat, di tengah-tengah angkasa.

Dalam semua atom-atom dari semua daratan
Buddha memasuki, setiap dari mereka,
Memunculkan pertujukan ajaib untuk para makhluk:
Demikianlah cara Wairocana.

Dalam setiap atom terdapat banyak samudra dunia-dunia,
Lokasi mereka masing-masing berbeda, semua suci dalam keindahan;
Demikianlah ketakterhinggaan memasuki ke setiap mereka,
Namun masing-masing jelas berbeda, tanpa menghalangi.

Dalam setiap atom terdapat banyak Buddha yang tak terbayangkan
Muncul di setiap tempat sesuai dengan pikiran makhluk,
Sampai di setiap tempat di semua samudra dunia-dunia:
Teknik inidari mereka adalah sama untuk semua.

Hiasan indah yang tak terhingga dari samudra dunia-dunia
Semuanya memasuki sebuah atom;
Demikianlah kekuatan mistik para Buddha
Semuanya lahir dari sifat-dasar tindakan

Dalam setiap atom para Buddha dari senua masa
Muncul, sesuai dengan kecenerungan;
Sementara sifat-dasar esensial mereka tidak dating pun tidak pergi,
Dengan kekuatan tekad sumpah mereka meliputi dunia-dunia.


Kombinasi interpenetrasi dimensi ruang dan dimensi waktu bisa ditemukan dalam bagian sutra yang sama, yakni Avatamsaka-sutra bab 6:

Dalam setitik waktu mereka menyingkap masa lalu, sekarang, dan masa mendatang,
Di mana semua samudra daratan-daratan dibentuk.
Buddha, dengan teknik yang cocok, memasuki mereka semuanya:
Inilah yang Buddha Wairocana telah sucikan.

Kalpa masa lalu, masa mendatang, dan sekarang,
Semua daratan di sepuluh penjuru,
Dan segala hiasan yang di dalamnya,
Semua muncul di setiap daratan.

Hiasan-hiasan dari semua kalpa
Bisa muncul dalam satu kalpa;
Atau hiasan-hiasan dari satu kalpa
Bisa memasuki semua kalpa-kalpa tak terbatas.


Prinsip kuantum telah menjungkirbalikkan apa yang kita sebut dengan realitas. Seperti halnya dalam konsep Buddhis mengenai Samskara atau “kejadian”, mekanika kuantum telah secara radikal menisbikan konsep kita mengenai sebuah objek dengan membuatanya di bawah "kekuasaan" kejadian (event). Ini adalah prinsip ketidakpastian dalam kuantum. Ketidakpastian kuantum membuat batasan yang ketat mengenai keakuratan kita dalam mengukur realitas. Dengan kata lain, akan selalu terdapat derajat ketidakpastiaan mengenai posisi maupun kecepatan dari sebuah partikel. Massa dan dimensi telah kehilangan substansinya karena realitas lebih ditentukan oleh "kejadian" daripada data parameter semata.

Sumber : Djoko Mulyono, Petrus Santoso dan Kristianto Liman, Kajian Tematis Agama Kristen dan Agama Buddha, Freepress Publisher, 2008, hal. 670 – 718

Rabu, 19 Mei 2010

Wiku Sadayana ~ Lukisan dan bingkainya.

Ditulis oleh : TATANG GOWARMAN


Siang itu, Wiku Sadayana sibuk membuat bingkai untuk sebuah lukisan bergambar Buddha yang berwajah asing dan bermata sipit. Setelah selesai memasang lukisan ke dalam bingkai, Wiku menggantung lukisan itu di dinding, di belakang Buddha-rupang di Sanggar Pamujan.

Senja hari seperti biasa Sanggar Pamujan dipenuhi suara para cantrik yang menguncarkan tembang mantra suci mengagungkan Hyang Guru Buddha serta mengulang kembali janji bakti mereka untuk mengikuti ajaran hidup yang luhur dari Hyang Guru Buddha. Sanggar Pamujan yang diterangi kelap kelip dlupak (pelita) minyak jarak, bercampur dengan bau harum dupa dan aneka bunga segar yang terserak di meja tempat rupang Hyang Guru Buddha berada, membuat suasana terasa makin sakral.

Setelah penguncaran mantra suci selesai, mereka bersamadi bersama sama. Sanggar Pamujan yang sebelumnya dipenuhi suara para cantrik bagai dengung para lebah mencari madu bunga, kini sunyi senyap. Suara berbagai serangga yang keluar senja hari terdengar jelas. Sesekali diselingi dengkung katak yang sibuk berpesta mencari makan.
Suara gong mengakhiri samadi bersama. Segera Sanggar Pamujan dipenuhi gemersik baju para cantrik (siswa) yang sedang mengubah letak kaki mereka yang pegal karena duduk tidak bergerak cukup lama. Citramatra yang malam itu memimpin, mengajak semua yang hadir untuk melimpahkan jasa jasa baik perbuatan mereka pada hari itu untuk kebahagiaan semua mahluk dan mengakhiri pembacaan tembang mantra malam itu dengan bersembah sujud pada Hyang Guru Buddha.

Para cantrik yang sejak tadi telah memperhatikan ada lukisan baru yang tergantung di dinding, sibuk berkata dan memberi komentar kepada rekan yang duduk disebelahnya. Sedangkan Citramatra, setelah merapihkan jubahnya, bersembah sujud kepada Wiku Sadayana sebagai tanda bahwa ia ingin bertanya.

Wiku Sadayana sambil bersenyum berkata : "Ada apa Citramatra?"

Citramatra menjawab : Guru, darimanakah gambar tersebut, dan mengapa wajah Hyang Guru Buddha yang tergambar disitu berbeda dengan Rupang dari batu yang biasa kita ketahui?"

Wiku Sadayana berdiam sejenak, menunggu suara para cantrik mereda, baru kemudian menjawab : "Gambar ini pemberian Saccawirya. Ia mendapatkannya dari pedagang asing yang datang ke ibukota kerajaan untuk berdagang. Pedagang tersebut dirampok habis-habisan. Untunglah punggawa kerajaan dapat menangkap perampok tersebut dan menyerahkan perkaranya kepada Saccawirya yang menjabat sebagai Adhyaksa. Perampok tersebut dihukum berat sesuai dengan undang undang kerajaan yang mewajibkan warga kerajaan melindungi orang asing yang berdagang dengan jujur di kerajaan Wilwatikta ini.
Saat akan pulang kembali ke negerinya, pedagang tersebut memberikan lukisan ini kepada Saccawirya sebagai kenang kenangan. Pada 2 bulan purnama yang lalu, aku dan Citramatra pergi ke ibukota kerajaan untuk menghadiri upacara 1000 hari wafatnya Gusti Prabu yang lalu, dan tinggal di rumah Saccawirya. Saccawirya kemudian memberikan lukisan ini kepadaku
."

