Rabu, 26 Mei 2010

RENUNGAN WAISAK 2554 BE / 2010

Namo Sanghyang Adi Buddhaya
Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa
Namo Sarve Bodhisattwaya Mahasattwaya


Purnamasiddhi di bulan Waisak telah tiba, seluruh umat Buddha mengenang dan merenungkan kembali makna spiritual dan semangat yang dikandung dalam tiga peristiwa agung:
Pertama Kelahiran Pangeran Siddhartha Gautama di Lumbini, di sebuah taman yang indah. Beliau adalah Bodhisattva yang turun ke dunia dari surga Tusita untuk menjadi Buddha.

Kedua tercapainya Penerangan Sempurna, Petapa Gautama berhasil merealisasikan Nirwana dan menjadi Samyaksambuddha di Bodhgaya, di bawah pohon Bodhi.

Ketiga parinirwana Buddha Gautama di Kusinara, di antara dua pohon Sala kembar.
Peristiwa agung yang terjadi pada bulan waisak merupakan sebuah rangkaian kehidupan yang penuh dengan totalitas dedikasi dan karya besar bagi kemanusiaan, peradaban, dan alam semesta.

Realisasi spiritualitas keterbangunan nurani Sidharta bukanlah suatu capaian yang berangkat dari ketakutan atau penolakan sepihak terhadap penderitaan pribadi ataupun yang bersifat kebetulan karena sudah dipilih dan ditakdirkan, melainkan berangkat dari observasi langsung terhadap realitas kehidupan diiringi kepedulian terhadap derita semua agregat kehidupan, kemudian diperjuangkan dengan sepenuh hati tanpa kenal lelah.

Memaknai Waisak adalah memaknai Buddha, sebuah kapasitas mental untuk bangkit, mengasihi, peduli dalam memahami dan menghadapi realitas kehidupan, agar menjadi tercerahkan. Kapasitas mental tersebut kita miliki sebagai manusia, baik dalam bentuk benih-benih kecil maupun sudah menjadi tunas- tunas muda yang siap bangkit, tumbuh berkembang menjadi pohon-pohon pencerahan yang menyejukkan. Latihan yang dapat dilakukan untuk membangkitkannya adalah dengan menyiraminya dengan kesadaran, mengetahuinya sebagai sebuah realita bukan gagasan, bukan pendapat, bukan mitos, melainkan kenyataan yang dapat diraih secara terus-menerus tanpa dibatasi oleh waktu, ruang, dan keadaan.

Karakter bijak dan penuh kepedulian terhadap derita makhluk lain merupakan denyut nadi spiritualitas yang sesungguhnya. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dua karakter ini merupakan modal dasar untuk membentuk masyarakat, bangsa dan negara yang maju, harmonis, bermartabat. Kurangnya kepedulian terhadap sesama adalah awal dari tindakan mementingkan diri sendiri, memakmurkan diri sendiri, menyenangkan diri sendiri dengan cara apapun yang pada titik ekstremnya terdemonstrasikan dalam tindakan mencuri, korupsi, menggunakan wewenang secara salah sehingga menyuburkan sikap saling curiga, sikap saling tidak percaya, akhirnya terakumulasi menjadi krisis kepercayaan baik secara personal dan lebih parah pada dimensi institusional sebagai benih-benih keretakan.

Jika latihan spiritual kita semakin dalam, menekankan pada kebijaksanaan dan belas kasih, kita akan berkali-kali berjumpa dengan penderitaan makhluk hidup lain, dan kita akan memiliki kemampuan untuk mengenalinya, menanggapinya, dan merasakan belas kasih mendalam, alih-alih perasaan apatis atau tak berdaya. Ketika merenungkan penderitaan, janganlah jatuh dalam depresi. Ketika merenungkan kebahagiaan, janganlah jatuh dalam kesombongan atau merasa bahwa kita begitu penting.

Mengembangkan kebijaksanaan akan membantu kita untuk menghindari kejenuhan ini. Tetapi ini sulit untuk di generalisir karena keberanian dan ketangguhan masing-masing orang adalah berbeda. Inilah karakteristik yang membuat kita mampu mengenali dan merespon penderitaan orang lain.

Hidup berkesadaran adalah untuk dilakukan sepanjang hari, dalam segala aktivitas. Dengan senantiasa memelihara kesadaran untuk berdiam pada kekinian, maka kita akan memiliki perlindungan yang paling aman dan pasti. Dalam Samyutta Nikaya I : 208, tercatat Buddha Gotama menyatakan bahwa, "Bagi seseorang yang sadar, selalu ada kebaikan; bagi seorang yang sadar, kebahagiaan bertambah; bagi seorang yang sadar, segala hal membaik; walaupun ia belum terbebas dari para musuh. Namun, ia yang baik siang maupun malam mendapatkan kegembiraan dalam ketenteraman, membagi cinta kasih dengan semua yang hidup, ia tidak menemukan permusuhan dengan siapa pun."

Seiring dengan momentum wiasak ini, saya mengajak segenap umat Buddha untuk membantu memberikan kontribusi positif bagi upaya bersama membangkitkan kemajuan bangsa dan negara melalui internalisasi nilai-nilai spiritualitas dasar ke-buddha-an yakni kepedulian (karuna) dan kejernihan atau kebijaksanaan (prajna) dalam bingkai ke-Indonesiaan. Umat Buddha yang ada seyogyanya dapat menjadi bagian dari solusi, bukan justru menambah persoalan bangsa. Pekerjaan besar tersebut tidak lain merupakan wujud dari rasa kebangsaan atau nasionalisme, karena nasionalisme yang sesungguhnya juga mengandung sikap sadar berpijak pada realitas kekinian dalam konteks ruang dan waktu (sati sampajana) dan ditindaklanjuti dengan sikap kepedulian (karuna), sebuah sikap kontribusi.

Marilah kita internalisasikan pesan-pesan waisak yang lebih bermakna dalam kehidupan sehari-hari secara nyata agar terbentuk proses pembangunan karakter berbasis manusia, menjadi manusia utuh dan paripurna agar mampu memberikan kontribusi nyata untuk bangsa dan negara dalam bidang kita masing-masing.

Selamat Hari Waisak 2554 BE, semoga semua makhluk hidup berbahagia.



Mettacittena,
SANGHA AGUNG INDONESIA





Mahathera Nyanasuryanadi
Ketua Umum