Suatu hari, Gubernur Mo lewat ditandu. Ia memakai baju berwarna kuning keemasan. Semua orang berhenti dan memberi hormat kepada Gubernur. Sedangkan Gubernur Mo sendiri terus memandang ke depan dengan gagahnya, tidak mempedulikan segal penghormatan yang disampaikan masyarakat.
Bapak Chang sangat kagum melihat peristiwa itu. Ia tertarik dan ingin memakai baju yang sama dengan gubernur, berwarna kuning keemasan. Maka ia pun pergi ke tukang jahit dan memesan baju seperti itu.
Pada jaman dahulu, tidak seorang pun boleh memakai baju berwarna kuning kecuali pejabat yang diangkat khusus oleh raja. Tak heran tukang jahit sangat terkejut mendengar permintaan Bapak Chang. Namun karena Bapak Chang terus memaksa, tukang jahit itu akhirnya bersedia membuatkan baju berwarna kuning keemasan baginya. Tapi dengan satu syarat: Bapak Chang harus berjanji bahwa baju itu hanya akan ia pakai di rumah saja, dan tidak boleh sampai ketahuan orang lain.
Demikianlah akhirnya Bapak Chang memiliki baju idamannya. Setiap malam, sehabis menutup toko, ia pulang ke rumah, mengunci pintu dan dengan hati-hati membuka lemari tempat baju simpanannya. Sehabis mandi ia segera mengenakan baju yang bagus itu, dan mematut-matut diri di depan kaca. Ia merasa sangat bahagia!
Seperti sudah kita duga, lama kelamaan Bapak Chang tidak lagi merasa puas sekedar mengenakan baju kuning di rumah pada malam hari. Ia mulai mengenakan baju kuning untuk keluar rumah! Tapi tentu saja, dilapis dengan baju hitam, supaya orang-orang tidak mengetahuinya. Itu pun sudah cukup untuk membuat Bapak Chang merasa sangat gagah. Ia berjalan dengan langkah tegap, menganggap seolah-olah semua orang sedang memberi hormat padanya.
Suatu hari, saat sedang berjalan-jalan di taman dengan memakai baju kuning (yang ditutupi baju hitam), Bapak Chang terkejut. Ada dua orang anak gadis yang menjerit minta tolong. Ternyata bola yang sedang mereka mainkan jatuh ke kolam dan hanyut agak ke tengah. Bapak Chang segera berlari ingin menolong. Angin yang berhembus, membuat kedua gadis itu melihat bahwa di balik baju hitam Bapak Chang, ada baju kuning. Mereka mengira bahwa Bapak Chang adalah seorang pejabat. Segera mereka mencegah Bapak Chang:
"Bapak pejabat, sudahlah, jangan membantu mengambil bola kami. Tidak pantas bapak pejabat masuk ke kolam hanya untuk sebuah bola."
Namun Bapak Chang yang pada dasarnya baik hati, tetap masuk ke kolam dan menolong mengambilkan bola untuk kedua gadis tersebut. Mereka sangat berterimakasih.
Nasib malang menimpa Bapak Chang. Dalam perjalanan pulang, bajunya yang basah dan bau ikan menarik perhatian anjing-anjing jalanan. Segera anjing-anjing itu menggigit baju Bapak Chang, sehinga sekarang semua orang bisa melihat bahwa Bapak Chang nekad memakai baju kuning tanpa seijin baginda raja.
Tak ayal polisi segera menangkapnya, dan Bapak Chang diseret ke hadapan gubernur untuk menerima hukuman yang setimpal. Dalam keramaian itu, dua anak gadis yang pernah ditolong oleh Bapak Chang, maju ke hadapan gubernur dan memohon ampunan bagi Bapak Chang. Mereka menceritakan kebaikan budi Bapak Chang.
Gubernur Mo dengan bijaksana memberi ampunan. Malah mengundang Bapak Chang untuk datang ke pesta kembang api yang memang sudah direncanakan akan diadakan malam harinya. Istimewanya lagi, gubernur mengijinkan Bapak Chang untuk mengenakan baju kuning kesayangannya, walau hanya satu malam, khusus hanya untuk acara malam itu saja.
Bapak Chang malam itu tidak datang menghadiri acara. Dari halaman rumahnya ia memandang ke langit, menikmati letupan warna-warni kembang api seorang diri.
Ia melihat ke arah bintang-bintang, dan bergumam:
"Aku seperti bintang. Tidak seterang matahari, juga tidak seindah bulan. Tapi tetap istimewa, seperti para bintang yang lain."
Diceritakan oleh Dorothee Bohlke, Garrett Educational Corp., Ada, Oklahoma, 1991.