Suasana Padepokan di siang yang terik itu betul betul sunyi dan lengang. Tidak ada angin bertiup. Hanya terdengar dengung lebah madu yang sibuk mengumpulkan sari bunga.
Wiku Sadayana baru saja berteduh sambil mengipasi badannya yang terasa panas, setelah mencabuti rumput liar yang tumbuh di ladang jagung. Tiba tiba terdengar teriak kesakitan dari balik belukar yang sedang dibersihkan. Mendengar teriakan itu beberapa cantrik padepokan berlompatan mencari asal teriakan tersebut, yang disusul dengan suara mengaduh. Mereka bergegas menghampiri sumber suara dan menemukan Citrabala sedang memegang kaki kirinya dengan wajah pusat pasi, sambil berkata: "Ular! Ular! Ada ular menggigit kakiku".
Mereka melihat kaki Citrabala yang digigit ular mulai bengkak. Segera mereka mengangkatnya ke pondok terdekat.
Citrawirya yang bersahabat dekat dengan Citrabala mendesak maju dan bertanya : "Ular apa yang menggigitmu, Citrabala?"
Dengan menahan sakit Citrabala menjawab : "Ular weling, yang belang belang hitam dan kuning".
Dengan cemas Citrawirya menukas : "Wah itu beracun ganas".
Sigap Citrabala dibaringkan. Tanpa merasa jijik Citrawirya segera menghisap luka Citrabala untuk mengeluarkan darah yang beracun.
Sementara itu Wiku Sadayana tiba. Setelah mendapat penjelasan, Wiku Sadayana segera menyuruh Citramatra untuk menyiapkan ramuan anti bisa ular untuk mengobati Citrabala yang tampak sangat menderita.
Selama 2 hari 2 malam Citrabala kesakitan menderita panas dingin. Untunglah tubuhnya kekar kuat. Pada hari ke tiga Citrabala mulai sembuh dan sudah bisa berjalan dengan bantuan tongkat.
Sore harinya Citrabala dengan dipapah 2 cantrik yang lain, berjalan menuju Sanggar Pamujan untuk mengikuti pembacaan tembang mantram.
Usai pembacaan mantra suci, seperti biasanya para cantrik menunggu petuah dan petunjuk dari Wiku Sadayana untuk mereka. Ketika melihat Citrabala hadir disitu, Wiku Sadayana bertanya : "Bagaimana keadaanmu sekarang Citrabala?".
"Oh guru, sekarang sudah jauh lebih ringan, hanya masih terasa sedikit sakit pada bagian yang tergigit dan seluruh badanku masih terasa lemah", jawab Citrabala.
"Ya, mudah-mudahan segera pulih, untung badanmu sekuat kerbau sehingga bisa pulih dengan cepat. Kalau engkau Citramatra, mungkin terpaksa berbaring sepasaran (lima hari) baru bisa pulih".
Citramatra yang berbadan kecil itu menukas sambil tertawa : "Wah guru, kalau aku, mungkin aku tidak akan pernah bangkit lagi".
Pernyataan ini langsung disambut derai tawa dari para cantrik yang lain.
Setelah derai tawa mereda, Wiku Sadayana berkata : "Cantrik-cantrikku, ada racun yang lebih berbahaya dari racun ular yang paling berbisa sekalipun".
"Apakah itu racun warangan yang biasa dibubuhkan pada keris, Guru?" tanya salah seorang cantrik.
"Kudengar penduduk daerah yang masih liar di pulau seberang menggunakan racun dari mayat yang dibubuhkan pada senjata mereka dan racun ini tidak bisa ditawarkan, apakah racun ini Guru?" tanya cantrik yang lain.
"Mungkin itu racun yang terdapat pada ekor ikan pari yang bisa membunuh orang dalam sekejap, Guru?".
Wiku Sadayana menjawab :
"Bukan, racun ini tidak berwujud. Kadang-kadang membunuh orang dengan segera. Tetapi yang paling berbahaya adalah karena dapat menyebar dan bertahan berpuluh-puluh tahun dan masih memakan korban manusia yang sangat banyak".
"Racun apakah itu Guru?" tanya Citrabala dengan suara lemah.
Setelah meneguk minuman wedang jahe yang hangat, Wiku Sadayana menjawab: "Racun itu adalah Kebencian".
Suasana Sanggar Pamujan menjadi hening, semua cantrik yang hadir memasang telinga lebar lebar, berusaha menyimak penjelasan lanjutan dari Guru yang mereka cintai.
"Kebencian dapat mengakibatkan seseorang mengambil parang atau clurit dan membunuh orang yang dibencinya. Kita tentu sering mendengar permusuhan yang sudah terjadi turun temurun antara satu desa dengan desa yang lain; antara satu perguruan dengan perguruan yang lain; antara pengikut keyakinan yang satu dengan pengikut keyakinan yang lain; dan jika ada satu saja penyebab yang memercikkan api amarah di antara pihak yang saling membenci, maka perkelahian, pembunuhan bahkan peperangan yang memakan banyak korban dapat terjadi."
Lanjut Wiku Sadayana : "Oleh karena itu dapat kukatakan bahwa kebencian adalah racun yang paling berbahaya. Yang dibenci, dapat menjadi korban sasaran amarah tanpa tahu apa penyebabnya. Sedangkan yang membenci juga menjadi korban karena batinnya tidak pernah damai, selalu dipenuhi oleh amarah, cemas, khawatir, selalu berpikiran jahat untuk mencelakakan yang dibenci. Jika perasaan benci ini ditularkan kepada anak, kerabat, para cantrik atau para pengikutnya maka kebencian menjalar kemana-mana dan mereka semua menjadi kehilangan akal sehatnya, kehilangan sifat welas asihnya ketika berpikir mengenai kelompok atau orang yang dibenci. Jika bertemu dengan orang atau kelompok yang dibenci, mereka selalu merasa khawatir, cemas, serta tidak jarang menyiapkan parang untuk menghindari didahului oleh orang yang dianggap lawan; karena itu, mereka tidak pernah hidup dengan batin yang damai."
Sunyi senyap di Sanggar Pamujan ketika para cantrik meresapi kata-kata dari Wiku Sadayana, sampai akhirnya Citrabala berkata : "Benar Guru, aku yang dipatuk ular, menjadi korban dan mungkin aku sendiri bisa tewas. Tetapi aku tidak menularkan racun ular ini kepada orang lain. Sedangkan jika aku mendendam kepada ular itu, aku dapat menularkan kebencian terhadap ular kepada teman-teman yang lain. Demikian pula bila misalnya aku membenci penduduk desa sebelah yang sering mengejek kita, kebencian ini pun bisa menjalar kepada teman-temanku disini. Kebencian adalah racun yang paling berbahaya."
"Bagus, bagus sekali pengertianmu Citrabala. Mudah-mudahan batin kita semua bebas dari kebencian. lebih baik jika kita selalu mengharapkan agar semua mahluk yang ada di sekeliling kita, mereka semua bebas dari kebencian, bebas dari amarah dan selalu dapat mempertahankan kebahagiaan mereka masing-masing."
"Sekarang sudah larut malam. Mari kita semua mengakhiri perbincangan ini dan kembali ke pondok masing-masing untuk beristirahat".
Dhyanaloka, Desember 2009