Minggu, 20 Desember 2009

Wiku Sadayana ~ Menghadapi Bencana

Ditulis oleh Tatang Gowarman

Suatu siang yang sangat panas, Upasaka Danaviriya salah seorang pengikut Wiku Sadayana datang dari kota ke padepokan tempat Wiku Sadayana tinggal. Dia membawa kain untuk diberikan kepada para murid Wiku Sadayana yang sudah membutuhkan pakaian.

Menjelang senja setelah istirahat dan mandi di pancuran yang dingin airnya, Danaviriya menuju ruang pamujan, dan disana telah berkumpul penghuni padepokan yang lain untuk memulai penguncaran mantra suci. Setelah mendapatkan tempat duduk yang sesuai, Danaviriya dengan sungguh-sungguh mengikuti penguncaran mantra suci sampai selesai.

Seperti biasanya, para murid wiku yang membutuhkan petunjuk, masih tetap berada di ruang tersebut. Sedangkan yang lainnya kembali ke pondok masing-masing untuk bersemedi atau membaca lontar, atau beristirahat bagi yang sudah merasa lelah. Seorang murid masuk, membawa seteko wedang jahe hangat dengan beberapa cangkir bambu, dan dibagikan kepada yang masih hadir disitu.

Danaviriya tetap berkumpul dengan beberapa murid lain. Setelah Wiku Sadayana mengetahui kehadirannya, dengan gembira Wiku Sadayana menyapa: "Damai dan sejahtera bagimu Danaviriya. Ayo mari duduk di sini. Berapa malam kau akan bermalam disini Danaviriya?".
Danaviriya segera mendekat dan memberikan sembah sujudnya kepada wiku yang telah dianggapnya seperti orang tuanya sendiri, kemudian berkata : "Rahayu Guru, aku berniat menginap 2 malam di sini", setelah itu dia mundur, mencari tempat duduk bersama-sama dengan murid wiku yang lain.

Seperti biasa para murid satu per satu menceritakan apa yang mereka lakukan dan menanyakan hal hal yang kurang jelas bagi perkembangan batin mereka. Selama pembicaraan itu, Wiku Sadayana sekali-sekali melirik Danaviriya yang tampaknya sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri, dengan kening berkerut.

Ketika perbincangan dengan para murid telah usai, Wiku Sadayana dengan senyum lebar menegur Danaviriya : "Danaviriya, ayo ini wedang jahenya diminum dulu! Setelah itu, ada berita menarik apa yang akan kau ceritakan kepada kami?"

Danaviriya tertegun sejenak. Setelah meneguk wedang jahe yang sudah mulai dingin dia berkata:
"Guru, sebetulnya tidak ada berita yang penting. Namun aku gelisah memikirkan beberapa hal yang tampaknya kini sudah jauh berbeda dibandingkan dulu pada waktu aku masih kecil".

Wiku Sadayana: "O, apa itu yang kini berbeda dibandingkan ketika masih kecil?"

"Mungkin ceritanya agak panjang guru," sahut Danaviriya.

"Tidak apa apa, toh kau bermalam di sini, dan tidak ada kegiatan apa apa lagi selain beristirahat setelah ini. Ayo ceritakan dengan santai”, kata wiku.

"Begini guru", tutur Danaviriya. "Pada waktu aku masih kecil, ayahku sering memberikan nasehat dan contoh yang baik, seperti tepo-seliro, kita berusaha menghindari kata kata atau perbuatan yang menyakiti orang lain; bebasan, bertutur kata yang ramah dan menyejukkan; tetapi sekarang ini sudah sangat berbeda. Orang berbicara dengan kata-kata yang kasar, yang dibalas lagi dengan kata-kata yang kasar. Berlaku semau-maunya tidak memperdulikan perilakunya kurang menyenangkan bagi orang lain. Misalnya, sudah larut malam, masih saja menabuh gamelan keras keras. Jika dulu, orang yang menunggang kuda sudah turun dari kuda sebelum masuk ke pekarangan rumah, sekarang sudah tidak begitu lagi. Sikap santun kepada orang yang lebih tua sudah berkurang, yang dikedepankan adalah harta, manusia diukur dari harta yang dimilikinya.

"Andap asor, sifat rendah hati yang diajarkan sebagai budaya kita yang luhur sudah jarang terlihat, malahan menyombongkan pangkat kedudukan. Yang kaya memamerkan kekayaannya walaupun kita tahu cara mendapatkan kekayaanya kurang jelas. Tapi si kaya ini karena banyak menyumbang, dipuja-puja oleh orang banyak. Yang miskin berusaha mendapatkan lebih dari apa yang seharusnya, sedangkan yang pintar tidak segan-segan menggunakan kepandaiannya untuk mengakali yang tidak waspada. Ayahku mengatakan bahwa orang yang beradab adalah orang yang mampu mengendalikan batinnya untuk tidak marah, dan aku dinasehati untuk melatih kesabaran, karena kesabaran adalah cara membina diri yang paling baik. Tetapi kenyataan sehari-hari, aku melihat banyak orang menjadi marah hanya karena masalah kecil, mereka mudah tersinggung dan bukannya mampu menahan diri, malahan kemarahan dipertontonkan agar orang lain takut. Hampir tiap hari kita bisa mendengar terjadinya kemarahan, pertengkaran, penipuan, pemaksaan dan lain lain yang sudah tidak sesuai dengan tata krama luhur yang dulu selalu diajarkan oleh para sesepuh. Ini semua membuat hatiku risau, akan kemanakah kita-kita ini?

