Sabtu, 24 April 2010

Wiku Sadayana ~ SAHABAT SEJATI

Ditulis oleh : Tatang Gowarman

Setelah semalam diguyur hujan yang sangat lebat, daun-daun yang masih basah tampak berwarna lebih hijau berkilauan ditimpa cahaya matahari pagi. Saat itu Padepokan Wiku Sadayana kedatangan seorang pemuda dengan 2 orang pengiringnya yang membawa beberapa karung ketan, kedelai, gula kelapa dan berbagai kebutuhan lainnya.

Pemuda tersebut adalah Viryaguna, putra dari Upasaka Danavirya yang sering berdana untuk padepokan Wiku Sadayana sejak muda. Kedatangan rombongan ini diterima dengan ramah karena sebagian besar penghuni padepokan tahu hubungan baik antara Wiku Sadayana dengan Danavirya. Viryaguna sering datang bersama ayahnya; sehingga banyak cantrik yang sebaya yang menjadi kawan dekat Viryaguna.

Setelah santap siang mereka diantar ketempat untuk istirahat. Sore hari, Viryaguna beserta rombongannya ikut serta menguncarkan tembang mantram di Sanggar Pamujan. Usai pembacaan mantram, seperti biasa Wiku Sadayana menjawab berbagai pertanyaan dari para cantrik dan memberikan petunjuk yang sesuai dengan perkembangan masing masing. Setelah itu Wiku Sadayana menatap Viryaguna sambil tersenyum : "Viryaguna, engkau sudah besar sekali, tubuhmu tegap dan tampaknya sudah lebih tinggi daripada ayahmu. Ayo maju kesini, dan Bagaimana kabar ayah dan ibumu Viryaguna?"

Viryaguna maju kehadapan Wiku Sadayana. Setelah memberikan sembah sujudnya, Viryaguna menjawab : "Ayah dan ibu sehat dan sejahtera, eyang guru. Ayah mengirimkan beberapa karung ketan, kedelai, serta gula kelapa, juga sebotol minyak gandapura untuk Eyang Guru. Ibu juga mengirimkan selimut yang terbuat dari potongan potongan kain yang dijahitnya sendiri, untuk eyang."

Wiku Sadayana tertawa : "Ibumu pasti sangat repot menjahit selimut dari potongan potongan kain. Apa tidak menghabiskan waktu menjahit selimut seperti itu? Nanti jika engkau sudah kembali, sampaikan terima kasih dari eyang guru. Memang selimut itu eyang perlukan, karena yang lama sudah robek robek dan tidak lama lagi musim angin tiba. Biasanya di padepokan ini sangat dingin jika ada angin. Juga sampaikan terima kasih kepada ayahmu, dari seluruh cantrik di padepokan ini, atas kiriman berbagai bahan pangan dan keperluan dapur. Minyak Gandapura itu pasti berguna saat musim bediding yang biasanya sangat dingin disini."

"Baik, eyang guru, nanti akan disampaikan kepada ayah dan ibu," jawab Viryaguna.

Sambil tersenyum, Wiku Sadayana melanjutkan : "Viryaguna, ada apa lagi yang ingin kau sampaikan?"

Setelah ragu ragu sejenak, Viryaguna berkata : "Ada yang ingin kutanyakan eyang guru. Ayahku yang menganjurkan agar bertanya kepada eyang guru. Menurut ayah, eyang guru juga tahu dengan jelas."

"O, begitu," tukas Wiku Sadayana, "Apa masalahnya Viryaguna?".

Eyang guru, aku tidak mengerti mengapa ayahku marah padaku, padahal aku berusaha agar pengiriman beras ke ibukota kerajaan bisa lancar dan baik. Bahkan tindakan beliau minggu lalu, tidak masuk akal", kata Viryaguna.

"Hmmm," Wiku Sadayana bergumam, "Ayahmu biasanya sangat baik kepada siapapun, apalagi kepada putranya sendiri. Coba ceritakan dengan jelas awal mula kejadiannya bagaimana Virya?"