Setelah menyeruput Wedang Jahe hangat yang dihidangkan seorang cantrik, Wiku Sadayana melanjutkan ceritanya : "Lukisan ini dibuat di atas lembar kertas, yang berbeda dengan lembar lontar yang biasa kita gunakan untuk mencatat mantra suci. Penduduk negeri asing ada yang mengetahui cara pembuatan kertas berukuran lebar, jauh lebih lebar dari lembar lontar, bahkan ada yang sampai 2 depa panjangnya, sehingga bisa digunakan untuk membuat lukisan seperti yang kalian lihat. Penduduk negeri asing tersebut, menurut Saccawirya, rata rata bermata sipit dan berkulit lebih cerah daripada kita penduduk Wilwatikta. Mungkin lebih cerah dari warna kulit penduduk daerah Pasundan yang pernah bertikai dengan kerajaan Wilwatikta puluhan tahun yang lampau. Oleh karena itu, mereka melukiskan Hyang Guru Buddha sesuai dengan wajah yang mereka lihat sehari hari, yaitu seperti wajah mereka sendiri."

Citrabala bertanya : "Guru, apakah diijinkan membuat gambar atau patung Hyang Guru Buddha yang berbeda-beda wajahnya?"

Sambil tersenyum Wiku Sadayana menjawab : "Hyang Guru Buddha telah moksa mencapai Nirwana hampir 2000 tahun yang lampau. Tidak ada seorangpun yang masih hidup saat ini yang pernah melihat wajah asli Hyang Guru Buddha. Karena itu sangat wajar bila rupang ataupun lukisan Guru Buddha berbeda-beda. Tetapi itu bukan masalah, karena kita pengikut atau yang menyatakan diri sebagai murid Hyang Guru Buddha, menghormati serta berterima kasih kepada Beliau atas ajaran Dharma yang beliau berikan, serta teladan keluhuran budi pekerti yang beliau tunjukkan selama beliau hidup."

Citrabala melanjutkan bertanya : "Kalau begitu, bisakah setiap penyungging (pelukis) bebas melukiskan beliau semaunya sendiri?"

Wiku Sadayana : "Tentu saja tidak bisa bebas semaunya. Apakah engkau lupa dalam salah satu lontar ada tertulis 32 ciri ciri tubuh bodhisatwa, sebelum beliau mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Hyang Buddha? Dengan melukiskan sebanyak mungkin ciri-ciri tersebut kedalam lukisan, maka dapatlah seorang Penyungging membuat sebuah lukisan dengan menyebutnya inilah lukisan Hyang Guru Buddha. Selain itu juga tentunya lukisan Hyang Guru Buddha menggambarkan perilaku Beliau sehari-hari. Bersamadi dengan wajah tersenyum. Duduk membabarkan ajaran Dharma. Berdiri dengan sikap tangan memberikan berkah. Tentunya sangat tidak tepat kalau menggambarkan Beliau sedang memegang tongkat pemukul atau tombak, atau naik kuda sambil mengacungkan pedang, karena perbuatan itu tidak pernah beliau lakukan."

Citrabala dan para cantrik mengangguk menyetujui penjelasan Wiku Sadayana. Kemudian Wiku Sadayana berkata : "Citramatra, dalam perjalanan pulang dari ibukota kerajaan ke padepokan ini, engkau pernah bertanya, mana yang lebih penting melakukan winaya (berbuat sesuai aturan Sila) atau melakukan upacara ritual yang megah-mewah dan menguncar tembang mantra berhari-hari? Engkau juga bertanya mengapa padepokan kita tidak pernah melakuan upacara ritual besar-besaran?"

Citramatra menjawab : "Benar Guru. Waktu itu Guru mengatakan setelah tiba di padepokan baru akan dijelaskan dihadapan para cantrik yang lain. Aku sudah lupa menanyakan kepada Guru."

"Baiklah, sebelum aku menjelaskan hal ini, Citramatra dan cantrik-ku sekalian, kalian perhatikan baik-baik lukisan yang sudah berbingkai yang tergantung di dinding.
Jawab pertanyaanku! Jika lukisan itu tidak kuberi bingkai, bisakah kalian semua melihatnya dengan baik?
"

Dengan cepat Citrabala menjawab : "Tidak bisa, guru. Itu sama saja dengan wayang kulit tanpa gapit. Akan lungkrah, dan tidak mungkin dilihat dengan baik".

"Ah, Citrabala, bagus sekali perumpamaanmu. Seperti wayang kulit tanpa gapit, gambar ini pun akan lungkrah, tergulung bagian sudutnya, sehingga tidak enak dilihat," tukas Wiku Sadayana, yang kemudian melanjutkan bertanya : "Seandainya aku membuat bingkai untuk lukisan tersebut dengan bingkai yang berukuran besar, misalnya selebar setengah jengkal, bagaimana pendapat kalian, apakah lukisan itu menjadi lebih serasi?"

"Tidak mungkin serasi, eyang guru", jawab salah seorang cantrik. Ia melanjutkan : "itu sama saja seperti sebuah wayang kulit yang bergapit sungu kerbau berukuran sebesar jempol kaki, tidak enak dilihat. Bingkai selebar setengah jengkal terlalu berlebih untuk ukuran lukisan seperti itu, sehingga tidak enak dilihat."

Dengan gembira Wiku Sadayana menjawab : "Bagus, bagus, kalian semua menjawab dengan baik. Nah pertanyaanku yang terakhir. Jika bingkai lukisan itu aku beri hiasan ukiran yang indah, aku beri tambahan batu batu permata yang gilang gemilang dan mahal harganya, apakah itu akan memperindah lukisan tersebut?"

Kali ini Citramatra dengan sigap menjawab : "Guru, hiasan ukiran dan batu permata itu akan menenggelamkan keindahan lukisan. Yang melihat lukisan akan bingung. Perhatiannya terpecah, memperhatikan lukisan atau memperhatikan bingkai berhias permata. Bingkai yang guru buat sederhana bentuknya, ukurannya pun serasi. Tidak terlalu tebal, juga tidak terlalu tipis. Cocok dengan besar lukisan yang sedepa lebarnya."

