Selasa, 11 Mei 2010

SRILANKA ~ MAITREYA

Setiap ke Sri Lanka, saya selalu menginap di Negombo. Sebuah kota pantai yang dekat dari bandara, dan karena itu paling efisien, apalagi karena pesawat dari Indonesia selalu mendarat di sana tengah malam.

Biasanya setelah satu malam di Negombo, baru keesokan harinya pindah ke hotel di tempat lain. Namun kali ini, saya menginap di Negombo terus sampai saat pulang kembali. Soalnya hotel yang rencananya saya inapi, tidak sanggup menerima tamu karena tidak punya air. Sri Lanka memang sedang dilanda kekeringan yang sudah berlangsung empat bulan lebih. Sungguh menderita rakyat yang kena kemarau panjang ini.

Buat saya sih, enak saja di Negombo. Soalnya saya sangat suka pantai yang bersih dan berhampar pasir luas itu. Dari jendela kamar terbentang panorama lautan, dan dari balkon saya bisa mendengar hempasan ombak yang bagai musik surgawi. Apalagi di dekat hotel ada restoran favorit saya, yang menghidangkan pizza "fresh from the wooden oven" sehingga rasanya asli tulen seperti di Itali. Mama mia ...!
Stop! Memang kalau soal makan saya ini penikmat luar biasa. Tapi bukan itu yang ingin saya bicarakan sekarang.

Negombo, selain sebuah kota pantai, juga jelas kelihatan sebagai 'kantong' (enclave) Kristen di negara yang mayoritas Buddhis ini. Patung-patung besar Yesus dan Maria nampak di persimpangan jalan dan di bawah pohon besar, menggantikan patung Buddha yang biasanya ada di tempat begitu. Nama-nama penduduknya pun berbau Portugis, mengingatkan saya pada daerah Lamno di Nangroe Aceh Darussalam yang penduduknya berkulit putih bermata biru. (Soal perjalanan ke Aceh, nanti ya saya ceritakan...)

Karena itu tidak sedikit pun terbersit dalam benak saya untuk mencari vihara di Negombo. Namun ternyata saya salah. Kali ini kebetulan ada satu hari Minggu yang bisa saya gunakan, sebab pesawat baru berangkat Senin subuh. Maka dengan penuh rasa syukur dan gembira, seperti biasa saya selalu bersemangat kalau ada acara mengunjungi vihara, mulailah saya menuju vihara yang terbesar di Negombo.

Vihara ini ternyata cukup terkenal. (Jadi saya salah. Bukan saja di Negombo ada vihara, tapi malah vihara yang terkenal!). Namanya Anguru Karamula Vihara.

Halamannya penuh dengan lautan kanak-kanak berpakaian putih. Tentu ini murid-murid sekolah yang pada hari Minggu belajar ke vihara. Saya paling tidak suka menyebut "Sekolah Minggu Buddhis". Jelas-jelas itu pinjaman dari dari "Zondag School" (yang Kristen!). Entah apa namanya di Sri Lanka ini.

Bangunan vihara ini cukup mencolok. Bentuknya aneh. Sebuah patung Buddha maha besar (12 meter tingginya?) terletak di atas atap Dhammasala yang rata. Dan patung besar itu ditutup lagi dengan sebuah atap yang ditopong dua buah pilar besar, berisi patung dewa. Di bawahnya tertulis, sumbangan dari sepasang suami-isteri dari Jerman. Namanya saya lupa. Kemudian bangunan Dhammasala itu sendiri juga mendapat sumbangan (antara lain) dari umat Buddha Korea.

Masuk ke dalam, sebuah pemandangan mengerikan langsung menerjang mata. Persis di depan pintu masuk, sesosok patung wanita sedang digorok lehernya oleh dua buah patung algojo neraka. Di atasnya duduk bersila seorang lelaki berkumis berjubah putih. Di belakang lelaki itu, para dewa dan dewi beterbangan.

