Senin, 31 Mei 2010

POHON BODHI BUKANLAH POHON

Sesepuh ke lima, Hongren meminta semua muridnya untuk menuliskan pengalaman Dharma masing-masing. Tulisan terbaik akan berhak menjadi pewarisnya. Semua murid berpendapat bahwa sebagai murid tertua, pastilah Shenciu yang akan mewarisinya.

Di sebuah tembok Shenciu menulis,
"Tubuh adalah pohon Bodhi
Pikiran adalah tempat cermin bersih berkilau.
Usaplah setiap hari dengan penuh perhatian, tanpa henti,
agar tetap bersih dari debu duniawi
"

Semua murid terpesona dengan gatha ini.
Namun setelah membacanya, Sesepuh Hongren mengatakan bahwa gatha ini belum mencerminkan pencerahan.

Huineng adalah seorang murid yang berasal dari keluarga miskin dan buta huruf. Ia tinggal di vihara dengan tugas sebagai tukang giling gandum di dapur, karena ia yang buta huruf dianggap bodoh. Huineng meminta seorang temannya untuk membantunya menulis sementara ia mendiktekan:

"Pada hakikatnya tidak ada pohon pencerahan.
Tidak juga ada cermin bersih kemilau dan tempat berdirinya.
Karena sejak semula semuanya kosong,
di mana pula debu bisa melekat?"


Murid-murid yang berada di sana tercengang.
Sesepuh Hongren sadar bahwa Huineng-lah yang kelak akan meneruskan garis kepemimpinan. Namun khawatir bahwa hal ini dapat menimbulkan rasa iri dan benci di antara murid, Hongren pun berkata, "Ini juga belum mencerminkan keinsafan sejati, Hapus!!"

Murid-murid pun bubar. Huineng meneruskan kerjanya di dapur. Dengan diam-diam Hongren masuk ke dapur dan tanpa sepatah kata pun, memukul kuali tiga kali.

Malam itu Huineng datang menghadap Hongren tepat jam 3 pagi. Jubah dan patra tanda kepemimpinan pun diwariskan oleh Hongren kepada Huineng.

(Terimakasih kepada bung Suman Sutra yang telah memberi ilham untuk notes ini. Dan TERUTAMA kepada "semua para HUINENG"yang telah sudi menulis di dinding aki.)