"Bagaimana pendapat yang lainnya?" tanya Wiku Sadayana.

"Kami sependapat dengan Citramatra, guru ," para cantrik yang lain serempak menjawab.

Setelah berdehem-dehem membersihkan tenggorokannya, Wiku Sadayana berkata : "Nah, perhatikan baik-baik yang akan aku katakan. Ajaran Dharma dari Hyang Guru Buddha berupa pengertian mengenai kehidupan dan cara membebaskan diri dari penderitaan yaitu mencapai Nirwana. Selain itu juga banyak nasihat nasihat lain yang diberikan kepada pengikut Beliau waktu itu, yang bisa kalian baca di lontar. Ajaran Dharma itu adalah seperti gambar lukisan ini. Sedangkan winaya, atau berbagai pantangan dan tuntunan perilaku yang baik, sama seperti bingkai untuk memegang lukisan agar teguh, tidak kusut atau tergulung bagian ujungnya. Sedangkan ukiran dan permata yang aku tanyakan tadi, adalah berbagai upacara ritual yang menjadi tradisi dari para pengikut serta murid Hyang Guru Buddha.

"Perhatian dan upaya yang berlebihan pada upacara ritual, dapat membuat kita semua melupakan ajaran Dharma. Apalagi umat yang melihat, mereka akan lebih tertarik pada upacara ritual yang rumit dan megah dibandingkan mendengarkan wejangan Dharma yang disampaikan oleh Wiku. Demikian juga perhatian yang berlebih pada Winaya serta aturan aturan, akan menyebabkan para murid kuatir bertindak melanggar Winaya, dan sibuk memperhatikan kesalahan sesama rekan, bukannya memanfaatkan waktu, pikiran dan tenaga mereka untuk menyelami dan melaksanakan Dharma untuk mensucikan batin dan pikiran mereka. Sebaliknya ada juga orang yang hanya mempelajari dan memperdebatkan ajaran Dharma dari Hyang Guru Buddha dan mengabaikan pelaksanaan Winaya dan aturan aturan yang diperlukan, serta mengabaikan upacara ritual untuk mengenang dan menghormati Hyang Guru Buddha. Kita menjumpai orang yang ahli serta mengetahui banyak sekali ajaran Dharma, tanpa melaksanakannya dalam kehidupan sehari hari. Orang ini tidak mengerti bahwa Winaya adalah sarana yang menjamin tegaknya Dharma. Jika para murid berperilaku dengan melanggar Winaya, siapakah yang akan tertarik untuk mempelajari Dharma? Mungkinkah akan ada umat yang bersedia mendukung kehidupan para Wiku yang berperilaku tidak bermoral? Tidak akan ada! Jika terjadi maka hal ini merupakan tanda awal akan lenyapnya ajaran Dharma dari Hyang Guru Buddha pada daerah tersebut."

Suasana dalam Sanggar Pamujan menjadi hening, sunyi senyap. Tidak biasa mereka mendengar petuah yang panjang lebar dari Wiku Sadayana yang biasanya hanya memberi petuah-petuah singkat. Akhirnya, Wiku Sadayana memecah keheningan : "Sama juga seperti lukisan yang berbingkai dengan ukuran serasi dan diberi hiasan sederhana. Kita memerlukan Winaya dan aturan aturan yng perlu dipatuhi tanpa berlebihan. Kita juga memerlukan upacara ritual yang sederhana untuk menunjukkan rasa hormat dan terima kasih kita pada Hyang Guru Buddha yang telah mengajarkan Dharma bagi kesejahteraan sesama mahluk. Kita juga perlu mempelajari dan menyelami Dharma untuk mensucikan batin serta pikiran kita hingga tercapainya Nirwana. Ketiga nya perlu diperhatikan tetapi harus seimbang tanpa berlebihan pada salah satu diantaranya."
Setahun sekali membuka lukisan Buddha yang berukuran sangat besar
.

Citramatra kemudian berkata : "Guru, sebetulnya aku tadi ingin juga bertanya mengapa kita di sini tidak pernah mengadakan upacara ritual yang megah seperti yang berlangsung di ibukota dan berbagai Sanggar Pamujan yang lain sehingga banyak sekali umat yang datang hadir. Sekarang aku tahu, itu terlalu berlebihan."

"Citramatra, bukanlah tujuan dari Hyang Guru Buddha memberikan Dharma untuk mengumpulkan umat untuk menonton upacara ritual. Beliau bertujuan membebaskan manusia dari penderitaan melalui pelaksanaan Dharma yang telah Beliau ajarkan. Para Wiku yang berkelakuan baik bersesuaian dengan Winaya akan menarik hati para umat untuk mempelajari dan melaksanakan Dharma. Sebaliknya, tontonan berupa upacara yang megah memang mendatangkan umat yang banyak. Tetapi sebagian besar dari mereka hanya ingin menonton keramaian saja. Bahkan hal itu dapat menimbulkan pengertian yang salah dari umat, yang menganggap dengan ikut serta pada upacara ritual sudah dapat membebaskan mereka dari penderitaan. Timbulnya pandangan salah seperti ini perlu dihindari dengan mengadakan upacara ritual secukupnya saja."

Dengan sikap yang tenang, Wiku Sadayana menatap para cantriknya dan kemudian berkata : "Kini sudah larut malam, kita semua perlu beristirahat. Citrabala, pimpinlah kita semua untuk memberikan sembah sujud pada Hyang Guru Buddha untuk mengakhiri pertemuan kita malam ini."

Tidak lama kemudian, padepokan tersebut diselimuti keheningan ketika para penghuninya telah lelap di pondok masing masing.


Cetya Dhyana Loka, April 2010

Selasa, 18 Mei 2010

DHYANI BUDDHA di BOROBUDUR

Patung Dhyani Buddha yang berada di Borobudur pada awalnya berjumlah 504 . Sayang sekarang tinggal 300 lebih, itupun dalam keadaan rusak (rata–rata kepalanya hilang). Sungguh menyedihkan, warisan sejarah yang begitu megah kini tidak lagi diakui sebagai salah satu keajaiban dunia.

Initially there were 504 Buddha statues in Borobudur. Unfortunately, now there are only some 300 left. Also, most are in broken condition. However, it does not disturb the grandeur of Borobudur as a whole. Borobudur is still the greatest Buddhist monument on earth.

DHYANI BUDDHA AMOGHASIDDHI
Arah mata angin : Utara
Nama mudra : Abhaya-mudra
Bentuk mudra
Tangan kiri terbuka dan menengadah dipangkuan, sedang tangan kanan diangkat sedikit diatas lutut sebelah kanan dengan telapak menghadap kemuka.