"Seiring dengan bencana kekeringan, banjir bandang, gunung yang meletus, longsor yang berulang ulang terjadi, banyak dibicarakan di kedai sebagai akibat dari ulah kita, para manusia yang serakah dan sudah kelewat batas melanggar tata krama, menyinggung hati para dewa karena petuahnya tidak diturut. Namun yang berbicara seperti itu, perilakunya juga sama saja, tidak ada bedanya dengan yang lain. Apakah benar semua ini hukuman dari para dewa bagi kita, Guru?"

Senyap ruangan itu, semua yang hadir meresapi kata kata Danaviriya, dan meng-ia-kan dalam hati bahwa apa yang diungkapkan Danaviriya memang benar, telah terjadi dan bahkan tampaknya makin menjadi-jadi.

"Danaviriya", tukas Wiku Sadayana setelah merenung cukup lama; "Hyang Guru Buddha, pernah mengajarkan bahwa ada hukum alam yang bekerja sesuai dengan aturannya, dan ada hukum Karma yang bekerja sesuai aturannya juga. Bencana alam ada yang disebabkan karena ulah manusia, misalnya banjir dan kekeringan karena hutan sudah habis dibabat untuk membangun rumah dan kayu bakar, tetapi juga bisa karena memang hukum alam yang bekerja sendiri misalnya musim kemarau berkepanjangan yang menimbulkan kekeringan dimana mana atau hujan deras yang berlebihan sehingga terjadi banjir; atau gempa, atau gunung meletus. Jadi jangan semuanya disama ratakan sebagai akibat dari ulah manusia. Tetapi hal ini kadang kadang dimanfaatkan oleh orang pandai yang sedang mencari pengikut, orang yang tidak mengerti, ditipu. Kejadian alam yang memang sudah waktunya terjadi, dianggap sebagai hukuman dari para dewa akibat dari ulah manusia yang tidak menghormati para dewa, dan orang orang ini lalu dianjurkan untuk lebih taat lagi melakukan upacara-upacara pemujaan kepada dewa tertentu."

"Lalu kita harus bagaimana Guru?", tanya Danaviriya.

Wiku Sadayana mengelus-elus jenggotnya dan sambil tersenyum dia meneruskan: "Perlu kita pahami bahwa kita hanya bisa mengendalikan pikiran, perkataan dan perbuatan kita. Sedangkan pikiran, perkataan dan perbuatan orang lain, tidak bisa kita kendalikan. Oleh karena itu, Danaviriya dan muridku sekalian, berpikirlah dahulu sebelum berkata dan melakukan sesuatu, apakah hal itu bermanfaat bagimu dam bagi orang lain. Jika bisa menyebabkan kemalangan, kerugian atau kesedihan kepada orang lain seperti juga kepada dirimu sendiri; maka perkataan atau perbuatan tersebut sebaiknya jangan dilakukan. Sebaliknya jika baik bagimu dan juga bagi orang lain, maka perkataan dan perbuatan itu memang patut dilakukan."

"O, Guru, indah sekali petuah Guru. Selanjutnya bagaimana menyikapi bencana yang terus menerus terjadi?", sahut Citramatra, murid paling senior dari Wiku Sadayana.

"Bencana yang terjadi karena hukum alam yang bekerja, tidak bisa kita cegah, tetapi bukan berarti kita pasrah saja. Kita perlu selalu menimbang, selalu berpikir dengan bijaksana, misalnya, padepokan ini berada di lereng gunung yang curam tetapi aku tidak membangunnya di tempat yang ada kemungkinan terkena bencana longsor jika terjadi gempa, atau banjir. Aku memilih di lereng yang terlindung oleh lembah, sehingga jika bukit dibelakang ini longsor, maka longsoran tersebut akan masuk kedalam lembah yang cukup dalam tersebut, tidak langsung menghancurkan padepokan beserta penghuninya. Selain itu juga bukankah kita semua sudah menanam banyak pohon yang berakar kuat di belakang pondok ini dan di seberang lembah untuk mengurangi kemungkinan buruk dari longsor.

"Sebaliknya jika kita mengetahui bahwa penebangan pohon yang berlebihan di hutan di atas bukit itu dapat menjadi penyebab longsor saat gempa atau hujan, kita perlu berupaya merawatnya, seperti kukatakan tadi, dengan menanam pohon yang berakar kuat.. Jika kau Citrawirya menebang pohon untuk mendapatkan kayu untuk memperbaiki pondok, aku selalu menanyakan berulang-ulang, apakah sudah menanam pohon pengganti. Karena aku berulang kali menanyakan, kau kadang-kadang jengkel dan menganggapku cerewet, bukankah demikian Citrawirya?", tukas Wiku Sadayana sambil terkekeh-kekeh.

Dengan muka merah, Citrawirya menghaturkan sembah kepada Wiku Sadayana seraya berkata : "Mohon maaf guru. Memang kadang-kadang aku merasa jengkel, tapi sekarang setelah tahu mengapa harus menanam pohon pengganti, aku lebih paham. Dan selanjutnya aku berusaha tidak jengkel lagi jika Guru menanyakan."

"Bagus, bagus Citrawirya. Mungkin Gurumu waktu itu lupa menjelaskan mengapa perlu menanam pohon pengganti. Selanjutnya dengan pemahaman ini, tentunya kau akan melakukan hal yang terbaik untuk mencegah dan melindungi padepokan ini dari bahaya longsor".

"Baik Guru, akan aku perhatikan dan lakukan", sahut Citrawirya.

"Nah, karena aku lihat beberapa dari kalian sudah mulai mengantuk, pembicaraan mengenai berkurangnya tata krama di masyarakat, akan kita bicarakan besok pagi saja, ayo kita habiskan wedang jahe masing masing, dan cangkirnya dibersihkan serta dikembalikan ke tempatnya".


(bersambung .... Mengurus Diri Sendiri)