Jumat, 23 April 2010

Debat Bisu Nomer 2

Sesuai tradisi Zen, bila berhasil memenangkan perdebatan di vihara yang dikunjunginya, seorang bhikshu pengembara boleh menetap di vihara tersebut. Sebaliknya bila kalah, ia harus meneruskan pengembaraannya.

Di sebuah vihara di utara Jepang, tinggal dua oranmg bhikshu. Yang tua terpelajar, namun yang muda kurang pandai. Bhikshu yang muda ini matanya cacat, hanya tinggal satu.

Seorang bhikshu pengembara datang dan meminta berdebat.
Bhikshu yang tua sudah lelah, dan menugaskan yang muda untuk melayani bhikshu pengembara itu berdebat.
"Ajak berdebat tanpa suara saja," katanya.

Maka bhikshu muda dan bhikshu pengembara masuk ke dharmasala dan duduk berhadapan.

Tak lama kemudian bhikshu pengembara bangkit, menghadap bhikshu tua dan menyerah :
"Bhikshu muda itu sangat pandai. Saya akan meneruskan perjalanan."

"Jelaskan," kata bhikshu tua.

"Demikianlah," kata bhikshu pengembara, "saya mengacungkan satu jari, lambang Buddha. Ia mengacungkan dua jari, yaitu Buddha-Dharma. Saya acungkan tiga jari, melambangkan Tri Ratna (Buddha-Dharma-Sangha). Ia mengepalkan tinjunya, tentu maksudnya menegaskan bahwa baik Buddha, Dharma, maupun Sangha merupakan satu kesatuan karena semuanya adalah KESADARAN. Ia menang dalam perdebatan ini. Saya tidak berhak tinggal di sini, dan saya pamit, meneruskan perjalanan."

Tidak lama kemudian bhikshu muda datang sambil marah-marah.
"Mana bhikshu kurang ajar itu?" ia bertanya pada bhikshu tua.

"Lho, bukannya kamu sudah menang berdebat?"

"Menang apa? Aku ingin menghajarnya!"

"Kenapa?"

"Begitu duduk ia langsung mengacungkan satu jari, mengejek karena aku cuma punya satu mata. Namun mengingat statusnya sebagai tamu, aku masih menghormatinya. Aku acungkan dua jari, memuji dia yang lengkap mempunyai dua mata. Eh, dia malah mengacungkan tiga jari, menegaskan bahwa kalau dijumlah tetap saja tiga buah mata. Tentu saja aku marah dan aku kepalkan tinju. Ia segera lari..."


(kemarin udah baca DEBAT BISU NOMER 1?)