Facing North.
Abhaya in Sanskrit means fearlessness. Thus this mudra symbolizes protection, peace, and the dispelling of fear. It is made with the right hand raised and the palm of the hand facing outward. The left hand rests on the feet.


DHYANI BUDDHA AKSOBHYA
Arah mata angin : Timur
Nama mudra : Bhumisparsa-mudra
Bentuk Mudra
Tangan kiri menengadah di atas pangkuan, sedang tangan kanan menempel pada lutut kanan dengan (telapak menengadah kebawah/menelungkup) jari menunjuk kebawah.

Facing East.
Literally Bhumisparsha translates into 'touching the earth'. It is more commonly known as the 'earth witness' mudra. This mudra, formed with all five fingers of the right hand extended to touch the ground, symbolizes the Buddha's enlightenment under the bodhi tree, when he summoned the earth goddess, Sthavara, to bear witness to his attainment of enlightenment. The right hand, placed upon the right knee in earth-pressing mudra, and complemented by the left hand-which is held flat in the lap in the dhyana mudra of meditation.


DHYANI BUDDHA RATNASAMBHAWA
Arah mata angin : Selatan
Nama mudra : Wara-mudra
Bentuk Mudra
Tangan kiri terbuka dan menengadah dipangkuan, sedang tangan kanan menempel pada lutut kanan menengadah ke arah atas.

Facing South.
This mudra symbolizes charity, compassion and boon-granting. It is the mudra of the accomplishment of the wish to devote oneself to human salvation. It is made with the palm of the open hand facing forward, and the fingers extended.




DHYANI BUDDHA AMITABHA
Arah mata Angin : Barat
Nama mudra : Dhyana-mudra
Bentuk Mudra
Kedua tangan kanan diletakkan dipangkuan, yang kanan diatas yang kiri, dengan telapak kanan menengadah dan kedua jempolnya saling bertemu.

Facing West.
This meditation mudra shows both hands are placed on the lap. The right hand is placed above the left, with the palms facing upwards, and the fingers extended.




DHYANI BUDDHA WAIROCANA
Arah mata angin : Pusat
Nama mudra : Witarka-mudra
Bentuk Mudra
Tangan kiri terbuka di atas pangkuan dan tangan kanan sedikit terangkat di atas lutut kanan dengan telapak menghadap ke muka dan jari telunjuknya menyentuh ibu jari.

Centre.
The gesture of discussion and debate indicates communication and an explanation of the Dharma. The tips of the thumb and index finger touch, forming a circle. All other fingers are extended upwards.


HAPPY VESAK 2554 Buddhist Era.
May all beings be happy!

Senin, 17 Mei 2010

KEBOHONGAN TERBESAR

Romo Pandita hampir pulang saat melihat anak-anak Sekolah Minggu mengerumuni seekor anjing.



"Anjing siapa ini? Lucu sekali."

"Tidak ada yang tahu, romo. Mungkin dibuang pemiliknya. Kasihan. Kami sedang bertaruh, siapa yang bisa membuat kebohongan terbesar, dia lah yang akan mendapatkan anak anjing yang lucu ini."

Dengan terkejut Romo Pandita berkata : "Wah... wah... wah! Berbohong kok malah diperlombakan! Kalian tidak boleh berlomba-lomba membuat kebohongan. Waktu saya seumur kalian, saya bahkan tidak berani berbohong."

Anak-anak itu terdiam. Pandita merasa senang karena ia pikir anak-anak itu sudah meeasa menyesal.

Tiba-tiba anak yang paling kecil berkata : "Apa boleh buat. Romo Pandita berhak mendapatkan anjing yang lucu ini deh. Romo telah menceritakan kebohongan terbesar, lebih besar dari teman-teman semua!"

Wkwkwkwk...!

Minggu, 16 Mei 2010

TENTANG KEBOHONGAN

Ibu Pandita menutup kotbahnya hari ini dengan berkata :
"Minggu depan saya akan berkotbah tentang kebohongan. Saya harap semua umat dalam minggu ini bersedia membaca Dhammapada bait 424 dan merenungkannya. Tolong dilaksanakan ya, jangan sampai tidak."

Minggu berikutnya, Ibu Pandita maju dan berkata : "Sesuai dengan apa yang sudah saya pesankan minggu lalu, apakah umat sudah membaca Dhammapada bait 424? Siapa yang belum membaca, angkat tangan."

Umat tentu saja belum membaca. Tapi karena mereka tidak mau menyinggung perasaan Ibu Pandita, tidak ada mengangkat tangan.

Ibu Pandita berkata lagi : "Wah, bagus sekali, jadi rupanya semua sudah membaca, ya?"
Beberapa umat, terutama yang di depan, malu-malu mengangguk.


Ibu Pandita tersenyum dan berkata : "Kalau begitu mestinya semua tahu bahwa di dalam Dhammapada hanya ada 423 bait! Nah, sekarang saya akan memulai kotbah saya tentang kebohongan."

Wkwkwkwk...!


(besok: KEBOHONGAN TERBESAR)

Sabtu, 15 Mei 2010

Buddha Birthday Festival di Brisbane


Umat Buddha di Brisbane, Australia, merayakan Wesak tahun ini dengan menyelenggarakan Buddha Birthday Festival yang sudah berlangsung dengan sukses tanggal 30 April 2010 hingga tanggal 2 Mei 2010.










Acara diadakan di The Parklands, di daerah SouthBank dan mencakup Suncorp Piazza dan Cultural Forecourt, bahkan sampai ke Gallery of Modern Art dan QPAC.








Festival ini dimeriahkan oleh lebih dari 300 seniman dalam 200 pertunjukan di dua buah panggung acara.











Acara diakhiri dengan pertunjukan kembang api spektakuler Minggu 2 Mei jam 19.30malam.


Foto bisa dilihat di
OurBrisbane.com

Kamis, 13 Mei 2010

SRILANKA ~ PODI PANSELA

Vihara, dalam bahasa Sinhala, yaitu bahasa penduduk asli Sri Lanka, disebut "Pansela".

Demikian juga Vihara Anguru Karamula di Negombo yang saya ceritakan terdahulu, disebut Pansela. Tidak jauh dari situ, hanya terpaut beberapa ratusan meter, ada sebuah vihara lain yang disebut Podi Pansela atau Vihara Kecil. Tidak ada papan nama, hanya pintu gerbang bergaya Sanchi menyambut kita di vihara yang terletak di persimpangan jalan ini.

