Pakaian favorit aki adalah baju putih lengan panjang tanpa kerah. Orang Islam menyebutnya baju sadariah. Orang Sunda bilang, baju koko. Orang Sumatra bilang, baju gunting cino.
Dalam perjalanan kali ini pun, baju tersebut setia menemani aki. Termasuk ketika naik bis dari Singapura ke Kuala Lumpur. Seperti lazimnya, bis berhenti sejenak di tengah perjalanan untuk memberi kesempatan pada pengemudi beristirahat, dan para penumpang bisa mengisi perutnya.
Aki ikut turun. Ternyata kedai itu cukup besar dan lapang. Ruangan tersekat dua. Yang lebih luas menjual dari bapau sampai hamburger, mulai nasi campur sampai bacang. Yang lebih sempit lebih sederhana. Hanya ada nasi dan beberapa lauk pauk. Di dindingnya bertuliskan : Makanan untuk Orang Muslim.
Mulanya aki menengok bagian itu. Sayang, sayurnya semua ada dagingnya.
Karena itu aki pun beranjak ke bagian yang lebih luas, siapa tahu ada sekedar telur goreng.
Sesampainya di sana, aki meminta nasi putih dan telur goreng.
Pelayan kedai bertanya : "Encik ni orang Muslim kah Cina?"
Aki tertegun, tidak jelas maksudnya.
Ia mengulangi pertanyaannya : "Saya nak tanya, encik ni orang Muslim kah,
atau orang Cina kah?"
Oo, baru aki mengerti. Aki jelas bukan Muslim. Tapi aki pun tak pernah merasa Cina, sejak kecil aki selalu menjadi anak Indonesia. Namun kali ini mau tak mau terlontar dari mulut aki : "Cina".
"Aaaa ....," sahut pelayan kedai itu lagi. "Kalau begitu bolehlah."
Rupanya ia was-was karena ada larangan bagi penjual makanan untuk menjual makanan non-Muslim kepada orang yang patut ditengarai sebagai Muslim.
Pasalnya ya baju aki itu. Apalagi karena udara di bis cukup sejuk ber-AC, aki menarik kain sarung dari dalam tas untuk dipakai sebagai selendang. Ala makjan ....! Rupanya pakaian cukup menentukan.
Untunglah akhirnya aki bisa menikmati juga nasi putih dan telur goreng.
Tapi rupanya bukan telur mata sapi, melainkan telur mata lembu ...
Bogor, 29 Maret 1999