Suatu pagi di kereta api, dari Delhi menuju Lucknow. Teman aki, orang India, memperkenalkan aki kepada seorang India lain yang duduk di sebelahnya. Beliau berpenampilan sangat rapi, rambut dan jenggotnya sudah putih semua, tapi masih nampak sehat dan ceria. Rupanya teman aki sudah menceritakan bahwa aki sering melakukan perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci Buddha, dan beliau langsung tertarik.
Bapak rambut putih berkata : "Saya adalah seorang -hmm, katakanlah- pencari kebenaran (seeker of the Truth). Saya tertarik dengan ajaran Buddha. Katanya, kebahagiaan itu akan kita dapatkan jika keinginan lenyapkan. Namun, bukankah keinginan untuk bahagia itu sendiri pun merupakan keinginan? Apakah tidak boleh kita mempunyai keinginan yang baik?"
Wah, repot juga nih. Pagi-pagi ditembak pertanyaan mendadak!
Aki pelan menjawab: "Bapak tahu kan nama saya Ananda? Pernah dengar cerita tentang YM Bhante Ananda?"
Bapak rambut putih menjawab: "Ya, saya dengar Ananda adalah salah satu dari lima murid Buddha yang pertama."
Aki menjelaskan: "Bukan, pak. Lima murid Buddha yang pertama di Taman Rusa adalah Kondanna, Vappa, Bhadiya, Mahanama dan Assaji. Bhante Ananda adalah -katakan- asisten pribadi Buddha. Beliau yang mengatur jadwal siapa yang mau menghadap Buddha, dan lain-lain. Karena beliau selalu hadir saat Buddha berkotbah dan beliau mempunyai ingatan yang sangat kuat, maka setelah Buddha meninggal, bhante Ananda diminta untuk mengulangi semua kotbah-kotbah Buddha."
Bapak itu menukas: "Oh, ya. Saya ingat itulah sebabnya kitab suci Buddha dimulai dengan 'Demikianlah yang telah kudengar'. Apa nama kitab suci Buddha?"
Aki menjawab: "Tipitaka, artinya tiga keranjang. Salah satu keranjang adalah kumpulan kotbah, dan itulah yang diulangi oleh bhante Ananda. Nah, pada saat pertemuan pertama para murid Buddha setelah Buddha meninggal, bhante Ananda diminta untuk mengulangi seluruh kotbah Buddha. Para peserta pertemuan semua adalah para arahat, yang telah mencapai kesucian. Padahal bhante Ananda sendiri belum mencapai tataran kesucian tersebut. Mungkin karena kesibukan beliau mendampingi Buddha semasa hidup, maka bhante Ananda kurang mendapat kesempatan berlatih. Karena itu beliau bertekad kuat, ingin mencapai tataran kesucian arahat sebelum pertemuan dimulai."
Kondektur lewat dan memeriksa karcis para penumpang.
Aki melanjutkan: "Nah, ini adalah keingnan yang baik. Bhante Ananda ingin mencapai kesucian, karena itu semalam suntuk beliau berlatih meditasi. Namun, sekuat apapun beliau berusaha, sampai menjelang fajar ternyata beliau masih belum berhasil."
"Then what happened?" tanya bapak rambut putih. Rupanya beliau semakin tertarik dengan cerita aki.
"Karena sudah cukup lelah berusaha, dan hari sudah menjelang pagi, maka kemudian bhante Ananda melepaskan keinginan untuk mencapai kesucian, dan merebahkan diri untuk beristirahat. Pada saat beliau merebahkan diri itu lah, bukan pada saat berdiri, bukan saat berbaring, bukan juga pada saat duduk bermeditasi maupun saat berjalan. Dalam posisi setengah berdiri dan setengah berbaring itulah beliau mencapai kesucian dan menjadi arahat. Justru pada saat beliau MELEPASKAN keinginan untuk menjadi arahat."
"Ah, that's very interesting!" kata bapak rambut putih. "Saya akan ingat cerita ini, tak akan saya lupakan."
Aki dan bapak rambut putih sama-sama tersenyum lega. Kereta terus melaju, suara rel beradu dengan roda kereta terdengar bagai musik yang merdu dalam irama yang padu. Bapak rambut putih bertanya lagi: "Please tell me more about Buddhism. I really want to know more about this religion."
Aki menjawab: "Wah, aki sendiri tidak tahu banyak, dan tidak pandai bicara. Mungkin kalau bapak menanyakan apa yang ingin bapak ketahui, aki coba menjawabnya, kalau aki tahu. Kalau aki tidak tahu, ya nanti aki bilang tidak tahu. Mungkin bisa sama-sama kita cari jawabannya dari orang lain yang lebih mengetahui. What do you want to know?"
Bapak rambut putih terdiam sejenak dan kemudian bertanya: "Siapakah Buddha? Apart from being a king or a prince or somebody from a royal family, who is he? Saya pernah mendengar beliau berasal dari sebuah kerajaan, tapi siapakah dia?"
Aki menjawab: "Yes, beliau berasal dari kerajaan Kapilavatthu, suku Sakya. Bekas-bekas sejarahnya masih bisa kita telusuri, dan beberapa tempat yang berhubungan dengan kehidupan beliau masih bisa kita lihat. Justru itulah yang aki lakukan, mendatangi kembali tempat-tempat bersejarah itu, dan merenungkan kehidupan beliau.
Banyak legenda dan mitos yang dikisahkan orang mengenai Buddha. Namun terlepas dari itu semua, melalui perjalanan ziarah yang aki lakukan, semakin meyakinkan aki bahwa Buddha sebenarnya adalah manusia biasa seperti kita. Maaf kalau aki lancang, tapi itulah yang aki rasakan.
Kalau bapak bertanya kepada aki siapakah Buddha, akan aki jawab ~
Buddha adalah seorang manusia sederhana, yang mengajarkan hal-hal sederhana kepada orang-orang sederhana seperti kita.
Sangat sederhana."
Bapak rambut putih berkata: "I like that! I like that! Tolong ulangi lagi tentang sederhana itu."
Aki tersenyum: "Buddha is a simple man, who teaches simple things to simple human beings like us."
"Ya, ya, ya!" kata bapak rambut putih dengan gembira. "Hidup memang sederhana. Itu yang selalu saya katakan kepada istri saya sejak sebelum pensiun. Tapi istri saya tidak percaya."
Aki menambahkan: "Aki juga pernah mendengar tapi lupa di mana, bahwa life is simple but we insist to make it complicated."Bapak rambut putih mengangguk-angguk. Sayang kita tak bisa berlama-lama, katanya. Rupanya beliau akan turun di stasiun berikutnya. Aki masih dua stasiun lagi.
"Baiklah," kata aki. "Kalau tidak salah aki pernah mendengar sebuah lagu India. Katanya hidup itu ibarat stasiun, banyak orang datang dari berbagai tempat, mereka bertemu dan berkenalan sesaat, kemudian berpisah untuk melanjutkan perjalanan masing-masing. Selamat melanjutkan kehidupan, bapak, semoga lekas menemukan Kebenaran yang bapak cari."
Bapk rambut putih mengulurkan tangan: "Dalam bahasa Hindi tak ada kata Good Bye. Kita hanya berpisah sementara tapi kita akan berjumpa lagi. Dalam hidup ini, atau dalam bentuk lain."
Aki tersenyum sambil menjabat erat tangan beliau. Terasa hangat, dan kami seakan dua saudara yang berat untuk berpisah meskipun tahu bahwa suatu saat akan bertemu kembali.
Suatu saat, entah kapan, entah di mana ...