Meskipun disebut Vihara Kecil, namun sebenarnya kompleks ini cukup besar dan luas. Sebuah stupa putih berpagar tembok keliling berwarna putih juga, merupakan titik pusat perhatian. Saya pun masuk dan sedikit was-was, kuatir telapak kaki tidak akan sanggup menahan panasnya pasir yang disinari terik matahari. Ternyata masih bolehlah. Dengan sedikit bergegas, saya melakukan pradaksina mengelilingi stupa, seraya berhenti di ke-empat penjuru untuk memberi hormat pada Buddharupa yang ada di sana.

Selanjutnya saya menuju ke pohon Bodhi, tanpa menghiraukan ramainya anak-anak yang sedang "bersekolah minggu" di sana. Pohon Bodhi di sini memberi keteduhan tersendiri. Begitu berada di dekat pohon, saya tiba-tiba merasa sangat betah dan damai. Di kaki pohon ada sebuah kendi berisi air dan sesuai tradisi, saya pun menjunjung kendi itu sambil pradaksina tiga kali. Setelah selesai, air itu saya tumpahkan ke kaki pohon Bodhi. Inilah persembahan yang lazim dilakukan.

Barulah kemudian saya sadar bahwa kendi itu ternyata milik dua orang ibu yang sedang duduk bersandar ke tembok keliling pohon. Maka saya pun menuju sumber air, dan mengisi kembali air kendi untuk menggantikan air kedua ibu tadi yang saya 'pinjam tanpa ijin'. Mereka tersenyum penuh pengertian, memaklumi kekurangajaran 'turis asing' ini.

Saya pun duduk begitu saja di pasir di kaki pohon Bodhi itu. Tanpa alas, tapi tidak usah takut celana kotor karena toh pasir itu tidak akan menempel. Sama seperti di kraton, ya? Kita bisa duduk bersimpuh di tanah tanpa takut kotor.

Meditasi yang damai saya nikmati di kaki pohon Bodhi itu. Masa bodoh. Ini kan hari Minggu, dan saya tidak ada tugas yang harus dikerjakan. Tanpa diburu-buru waktu, enak saja saya meditasi sementara rekan pengantar dari Sri Lanka menunggu dengan sabar. Selesai meditasi, saya pun memanjatkan paritta Ettavata, meminta agar mahluk-mahluk suci yang menjaga pohon Bodhi mau mengusahakan supaya hujan segera turun. Beberapa bagian Sri Lanka sedang menderita karena kemarau panjang, dan sangat mengharapkan hujan.

Dalam perjalanan keluar saya masih mencoba mencari tahu nama vihara tersebut. Seorang samanera yang kebetulan keluar dari kuti vihara tersebut, saya tanya. Ia berpikir sejenak, lalu menjawab bahwa nama vihara ini adalah "Podi Pansela". Wah, nama ini memang sudah melekat betul, rupanya.

Akhirnya salah seorang penduduk memberi tahu, bahwa nama asli vihara ini adalah Abhisekramaya. Entah dia berkata betul entah tidak, tapi buat semua orang sekarang namanya adalah panggilan kesayangan "Podi Pansela" alias vihara kecil.

2 oct 2001

Rabu, 12 Mei 2010

SRILANKA ~ SANGGABUANA

Selesai mengagumi keindahan dhammasala Vihara Anguru Karamula, bangunan lain yang tak kalah indahnya adalah sebuah paseban berbentuk menara bertingkat dua. Dalam penglihatan saya, wujudnya mirip sebuah bangunan di Kraton Ngayogyakartahadiningrat yang dikenal dengan nama Sanggabuana, konon katanya tempat Sultan Yogya bermeditasi kalau ingin bertemu dengan 'isteri'nya, yaitu Nyai Roro Kidul sang ratu dari laut selatan.

Di paseban (atau pagoda?) yang ada di di Negombo, Sri Lanka ini pun penuh dengan para raja. Isinya adalah diorama lukisan dan patung seukuran manusia, melukiskan deretan dan silsilah raja-raja yang pernah berkuasa di Sri Lanka, mulai dari raja yang pertama hingga raja-raja periode Polonaruwa, periode Anuradhapura, sampai raja yang terakhir di periode Kandy.

Tak kurang dari satu bis penuh wisatawan lokal, terdiri dari para ibu-ibu dan bapak-bapak warga suatu desa, datang ke vihara ini pada saat saya berada di sana. Mereka mengagumi sejarah masa lalu dan mengenali para raja tersebut. Patung para raja ini pula lah yang membuat vihara terbesar di Negombo ini sering dikunjungi murid-murid sekolah, sehingga vihara ini cukup terkenal dan rata-rata penduduk Sri Lanka mengatakan mereka pernah mengunjungi vihara ini, dulu 'ketika masih sekolah'.

Seperti biasa bangunan vihara di Sri Lanka pasti ada pohon Bodhi-nya. Sebuah pagar putih bersih mengelilingi keempat sisinya. Di pelataran yang terbuka, terdapat beberapa bentuk dari logam tempat menaruh pelita minyak. Komentar saya kepada rekan dari Sri Lanka yang mengantar: "Indah di waktu malam, kotor di waktu siang". Soalnya memang pelita yang dipasang di piring tanah liat dan berisi minyak itu memang kotor hitam hangus, serta berceceran minyak ke mana-mana.

Masih ada satu lagi bangunan di kompleks vihara ini. Justru bangunan itulah yang membuat saya 'ngeh' atas sebuah fakta yang baru saya sadari: "Oooooh .... "

Tapi nanti ceritanya, ya? Selanjutnya ikuti dulu SRILANKA ~ PODI PANSELA.


1 Oct 2001

Selasa, 11 Mei 2010

SRILANKA ~ MAITREYA

Setiap ke Sri Lanka, saya selalu menginap di Negombo. Sebuah kota pantai yang dekat dari bandara, dan karena itu paling efisien, apalagi karena pesawat dari Indonesia selalu mendarat di sana tengah malam.

Biasanya setelah satu malam di Negombo, baru keesokan harinya pindah ke hotel di tempat lain. Namun kali ini, saya menginap di Negombo terus sampai saat pulang kembali. Soalnya hotel yang rencananya saya inapi, tidak sanggup menerima tamu karena tidak punya air. Sri Lanka memang sedang dilanda kekeringan yang sudah berlangsung empat bulan lebih. Sungguh menderita rakyat yang kena kemarau panjang ini.

