Alkisah kemelut kerajaan Majapahit masih berlangsung namun masyarakat tidak dapat tinggal diam, karena perut tetap perlu diisi. Sedikit demi sedikit keadaan mulai pulih, dan para wiku pun mulai kembali kegiatan semula, termasuk berdiskusi Dhamma.
Melihat secara langsung penderitaan yang dialami sebagian masyarakat, banyak para wiku muda yang bertekad agar bisa mencapai tingkat kesucian, bahkan kalau bisa menjadi Arahat. Maka timbullah berbagai diskusi membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan cita-cita luhur setiap umat Buddha yaitu menjadi Arahat.
Ada yang membicarakan proses pencapaian untuk mencapai tingkat Arahat. Ada juga yang membagi tingkat-tingkat kesucian yang dapat dicapai oleh manusia. Ada yang membicarakan berbagai macam bentuk keterikatan yang telah dipatahkan oleh seorang Arahat.
Bahkan ada yang berdebat apakah seseorang yang secara fisik laki-laki tetapi secara kejiwaan wanita dapat menjadi Arahat!
Masih banyak lagi yang lain, sehingga setiap sore diskusi menjadi ramai dengan topik utama bagaimana menjadi Arahat secepat mungkin.
Seperti biasanya Wiku Sadayana tidak terlalu perduli dengan berbagai perbincangan Dhamma tersebut. Beliau asyik mencangkul di ladang hingga sore hari, atau sibuk membersihkan rumput rumput liar yang mengganggu.
Perdebatan bagaimana caranya menjadi Arahat menjadi hangat karena ada berbagai pandangan. Ada yang menyatakan harus dengan tekad kuat untuk melepaskan segala bentuk keterikatan barulah seseorang bisa menjadi Arahat. Ada yang berpendapat, lebih baik mencapai Arahat dengan usaha bersama, sehingga bisa saling mengingatkan dan saling membantu mereka yang tertinggal.
Seperti biasanya bila tidak ada kesepakatan, mereka mencari Wiku Sadayana yang sedang asyik merumput di ladang, untuk meminta tanggapan. Petang hari setelah membaca paritta, para wiku duduk dengan tertib untuk mendengar tanggapan dari Wiku Sadayana bagaimana caranya menjadi Arahat.
Wiku Sadayana: "Tadi ada beberapa wiku yang datang padaku menanyakan cara agar dapat menjadi Arahat dengan cepat. Apakah betul itu yang ingin kalian ketahui?"
Para wiku: "Benar Bhante, kami ingin sekali mencapai kebebasan."
Wiku Sadayana: "Kali ini, aku mengecewakan kalian. Aku sendiri belum tahu bagaimana caranya mencapai tingkat Arahat. Jika aku sudah tahu, tentunya aku sudah menjadi Arahat."
Mendengar pernyataan Wiku Sadayana, para wiku banyak yang merasa kecewa.
Selagi mereka kecewa, Wiku Sadayana melanjutkan: "Tetapi guruku yang telah almarhum pernah membicarakan apa yang perlu dilakukan agar bisa menjadi Setengah Arahat".
Salah satu di antara wiku tersebut bertanya: "Maksud Bhante apakah menjadi seorang Sakadagami?"
Wiku Sadayana: "Aku sendiri tidak tahu. Tapi menurut beliau, bukan Sakadagami. Setengah Arahat ya Setengah Arahat."
Mendengar jawaban Wiku Sadayana, para wiku menjadi gaduh. Mereka bingung apakah ada penggolongan Arahat yang lain, selain Empat Pasang Manusia Arya.
Wiku Sadayana: "Kalian semua jangan ribut. Yang jelas kalian semua setiap hari mengucapkan cara untuk mencapai Setengah atau Seperempat Arahat, atau Sepertiga, tapi yang pasti belum bisa mencapai Arahat."
Dengan terheran-heran seorang wiku akhirnya bertanya: "Ucapan Bhante membuat kita makin bingung. Mohon penjelasan agar kami semua mengerti."
Wiku Sadayana: "Setiap hari kalian mengucapkan Panca Sila.
Bila Sila itu diterapkan dengan sungguh-sungguh, tidak hanya berupa pencegahan perbuatan yang dilakukan jasmani, tetapi juga oleh pikiran, maka lama kelamaan bentuk pikiran yang melanggar Panca Sila tidak timbul lagi.Nah, menurut Beliau, paling tidak akan mencapai tingkat Setengah Arahat".