"Sejak tahun lalu, ayah menugaskan aku untuk mengurus pengiriman beras dan hasil panen lainnya ke pedagang di ibukota kerajaan. Sejak dulu kami menggunakan jasa pengiriman milik Mahesapala, teman ayah.
Tetapi akhir akhir ini sering terjadi masalah. Pengiriman sering terlambat, kalau bukan lembunya sakit, poros roda patah sehingga seharusnya 3 hari sudah sampai, ini baru sampai di hari ke 5, dan mengakibatkan pedagang yang di ibukota menjadi marah. Bahkan bulan lalu, lembu penarik pedati yang dipergunakan, sakit di perjalanan ditambah lagi atap pedati rusak, sehingga air hujan membasahi beras yang dibawa. Akibatnya kami menanggung rugi yang cukup besar.
"

"Lalu, apa yang dilakukan ayahmu Virya?"

"Pada saat itu ayah sedang pergi ke Ujung Galuh dan baru kembali sepasar (5 hari) kemudian. Aku memutuskan untuk mengirimkan beras lagi tanpa menggunakan jasa Mahesapala, tetapi menggunakan jasa milik ayah salah seorang temanku. Hasilnya baik, pengiriman lancar, tidak ada kerusakan dan tiba di ibukota tepat 3 hari kemudian.

Ketika ayah kembali, dengan gembira aku melaporkan penggantian jasa perusahaan pengangkutan tersebut dan hasilnya yang sangat baik.
"

Dengan nada kesal, Viryaguna melanjutkan : "Tetapi, alih alih mendapatkan pujian, ayahanda marah-marah kepadaku, dan mengatakan harus menggunakan jasa Mahesapala. Kemudian saat aku menjelaskan mengapa pengiriman melalui Mahesapala selalu terlambat, karena lembunya sudah tua, pedati yang dipergunakan sudah bobrok, ayah makin marah. Mengatakan bahwa aku tidak ingat budi, bahkan membentakku supaya diam."

"Tentu engkau sedih, kecewa dan marah," sambut Wiku Sadayana, "setelah itu, bagaimana kelanjutannya?"

"Keesokan harinya, ayah memanggilku untuk bersama paman pergi ke pengusaha pedati. Beliau memesan 4 pedati besar yang ditarik 4 ekor lembu. Hari berikutnya ayah menyuruhku mengirim 16 lembu yang terkuat milik kami untuk dikirim ke tempat Mahesapala. Saat itu aku menolak mengirim lembu tersebut. Tapi ayah memelukku dan mengatakan
'Nak, semua harta kekayaan kita ini bisa kita miliki dan kita nikmati karena kebaikan hati Mahesapala. Lakukan saja apa yang kusuruh. Minggu depan pergilah ke padepokan eyang guru. Tanyakanlah pada beliau mengenai Mahesapala. Beliau mengetahui masalah ini dengan baik’,
Demikianlah eyang guru, aku mohon penjelasan
".

Setelah merenung sejenak Wiku Sadayana :
"Viryaguna, ayahmu memang bijaksana. Dengan memintaku untuk menceritakan hal ini, beliau terhindar dari pembicaraan untuk membanggakan dirinya sendiri. Viryaguna, tentunya ayahmu pernah bercerita bahwa beliau sebelum memiliki usaha sendiri, beliau pernah bekerja sebagai pembantu petani di ladang."

"Betul eyang guru, ayah pernah bercerita seperti itu."

"Ayahmu Danavirya adalah pekerja yang ulet dan tekun, menyisihkan upahnya sedikit demi sedikit untuk membeli sebidang sawah."
Lanjut Wiku Sadayana : "Berbeda dengan petani yang lain yang biasa menjual hasil panen langsung kepada para pedagang yang datang ke desa, ayahmu memilih untuk mengirimkan sendiri gabah hasil panen ke ibukota dan menjualnya di sana," tutur Wiku Sadayana, dan sambil tersenyum melanjutkan : "Saat itulah aku yang sedang belajar di biara di ibukota bertemu dengan ayahmu. Sejak itu setiap kali ke ibukota, ayahmu pasti mampir di biara, serta berbincang bincang dengan aku".