Buat saya sih, enak saja di Negombo. Soalnya saya sangat suka pantai yang bersih dan berhampar pasir luas itu. Dari jendela kamar terbentang panorama lautan, dan dari balkon saya bisa mendengar hempasan ombak yang bagai musik surgawi. Apalagi di dekat hotel ada restoran favorit saya, yang menghidangkan pizza "fresh from the wooden oven" sehingga rasanya asli tulen seperti di Itali. Mama mia ...!
Stop! Memang kalau soal makan saya ini penikmat luar biasa. Tapi bukan itu yang ingin saya bicarakan sekarang.

Negombo, selain sebuah kota pantai, juga jelas kelihatan sebagai 'kantong' (enclave) Kristen di negara yang mayoritas Buddhis ini. Patung-patung besar Yesus dan Maria nampak di persimpangan jalan dan di bawah pohon besar, menggantikan patung Buddha yang biasanya ada di tempat begitu. Nama-nama penduduknya pun berbau Portugis, mengingatkan saya pada daerah Lamno di Nangroe Aceh Darussalam yang penduduknya berkulit putih bermata biru. (Soal perjalanan ke Aceh, nanti ya saya ceritakan...)

Karena itu tidak sedikit pun terbersit dalam benak saya untuk mencari vihara di Negombo. Namun ternyata saya salah. Kali ini kebetulan ada satu hari Minggu yang bisa saya gunakan, sebab pesawat baru berangkat Senin subuh. Maka dengan penuh rasa syukur dan gembira, seperti biasa saya selalu bersemangat kalau ada acara mengunjungi vihara, mulailah saya menuju vihara yang terbesar di Negombo.

Vihara ini ternyata cukup terkenal. (Jadi saya salah. Bukan saja di Negombo ada vihara, tapi malah vihara yang terkenal!). Namanya Anguru Karamula Vihara.

Halamannya penuh dengan lautan kanak-kanak berpakaian putih. Tentu ini murid-murid sekolah yang pada hari Minggu belajar ke vihara. Saya paling tidak suka menyebut "Sekolah Minggu Buddhis". Jelas-jelas itu pinjaman dari dari "Zondag School" (yang Kristen!). Entah apa namanya di Sri Lanka ini.

Bangunan vihara ini cukup mencolok. Bentuknya aneh. Sebuah patung Buddha maha besar (12 meter tingginya?) terletak di atas atap Dhammasala yang rata. Dan patung besar itu ditutup lagi dengan sebuah atap yang ditopong dua buah pilar besar, berisi patung dewa. Di bawahnya tertulis, sumbangan dari sepasang suami-isteri dari Jerman. Namanya saya lupa. Kemudian bangunan Dhammasala itu sendiri juga mendapat sumbangan (antara lain) dari umat Buddha Korea.

Masuk ke dalam, sebuah pemandangan mengerikan langsung menerjang mata. Persis di depan pintu masuk, sesosok patung wanita sedang digorok lehernya oleh dua buah patung algojo neraka. Di atasnya duduk bersila seorang lelaki berkumis berjubah putih. Di belakang lelaki itu, para dewa dan dewi beterbangan.

Melewati pintu yang terletak di kiri dan di kanan patung seram itu, lantas saja saya masuk ke ruang dalam. Inilah 'sanctum sanctorum' tempat tiga arca Buddha gaya Burma duduk dengan manis di altar. Cahaya lampu neon menerangi ketiganya. Untunglah, sebab ketiga patung itu terletak di balik kelambu yang menerawang tipis dan memberi kesan mistis.

Beberapa ibu tengah asyik membaca paritta sendiri-sendiri, suaranya tidak beraturan sebab kan bacanya masing-masing, tidak seragam. Saya pun bersimpuh, bernamaskara. Selesai namaskara saya melihat ke langit-langit. Seperti lazimnya vihara di Sri Lanka, dhammasala ini pun penuh dengan lukisan dinding yang sebagian timbul berupa patung. Macam-macam episode dari kehidupan Buddha ditampilkan dengan artistik.

Keluar dari ruang altar, saya masuk ke ruang yang terletak lebih ke dalam. Di sini ada patung Buddha dalam posisi berbaring yang cukup besar. Lagi-lagi tembok dan langit-langit seluruhnya penuh ukiran dan lukisan. Menuju keluar, patung-patung Buddha berjajar di dinding. Bentuknya sama, tapi menurut rekan saya orang Sri Lanka, di bawahnya tertera nama Buddha yang berbeda-beda. Misalnya Dipankara, Kakusanda dan lain-lain. Saya mengiyakan saja, soalnya kan saya mah engga bisa baca tulisan Sri Lanka.

Nah, ada satu patung yang istimewa menarik perhatian saya. Sesosok pria yang tegap dan tampan, berkumis, berdiri. Di kepalanya terdapat hiasan berupa patung Buddha dari emas. Saya pun terkesiap. Inikah Bodhisattva? Saya teringat akan patung Avalokitesvara yang hampir selalu mengenakan hiasan rambut berupa Buddharupang. Rekan saya membaca, dan memberitahukan :
Inilah Maitreya Boddhisatva!

Aha! Pantas di belakangnya beriring aneka dewa dan dewi. Rupanya ini menggambarkan Surga Tusita tempat Metteya Bodhisatta menanti saat yang tepat untuk lahir ke bumi. Inilah kali kedua saya melihat patung Maitreya Bodhisattva di Vihara Theravada dalam perjalanan kali ini. (Sebelumnya di Wat Chena Songklam di Bangkok, kan?). Pertanda apa, ya?

Hampir menjelang pintu keluar, ada kotak sumbangan. Sebagai orang asing saya diberi kehormatan mengisi buku tamu. Tepat saya selesai, ada seorang bhikkhu muda yang datang. Saya tanyakan kepada beliau ihwal patung menyeramkan yang terdapat di pintu masuk. Penjelasannya, itulah gambaran seorang isteri yang sering berbuat jahat dan mendapat karma buruk di neraka. Di atasnya gambaran suaminya yang sering berbuat baik di dunia dan mendapat pahala surga. Wah, sexis sekali! Para feminis pasti protes atas chauvinisme lelaki model begini!

Bhikkhu itu menjelaskan lebih lanjut, bahwa dalam agama Buddha yang jahat masuk neraka dan yang baik ke surga, seperti dalam agama Kristen, katanya. Lho, bhante, saya ini kan juga umat Buddha, kata saya. Lalu saya tanyakan ihwal nama vihara. Bhikkhu itu menjelaskan, 'anguru' berarti arang. Mengapa namanya demikian, tidak ada yang tahu.

