Ditulis oleh Tatang Gowarman
Seperti lazimnya, seusai penguncaran mantra, para murid Wiku Sadayana berkumpul di ruang pamujan disertai dengan wedang jahe hangat. Kali ini agak istimewa karena hampir semua murid tetap hadir ingin mendengarkan petunjuk dari Wiku Sadayana atas pertanyaan Danaviriya kemarin, mengenai tata krama masyarakat yang makin merosot.
Setelah berdehem-dehem sejenak untuk melonggarkan tenggorokannya, Wiku Sadayana berkata : "Muridku semua, kemarin Danaviriya menuturkan keresahannya, karena melihat dan mengalami sendiri, betapa merosotnya tata krama masyarakat sekarang ini. Sikap adigang-adigung, meremehkan orang lain, kata-kata yang kasar, mudah tersinggung dan marah, pertengkaran dan perkelahian karena hal sepele makin sering terjadi. Dan ini semua membuat Danaviriya risau, karena selain tidak sesuai lagi dengan ajaran dari ayahandanya, juga sudah jauh berbeda dengan keadaan yang terjadi pada saat Danaviriya masih remaja. Dan ini disebut-sebut dalam perbincangan di kedai, di pasar dan di warung, sebagai penyebab dari makin sering terjadinya bencana akhir akhir ini, bukankah demikian Danaviriya?"
Dengan menghatur sembah, Danaviriya menjawab : "Betul Guru".
"Kemarin aku menjelaskan mengenai terjadinya bencana alam. Ada yang terjadi karena hukum alam sendiri memang demikian, dan ada juga yang terjadi karena ulah manusia. Adalah kurang tepat kalau dikatakan semua bencana akibat tata krama yang makin merosot. Tetapi kalau terjadi karena keserakahan manusia yang membuat dia bertindak mengabaikan hukum alam, hal itu memang betul dan bisa terjadi. Contohnya jika sebuah desa, untuk mengejar kemakmuran, terus menerus menebangi hutan di sekelilingnya. Selain mengakibatkan hawa makin panas, mata air menjadi kering, pada musim hujan kebanjiran, terjadi pula longsor yang membahayakan penduduk. Terus menerus mengambil pasir dari sungai sehingga alur sungai menjadi berubah dan menggerus tebing, mengakibatkan longsor. Itu semua karena keserakahan dan kebodohan, bukan karena penduduk di desa itu mudah marah, sering bertengkat, sudah tidak rendah hati lagi. Tata krama yang makin merosot lebih merupakan akibat dari keserakahan, kebencian dan ketidak-tahuan masing masing orang.
"Danaviriya, orangtuamu benar dengan mengatakan bahwa manusia yang tidak mampu mengendalikan marah adalah manusia yang kurang beradab. Karena pada saat marah, manusia dapat mengucapkan kata kata kasar, mengayunkan tinju dan bahkan menebas orang lain dengan parang. Bukankah itu semua adalah perilaku dari orang yang tidak beradab? Perilaku seperti itu jika tidak diwaspadai akan menjadi kebiasaan. Dia menjadi mudah tersinggung, di rumah juga menjadi ringan tangan. Jika sudah jengkel, maka keluarga yang menjadi korban. Tata-tentrem dan keselarasan dalam hidup berkeluarga menjadi kacau, semua menjadi menderita.
"Manusia menjadi kurang sabar, karena kebiasaan mawas diri yang dahulu diajarkan para leluhur kita sudah ditinggalkan. Alih-alih bersemedi, mereka sibuk menghamburkan nafsunya dengan minum minum tuak di kedai, bertayub dengan ronggeng. Jelaslah kemampuan mereka untuk menahan diri menjadi turun, menjadi mudah tersinggung dan marah. Dan untuk membiayai kehidupan seperti itu, mereka menjadi lebih serakah. Tidak mempedulikan lagi aturan yang baik yang berlaku. Mencuri, menipu, memeras, menghabiskan sumber alam yang berharga tanpa mempedulikan akibatnya yang berbahaya bagi penduduk, karena hukum alam berlaku dan berjalan dengan aturannya sendiri."
"Guru, bagaimana selanjutnya kita bersikap menghadapi keadaan seperti itu?", tanya Citramatra.
"Hyang Guru Budha memberikan wejangan kepada kita semua untuk tidak bergaul dengan orang yang bodoh atau dungu. Yang dimaksud di sini dengan orang dungu adalah orang yang tidak bisa membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk. Mereka menganggap wajar perbuatan membunuh, mengambil milik orang lain, melakukan hubungan kelamin bukan dengan pasangan hdupnya, menipu dan berbohong, ataupun bermabuk mabukan , madat selama perbuatan ini menyenangkan hatinya dan memuaskan nafsunya, dianggap sebagai hal yang biasa; orang orang ini disebut sebagai orang dungu, oleh karena itu sebaiknya kita tidak bergaul dengan mereka.
Seperti kemarin aku katakan, kita tidak bisa mengendalikan pikiran orang lain, tetapi kita bisa mengendalikan pikiran kita sendiri, sesuai dengan petuah dari para leluhur kita untuk selalu eling dan waspada, artinya selalu mawas diri dan berhati-hati.
"Selalu bertindak jujur, berbicara dengan ramah kepada siapapun, hormat kepada orang lain apalagi kepada orang tua kita, guru dan orang yang lebih tua dari kita, janganlah mengharapkan kemalangan terjadi pada orang yang tidak kita sukai, kita harus selalu mengharapkan agar yang terbaik dan bermanfaat yang terjadi pada diri kita maupun pada orang lain."
"Danaviriya," lanjut Wiku Sadayana, "tidaklah mudah melakukan hal hal tersebut dalam lingkungan masyarakat yang kurang memperhatikan tata krama dan pekerti yang luhur, tetapi engkau perlu melakukannya untuk kebaikanmu sendiri, selain memberi teladan kepada keluargamu, pekerja yang membantumu, orang sedesa denganmu. Jika ada yang mengolok olok atau menghinamu, anggap saja itu adalah bagian dari olah batinmu untuk melatih kesabaran. Jangan mengurusi apa pikiran orang lain, tetapi urus saja pikiranmu, perkataanmu dan perbuatanmu".