Melewati pintu yang terletak di kiri dan di kanan patung seram itu, lantas saja saya masuk ke ruang dalam. Inilah 'sanctum sanctorum' tempat tiga arca Buddha gaya Burma duduk dengan manis di altar. Cahaya lampu neon menerangi ketiganya. Untunglah, sebab ketiga patung itu terletak di balik kelambu yang menerawang tipis dan memberi kesan mistis.

Beberapa ibu tengah asyik membaca paritta sendiri-sendiri, suaranya tidak beraturan sebab kan bacanya masing-masing, tidak seragam. Saya pun bersimpuh, bernamaskara. Selesai namaskara saya melihat ke langit-langit. Seperti lazimnya vihara di Sri Lanka, dhammasala ini pun penuh dengan lukisan dinding yang sebagian timbul berupa patung. Macam-macam episode dari kehidupan Buddha ditampilkan dengan artistik.

Keluar dari ruang altar, saya masuk ke ruang yang terletak lebih ke dalam. Di sini ada patung Buddha dalam posisi berbaring yang cukup besar. Lagi-lagi tembok dan langit-langit seluruhnya penuh ukiran dan lukisan. Menuju keluar, patung-patung Buddha berjajar di dinding. Bentuknya sama, tapi menurut rekan saya orang Sri Lanka, di bawahnya tertera nama Buddha yang berbeda-beda. Misalnya Dipankara, Kakusanda dan lain-lain. Saya mengiyakan saja, soalnya kan saya mah engga bisa baca tulisan Sri Lanka.

Nah, ada satu patung yang istimewa menarik perhatian saya. Sesosok pria yang tegap dan tampan, berkumis, berdiri. Di kepalanya terdapat hiasan berupa patung Buddha dari emas. Saya pun terkesiap. Inikah Bodhisattva? Saya teringat akan patung Avalokitesvara yang hampir selalu mengenakan hiasan rambut berupa Buddharupang. Rekan saya membaca, dan memberitahukan :
Inilah Maitreya Boddhisatva!

Aha! Pantas di belakangnya beriring aneka dewa dan dewi. Rupanya ini menggambarkan Surga Tusita tempat Metteya Bodhisatta menanti saat yang tepat untuk lahir ke bumi. Inilah kali kedua saya melihat patung Maitreya Bodhisattva di Vihara Theravada dalam perjalanan kali ini. (Sebelumnya di Wat Chena Songklam di Bangkok, kan?). Pertanda apa, ya?

Hampir menjelang pintu keluar, ada kotak sumbangan. Sebagai orang asing saya diberi kehormatan mengisi buku tamu. Tepat saya selesai, ada seorang bhikkhu muda yang datang. Saya tanyakan kepada beliau ihwal patung menyeramkan yang terdapat di pintu masuk. Penjelasannya, itulah gambaran seorang isteri yang sering berbuat jahat dan mendapat karma buruk di neraka. Di atasnya gambaran suaminya yang sering berbuat baik di dunia dan mendapat pahala surga. Wah, sexis sekali! Para feminis pasti protes atas chauvinisme lelaki model begini!

Bhikkhu itu menjelaskan lebih lanjut, bahwa dalam agama Buddha yang jahat masuk neraka dan yang baik ke surga, seperti dalam agama Kristen, katanya. Lho, bhante, saya ini kan juga umat Buddha, kata saya. Lalu saya tanyakan ihwal nama vihara. Bhikkhu itu menjelaskan, 'anguru' berarti arang. Mengapa namanya demikian, tidak ada yang tahu.

Setelah memberi penjelasan singkat, bhikkhu muda itu langsung pamit. Agaknya dia tidak ingin terlalu banyak bicara dengan umat awam. Hal ini menambah respek saya padanya.

Wah, saya sendiri kebanyakan bicara. Udah dulu deh, besok disambung dengan SRILANKA ~ SANGGABUANA.


26 Sep 2001