Setelah memberi penjelasan singkat, bhikkhu muda itu langsung pamit. Agaknya dia tidak ingin terlalu banyak bicara dengan umat awam. Hal ini menambah respek saya padanya.

Wah, saya sendiri kebanyakan bicara. Udah dulu deh, besok disambung dengan SRILANKA ~ SANGGABUANA.


26 Sep 2001

Senin, 10 Mei 2010

KAKEK WONG di Taman Firdaus

Masih belum putus asa, (karena putus asa adalah dosa) missionaris datang lagi ke tempat Kakek Wong. Kali ini ia menceritakan dosa asal. Gara-gara manusia pertama tidak tahan godaan, seluruh anak-cucunya terpaksa terusir dari Taman Firdaus dan menderita di dunia.

"Mmmmmhhh....", kakek Wong menghela nafas.
"Kalau owe nyang ada di Taman Firdaus, pasti anak cucu owe semua masih tetap di sana dan tidak sampai menderita di dunia."

"Lho kok bisa?", missionaris itu bertanya heran.

"Tentu saja bisa.", kata kakek Wong.
"Kesatu, pan owe mah engga doyan apel. Kalau beli apel, paling-paling juga cuma ditaruh di meja, buat sembahyang."



"Kedua, daging ular itu kan enak. Lagian bisa buat obat sakit kulit. Darah dan empedunya, hehe, buat obat kuat...," kata kakek Wong sambil menyeringai penuh arti.

Lalu buru-buru ia menambahkan :



"Jadi, so pasti lah yauw, ular itu dong nyang owe makan duluan...!"

Wkwkwkwkwk....! Haiyaaa...

Minggu, 09 Mei 2010

Keyakinan Kakek Wong

Seorang misionaris berusaha mengajak Kakek Wong untuk beralih agama. Namun kakek Wong tetap bergeming.

Suatu hari, setelah sang misionaris memberi uraian panjang lebar dari Kitab yang dibawanya, Kakek Wong bertanya : "Apakah Anda yakin kebenaran Kitab yang Anda baca tadi?"

Misionaris itu menjawab : "Tentu saja. Saya sangat yakin."


Kakek Wong menggeleng-gelengkan kepalanya: "Tapi saya rasa Anda tidak begitu yakin. Saya lihat dari tadi, Anda menggelengkan kepala ke kanan dan ke kiri saat membaca. Beda dengan saya. Kalau saya membaca Kitab saya, saya mengangguk-anggukkan kepala saya. Nah, itu baru tandanya saya benar-benar yakin."





Tentu saja atuh, Kakek Wong! Kitab yang kakek baca mah dalam bahasa Mandarin, jadi tulisannya dari atas ke bawah ...
Wkwkwkwk...!

Kamis, 06 Mei 2010

Shurlekkha, slokha 30 - 33

भवद्भिर्ब्राह्मणभिक्षुदेवातिथिमातापितृकुलमहिषीभ्यः।
पापं नाचरणियं यतः कतमोऽपि न नरकफलस्य भागी॥३०॥
bhavadbhirbrāhmaṇabhikṣudevātithimātāpitṛkulamahiṣībhyaḥ|
pāpaṁ nācaraṇiyaṁ yataḥ katamo'pi na narakaphalasya bhāgī||30||

Jangan lakukan ketidakbajikan, meski itu demi brahmana,
Bhiksu, dewa ataupun tamu, ayah atau ibu,
Anak, istri ataupun pengikut.
Mereka sedikitpun tak akan berbagi akibatnya.


न च कृन्तति पापकर्म तत्क्षणमस्त्रपातवत् कमपि पापिनम्।
मृत्योर्हि समये किन्तु तत्कर्मणः फलमभिमुखीभवत्येव॥३१॥
na ca kṛntati pāpakarma tatkṣaṇamastrapātavat kamapi pāpinam|
mṛtyorhi samaye kintu tatkarmaṇaḥ phalamabhimukhībhavatyeva||31||

Meski perbuatan karma buruk
Tak akan langsung melukai seperti sebilah pedang,
Akibat dari karma buruk akan terlihat
Berwujut ketika saat kematian datang.


सप्तधनान्युक्तानि श्रद्धाशीलत्यागामलश्रुतधियः।
अपत्रपा ह्री मुनिना मुधैवापरधनानि हि साधारणानि॥३२॥
saptadhanānyuktāni śraddhāśīlatyāgāmalaśrutadhiyaḥ|
apatrapā hrī muninā mudhaivāparadhanāni hi sādhāraṇāni||32||

Sang Muni (Buddha) menyatakan tentang tujuh harta: keyakinan, sila,
Kemurahan hati, belajar (dharma), demikian pula rasa malu,
Kesederhanaan, kebijaksanaan.
Anggap kekayaan lain sebagai biasa dan tanpa guna.


द्यूतक्रीडा कौतुकदर्शनालस्यकुमित्रसङ्गमदिराश्च।
निशाविहरणं षडिमे त्याज्या दुर्गतिदा यशोविनाशकाश्च॥३३॥
dyūtakrīḍā kautukadarśanālasyakumitrasaṅgamadirāśca|
niśāviharaṇaṁ ṣaḍime tyājyā durgatidā yaśovināśakāśca||33||

Berjudi, ikut pesta pora, kemalasan dan
Teman yang jahat, minuman keras serta keluyuran di malam hari, Menuntun pada keadaan yang rendah dan lenyapnya nama baik. Tinggalkan keenam kegiatan tersebut.


Dikutip dari Shurlekkha, slokha 30 - 33, oleh Guru Nagarjuna.

Romo SURYA MAHENDRA menulis ini untuk Komunitas Bhumisambhara

PENJELASAN


Motivasi orang melakukan perbuatan buruk pada umumnya terdorong oleh keterikatan dan dilandasi ketidak tahuan. Keterikatan pada kebahagiaannya sendiri, ingin membahagiakan keluarganya, ingin berbakti pada orang tuanya, pendetanya, sangha, dewanya atau bangsa dan negaranya. Namun demikian, setelah hal yang buruk dilakukan, pada akhirnya dia sendiri yang akan menanggung buah karmanya. Semua yang mendorong perbuatan itu dilakukan, tak akan ikut menangggung akibatnya. Karena itu penting untuk berpegang erat pada prinsip 'jauhi ketidak bajikan'.

