Ke arah belakang Wat Bovorn, menyusuri daerah pertokoan yang juga dipadati pedagang kaki lima, kita akan tiba di sebuah wat yang tidak terkenal di kalangan turis. Saya sendiri salah masuk, malah masuk dari bangunan kompleks perumahan di sebelahnya, dan baru belok ke bagian belakang wat tersebut. Ada sebuah stupa besar yang sedang dipugar.
Karena saya masuk dari pintu belakang, saya malah 'berjodoh' melihat-lihat aneka patung Buddha yang ditaruh di gang sebelum kita masuk ke ruang Dhammasala. Patung-patung itu cukup besar. Tidak disediakan tempat lilin dan dupa di depannya, memang, tapi toh cukup megah dengan berbagai hiasan altar sebagaimana layaknya vihara di Thai.
Yang menarik, ada sebuah patung Maitreya a la Cina turut duduk di sana. Lengkap dengan senyumnya yang lebar dan perutnya yang gendut. Patung ini cukup populer, rupanya, terbukti banyak kertas emas yang tertempel di tubuhnya.
Memang di Thai selain mempersembahkan lilin dan dupa, umumnya orang pun mempersembahkan kertas emas untuk ditempelkan di patung, di ukiran dinding, atau di mana saja yang kita inginkan. Lebih baik daripada membakar kertas yang malah membuat hitam ruangan kena abunya.
Begitulah setibanya di pintu depan, saya pun menyalakan lilin dan dupa, serta juga menempelkan sehelai kertas emas di sebuah Buddha-rupang. Seluruhnya ada lima buah patung yang diletakkan di kiri kanan pintu pasuk, dan masing-masing terkesan punya 'spesialisasi' tersendiri. Artinya, ada orang-orang yang lebih 'fans' sama patung tertentu, sebab mungkin saja lebih 'manjur', barangkali.
Wat yang sederhana ini tetap saja mengesankan kemegahan. Ruang dhammasalanya besar dan lebar, berlapis karpet empuk. Dua buah patung Buddha (maha) besar menempati altar utama. Yang agak lain, di kiri kanan altar ada puluhan lilin besar menyala, lengkap dengan tulisan nama penyumbangnya, seperti di kelenteng di Indonesia. Bedanya lilin di sini berwarna kuning, bukan merah. Masih ratusan batang lilin yang siap dinyalakan menanti giliran, semuanya sudah komplit dengan nama dermawan yang memohon 'sesuatu', tentunya.
Saya masuk, bernamaskara, lalu meditasi. Wah, alangkah nyaman dan damainya tempat ini! Lebih setengah jam saya menikmati ketenangan, dan rasanya sayang ketika merasa harus mengakhirinya sebab sudah harus bergegas ke bandara.
Meskipun tidak tertera di brosur wisata, wat yang bernama Wat Chena Songklam ini masih tetap mendapat kunjungan para wisatawan mancanegara. Saya bertemu dengan lima kelompok turis bule saat menuju ke gerbang ke luar. Seorang anak lelaki di antaranya, dengan mantap memukul genta besar yang ada di halaman sehingga berbunyi dengan merdu.
Di halaman samping, menjelang keluar pintu utama, ada beberapa upasika atthasila (kasihan, perempuan Thai tidak bisa jadi bhikkhuni. Mereka paling banter jadi upasika atthasila dengan jubah putih, tapi tetap harus gundul). Mereka sedang sibuk memasak, entah buat siapa, soalnya pasti mereka tidak akan makan lagi sebab waktu itu sudah menjelang senja.
Di pintu utama (saya masuk dari pintu belakang tapi keluar dari pintu depan), ada seorang upasika lagi, sudah tua. Beliau menjual dupa, lilin dan bunga. Entah bagaimana cara bayarnya, apa diperbolehkan memegang uang?
23 sep 01