Rabu, 07 April 2010

BANGKOK - Kampus Bhikkhu Indonesia

Ada waktu beberapa jam bagi saya sebelum jadwal pesawat berikutnya. Jelas,
kesempatan tidak boleh disia-siakan dan sayapun meluncur menunju Wat
Bovoranives
.

Tidak ada patokan yang jelas dalam menuliskan bahasa Thai ke huruf Latin. Beberapa orang menulis nama wat ini sebagai Wat Bowonivet, atau lebih singkat lagi, Wat Bowon. Orang Thai memang senang singkat-menyingkat. Tak heran Wat Benchamabopitr yang sulit diucapkan itu disingkat saja menjadi Wat Bencha. Beberapa sopir taksi malah lebih keren menyebutnya Wat Ben. Titik.

Kembali ke Wat Bovorn.
Dengan aneka perasaan saya membeli bunga teratai dan sebatang lilin kecil
plus tiga batang dupa dari penjual bunga di gerbang vihara. Inilah wat yang
punya pertalian erat dengan agama Buddha di Indonesia. Salah satu patungnya berasal dari Sriwijaya, konon. Kelak kemudian hari, beberapa Dhammaduta yang berasal dari vihara ini mampu mengukir sejarah dalam percaturan Sangha di Indonesia. Sampai sekarang pun, masih sejumlah bhikkhu Indonesia yang bermukim dan 'nyantri' di sini.

Siang itu dhammasala penuh sesak oleh rombongan anak-anak sekolah (kurang lebih setara SMP) yang mengadakan kebaktian bersama dengan diantar oleh guru-guru mereka. Tentu saja saya tidak bisa masuk, namun saya sempat melongok Buddharupa yang besar dan menggetarkan hati itu. Setelah melakukan amissa puja, saya pun melakukan padakhinna (pradaksina, mengelilingi vihara tiga kali). Udara panas tapi rasanya sejuk di hati.

Di belakang dhammasala terdapat stupa yang menjulang tinggi keemasan. Pradaksina saya lanjutkan, mengelilingi stupa sekarang, sembari mengagumi keindahan arsitekturnya yang unik. Empat buah paseban gaya Cina terdapat di setiap sudutnya. Di selasar bawah, patung para dewata Cina tampak menjaga dengan gagahnya. Di bagian atap paseban, terdapat lukisan dinding berbentuk timbul, menggambarkan (jangan kaget, ya?) kisah See-Yu alias Hsuan-tsang mencari Kitab Suci ke Barat. Di Bogor tentu saja lebih dikenal dengan serial Kera Sakti alias Sun Go Kong!


Masih di bagian bawah stupa, patung-patung dewa Hindu juga turut menjaga dengan garangnya. Patung batu dalam ukuran besar tersebut cukup menggugah pertanyaan : kok bisa-bisanya ada di vihara ya? Kisah Kera Sakti masih bolehlah, sama-sama Agama Buddha meskipun yang satu Theravada dan yang satu Mahayana (contoh bahwa dua-duanya bisa hidup berdampingan, dan engga ribut, lagi!). Tapi para dewa Hindu?

Satu bangunan lagi di belakang stupa, ada paviliun kecil. Berbeda dengan
tempat lainnya yang hening dan sepi, di paviliun ini banyak orang berdiri menunggu giliran dan berbisik-bisik. Di dalam paviliun ada Buddharupang, dan orang ke sana membawa bunga untuk berkonsultasi nasib (semacam ciamsi). Seorang lelaki bertugas meladeni para tamu (dan menerima uang). Saya tidak tahu bagaimana hubungan antara lelaki tersebut dengan pengelola vihara.

Tidak lama saya di sana, bergegas sayapun menyusuri bagian vihara yang
lain. Sekelompok bhikkhu ada di sebuah bangunan yang kelihatannya seperti kantor. Saya pun mendekat memberi hormat, dan bertanya apakah saya boleh berdana sedikit. Mereka tertawa-tawa geli sebab 'no english', kata mereka.
Saya disuruh mengetuk sebuah jendela tertutup, katanya disitu 'sepik inglis bhikkhu' tapi saya takut mengganggu. Maka mereka pun memanggil bhikkhu tersebut. Kulit putih, badan tinggi besar dan bahasa Inggrisnya lancar. Beliau tetap saja menyuruh saya menunggu di depan jendela yang ternyata adalah sebuah loket. Disitu saya ditanya mau menyumbang berapa. Uangnya tidak diterima oleh bhikkhu tersebut sebab bhikkhu tidak pegang uang, tapi harus saya taruh sendiri ke sebuah tempat yang memang sudah ada uang dari penyumbang sebelumnya. Saya mendapat sebuah piagam sebagai bukti tanda terima sumbangan tersebut, sebuah patung Buddha kecil (yang digoyang-goyang dan didengarkan oleh bhikkhu tersebut. Katanya berbunyi
seperti bel. Saya sih engga berani menggoyang-goyang Buddha, ih, takut karmanya ah!
) dan sejumlah medali Buddha. Saya ucapkan terimakasih kepada bhikkhu yang berayah Thai beribu Amerika itu.

Beliau menawarkan apakah saya mau bertemu dengan bhikkhu asal Indonesia. Namun sayang waktu saya mepet, sehingga saya terpaksa pamitan.


21 Sep 2001