Wiku Sadayana termenung cukup lama, seperti mengenang masa muda mereka, kemudian melanjutkan : "Pada awalnya semua berjalan lancar. Selain menjual gabah hasil sawah sendiri, ayahmu juga membeli gabah milik tetangga dan menjualnya ke kota dengan harga yang lebih tinggi. Tetapi pada suatu ketika, saat ayahmu berdagang dengan jumlah pengiriman yang cukup besar, ayahmu ditipu oleh seorang yang berpura pura ingin membeli seluruh gabah yang dibawa ayahmu. Ternyata ayahmu ditipu. Habis tidak bersisa uang beliau, hanya sawah dan benih yang masih tersisa. Musim panen berikutnya, tidak ada satupun perusahaan pengangkut yang bersedia mengangkut gabah milik ayahmu ke ibukota. Semua tahu bahwa ayahmu masih memiliki banyak utang. Hasil penjualan gabah itu tidak akan cukup untuk membayar utang, apalagi untuk membayar biaya pengangkut. Ada satu orang yang tetap percaya pada ayahmu. Orang itu adalah Mahesapala. idak hanya mengangkut gabah, tetapi Mahesapala juga memperkenalkan ayahmu kepada kenalannya seroang pedagang yang jujur. Dengan usaha ayahmu yang ulet, maka beliau dapat melunasi utang utangnya, menjadi makin makmur , terus sampai sekarang."

"Viryaguna, akhir akhir ini aku sering mendengar bahwa penipuan makin sering terjadi. Hubungan usaha yang sudah dijalin bertahun tahun bisa hancur hanya karena salah satu pihak berlaku curang hanya demi menambah keuntungan bagi dirinya sendiri. Banyak pula orang yang tidak lagi mementingkan persahabatan tetapi lebih mementingkan keuntungan diri sendiri. Seorang pengusaha seperti ayahmu, seorang yang berusaha menjalani hidup sesuai dengan Dharma, orang yang patut dibanggakan."

Setelah menghembuskan napas lega, Viryaguna berkata : "Eyang, kalau aku tahu kisah ini, tentu aku tidak akan menggantikan jasa pengiriman paman Mahesapala. Ayahku benar, dan aku bangga memiliki ayah yang setia pada orang yang pernah membantunya dulu."

"Bagus Viryaguna, bagus!" tukas Wiku Sadayana. "Ayahmu Danavirya dan Mahesapala bisa dijadikan contoh dari persahabatan sejati. Mereka saling membantu ketika salah satu sedang kesulitan. Mungkin ayahmu tidak mengetahui, bahwa sudah 1 tahun ini, istri dari Mahesapala sakit keras, yang memerlukan obat berharga mahal serta perhatian penuh dari keluarganya untuk merawatnya. Mungkin karena perhatian Mahesapala tercurah pada upaya mengobati istrinya, maka perhatian pada perawatan pedati serta lembu menjadi kurang."

"Oh, kiranya demikian eyang guru," kata Viryaguna. "Esok pagi aku pulang, dan akan kusampaikan berita ini kepada ayah."

"Bagaimana Viryaguna, sudah puaskah engkau?" tanya Wiku Sadayana sambil tersenyum.

"Sudah eyang guru. Aku mohon pamit untuk kembali ke pondokanku, untuk cepat beristirahat, karena besok pagi pagi aku akan pulang ke rumah."

"Baiklah, kalau tidak ada hal yang lain lagi, kita semua kembali ke pondok masing masing untuk istirahat."

Setelah menghaturkan sembah sujud kepada rupang Hyang Guru Buddha, semua meninggalkan Sanggar Pamujan, untuk beristirahat di pondok masing masing, dan tak lama kemudian padepokan diselimuti keheningan malam.

Dhyanaloka, Maret 2010