Jika perbuatan buruk akibatnya dapat langsung dirasakan, maka didunia ini semua orang akan menjauhinya. Karena akibatnya baru akan muncul di kemudian hari, maka orang tak sedikit yang ragu akan kebenaran ajaran moralitas. Karma buruk, meski hanya kecil, bila berbuah ia bagaikan setetes nila yang akan merusak susu sebelanga. Seujung kecil duri tajam, bila menusuk kaki kita, seluruh tubuh kita akan terganggu dan terguncang. Pun demikian pula dengan karma buruk, yang kecil membuat kita sakit, dimusuhi orang lain, kekurangan, hidup tertekan jauh dari damai dan bahagia. Yang berat membuat kita cacat, pendek umur bahkan lahir di ketiga alam rendah; alam binatang, alam preta dan alam neraka.

Tujuh harta tersebut (slokha 32) tak akan pernah habis, tak akan tertinggal pada saat kita mati, dan juga tak dapat dirampas oleh orang lain. Berbeda sekali dengan harta kita yang biasa. Jelas sekali saat kita mati akan jatuh ketangan orang lain. Yang terbawa hanya sedikit yang kita amalkan. Bahkan kadang sebelum seseorang mati, ia sendiri menjadi saksi bagaimana harta yang menggunung dirampas atau berpindah tangan. Oleh karena itu, praktik Dharma seseorang haruslah dalam skema mendulang tujuh harta ini. Hanya absen hari minggu di Vihara, baca parita satu jam, senyam senyum dengan teman-teman vihara, rapat ini dan itu, jika semua itu tak secara langsung menyentuh subtansi meningkatnya timbunan tujuh harta tersebut, patut untuk segera diperbaiki. Buddha Dharma adalah jalan hidup, harus dijalani dengan seksama. Halangan dan hambatan, bila muncul, harus dihadapi dan menjadi ukuran akan keteguhan hati.

Judi, pesta-pesta, malas, berteman dengan orang-orang yang buruk, mabuk, keluyuran di malam hari adalah hal yang membawa kemerosotan. Itu seperti menyia-nyiakan berkah hidup yang begitu berharga. Judi adalah kebiasaan yang buruk, latihan mental penuh harap yang mengabaikan hukum sebab akibat. Orang ingin banyak uang jelas sekali harus bekerja atau berdagang, bukan mencorat-coret dan membolak balik buku ramalan. Keterikatan akan pesta akan menumbuhkan anggapan bahwa hidup ini menyenangkan, lalu meragukan ajaran Buddha bahwa seluruh samsara diliputi dukkha. Teman yang buruk menjerumuskan kita, banyak orang jadi kacau faham dan jalan hidupnya hanya karena terseret oleh teman-temannya. Di dunia ini banyak sekali komunitas-komunitas yang dibuat untuk menutupi kelemahan dan ketidak bajikan. Hati-hatilah dalam memilih teman dan jangan mudah terpengaruh omongan manis bujuk rayu orang lain. Bersikap dewasa bijak dan mengedepankan nalar sehat adalah proteksi diri yang baik. Jauhi enam hal yang membawa kemerosotan hidupmu ini. Jika engkau tidak menghargai hidupmu, maka tak ada orang lain yang akan menghargainya. Hidup ini mudah sekali menjadi salah arah dan sia-sia.

Arahkan hidupmu untuk hal-hal yang baik, karena seperti yang dinyatakan dalam sutra, setelah kesempatan ini lepas, sungguh sulit untuk menjadi manusia kembali.

Semoga Sang Tri Ratna memberkati.

Rabu, 05 Mei 2010

PANDITA : sebuah cita-cita

Seorang anak bercerita kepada ibunya, bahwa kalau sudah besar nanti ia ingin menjadi pandita.

"Wah, hebat betul cita-citamu, nak," kata ibunya dengan kagum. "Kok bisa-bisanya tiba-tiba kamu ingin jadi pandita?"


"Ya iyalah bu, masa iya dong! Biar bagaimana pun, kan nanti saya harus ikut kebaktian kalau ke vihara. Nah, daripada saya terpaksa duduk diam saja mendengarkan orang lain, mendingan saya bebas berbicara yang saya inginkan!"

Selasa, 04 Mei 2010

PANDITA versus PETUGAS PARKIR

Ibu Pandita masih belum mahir memarkir mobil. Maklum baru punya SIM sebulan.

Beliau sedang berusaha memarkir mobilnya di mal.

Petugas parkir: "Priiit....ya, mundur, mundur.... Stop! Maju dulu bu, banting kanan..."

Ibu Pandita dengan susah payah mencoba mengikuti instruksi petugas parkir itu.

Petugas parkir : "Cukup, cukup... Sekarang mundur lagi bu, kiri... kiri..."

Ibu Pandita tertib mengikuti.


Petugas parkir melanjutkan : "Kiri..., kiri... balas, bu! Balas...!"

Ibu Pandita tiba-tiba berhenti dan turun dari mobil. Sambil mendatangi petugas parkir beliau berkata dengan sabar :
"Nak, jangan suka balas-membalas.
Saya ini pandita, jangan suruh saya membalas, biarpun orang membenci saya, memusuhi saya, saya engga mau balas kok...
"


Wkwkwkwk....!

Minggu, 02 Mei 2010

PANDITA SUSAH PARKIR

Seorang pandita selalu kesulitan mendapat tempat parkir untuk mobilnya. Maklum, di vihara itu selalu banyak umat yang ikut kebaktian, dan karena mereka kaya, hampir semuanya bawa mobil.

Romo Pandita sering harus parkir cukup jauh dari vihara, dan kemudian berjalan kaki.
Beliau menyampaikan masalahnya kepada para pengurus vihara.


Akhirnya pengurus vihara memutuskan untuk mengalokasikan tempat parkir khusus buat Romo Pandita. Tempat itu diberi tanda dengan jelas. PARKIR KHUSUS UNTUK PANDITA - YANG MELANGGAR AKAN DITINDAK TEGAS. Namun tetap saja tidak mempan. Lahan parkir itu tetap diserobot umat, dan Romo Pandita tetap terpaksa parkir di tempat yang jauh.

Minggu berikutnya Romo Pandita bisa parkir dengan nyaman. Tidak ada yang menyerobot lahan parkirnya. Selidik punya selidik, ternyata Romo Pandita menulis di tempat itu :

"YANG PARKIR DI SINI MINGGU DEPAN HARUS KOTBAH!"

Pantas saja tidak ada yang berani parkir di situ ...! Wkwkwkwk...!

(besok : PANDITA versus PETUGAS PARKIR)