Ditulis oleh Tatang Gowarman
Dikisahkan Kerajaan Majapahit gonjang-ganjing dilanda berbagai masalah. Dari nilai kepeng yang jatuh, munculnya kabar angin yang menyatakan bahwa akan terjadi kelaparan yang hebat di seluruh kerajaan, mengakibatkan banyak anggota masyarakat yang panik. Mereka berebut-rebut membeli bahan pangan. Bagi yang miskin atau kehilangan pekerjaan, mereka pun seperti hilang akal, apalagi jika anak anak mereka sudah menangis meminta makan. Banyak orang baik-baik menjadi pelanggar sila.
Kejadian ini diperburuk lagi dengan timbulnya kerusuhan di mana-mana. Bahkan ada perkampungan yang dirampok, dijarah , dibakar, kaum wanita diperkosa, disiksa, dibunuh dan berbagai tindakan yang sudah diluar batas kemanusiaan.
Semua kejadian ini membuat para wiku prihatin. Mereka merasa sedih atas penderitaan masyarakat yang menjadi korban. Mereka juga sedih kepada para pelaku yang tidak mengerti bahwa walaupun para pelaku itu bisa lolos dari hukum negara, namun hukum karma terus berjalan.
Kerusuhan yang terjadi, membuat anggota masyarakat khawatir.
Merekapun bersiap-siap mempertahankan diri, bersama-sama dengan warga sedesa beramai-ramai melakukan penjagaan ketat.
Namun sebagai Umat Buddha yang saleh, banyak diantara mereka yang ragu-ragu karena persiapan yang dilakukan sudah merupakan persiapan tempur. Berbagai tombak, parang , panah, pisau, keris dan pedang diasah dan disiapkan. Bila terjadi lagi kerusuhan akan mengakibatkan banjir darah bahkan nyawa melayang. Sedangkan selama ini kehidupan mereka selalu damai dan penuh welas asih. Sungguh bertentangan antara ajaran dari Sang Buddha dengan kelakuan mereka mempersiapkan diri.
Timbul berbagai perdebatan di antara mereka.
Ada yang menyatakan bahwa harus tetap memegang Sila. Tindakan yang dapat menyebabkan pembunuhan harus dihindari. Yang lain menentang, karena walaupun sudah menyerahkan seluruh hartanya, ada yang tetap dianiaya dan dibunuh, sehingga tidak ada gunanya memegang Sila erat-erat toh celaka juga.
Yang lain menyarankan untuk melarikan diri, pindah ke daerah lain agar tidak perlu melanggar Sila. Dan masih banyak lagi berbagai usulan yang saling bertentangan. Tidak ada kata sepakat di antara mereka, semua berpegang pada pendirian sendiri-sendiri.
Akhirnya mereka memutuskan untuk bertanya kepada para wiku yang dianggap ahli dalam hal Dharma. Namun para wiku itupun tidak sepakat, ada yang ingin tetap mempertahankan Sila dan penuh welas asih, ada yang ingin bertempur saja, dan para umat makin bingung jadinya.
Ada seorang di antara mereka yang kritis, yang mengajukan usul agar bertanya kepada Wiku Sadayana. Walaupun jawaban beliau kadang-kadang seperti bertentangan dengan ajaran Sang Buddha, namun sangat bermanfaat karena banyak yang bisa diterapkan oleh umat biasa.
Kali ini rombongan itu dipimpin oleh Viriyabala, seorang pemuda yang cerdas dan berani. Viriyabala bertanya :
"O, Bhante, kami sedang dalam kebingungan, mohon Bhante memberi petunjuk.
Selama ini para wiku membabarkan ajaran yang penuh welas asih kepada semua mahluk hidup; namun sekarang ini, kehidupan kami bisa terancam oleh serangan para perampok, bila kami membela diri dan bertempur dengan mereka, besar kemungkinan kami akan membunuh atau terbunuh. Jika membunuh kami akan melanggar Sila, sedangkan jika diam saja, kami bisa terbunuh termasuk anak dan istri kami, apa yang harus kami lakukan?"
Wiku Sadayana menjawab: "Kewajiban umat dan kewajiban wiku, sangat berbeda. Umat awam harus berani membela kehidupan mereka sendiri, dan membela kehidupan orang-orang yang mencintai dan dicintai mereka. Memang benar bahwa membunuh adalah suatu pelanggaran Sila yang berat, dan menimbulkan akibat karma buruk. Namun hal itu perlu dilihat untuk apa pembunuhan itu terjadi dan mengapa sampai terjadi. Bahkan jika seandainya anda berdiam diri saja, sehingga orang yang dapat anda lindungi terbunuh mungkin bersama anda juga, maka keputusan anda berdiam diripun juga menyebabkan terjadinya pembunuhan, dan inipun menimbulkan karma yang buruk yang berat, karena anda tidak bertanggungjawab sehingga terjadi pembunuhan pada diri anda sendiri dan orang lain"
Viriyabala berkata : "Jadi menurut Bhante, kami boleh bertempur untuk mempertahankan diri kami, dan jika sampai membunuh masih lebih ringan karma buruknya daripada pasrah saja?"
Wiku Sadayana menjawab :
"Viriyabala, bagus sekali pertanyaanmu ini.
Tetapi sebaiknya janganlah anda katakan 'menurut Bhante'. Sebaliknya mari kita bicarakan sejenak mengenai faktor-faktor yang menimbulkan karma.
Ada 4 faktor yang menimbulkan karma yang pertama adalah cetana atau niat, yang kedua adalah adanya pelaku, yang ketiga adalah adanya obyek dan yang ke empat adanya kondisi atau situasi yang masak. Jika niat anda adalah menghalangi terjadinya pembunuhan/penganiayaan tentunya tindakan anda untuk bertempur untuk mempertahankan diri adalah baik. Jika sampai tanpa sengaja anda membunuh, namanya juga tidak sengaja, artinya tidak ada niat untuk membunuh walaupun yang ada adalah niat untuk melumpuhkan atau menjatuhkan si penyerang juga tetap melahirkan karma. Dan juga jika anda bersiap diri untuk bertempur, apalagi bersama teman anda, ada kemungkinan besar kondisi untuk terjadinya pembunuhan dan penganiayaan tidak terbentuk, sehingga pertempuran bisa tidak terjadi. Sebaliknya jika anda mendiamkan saja walaupun anda tahu akan terjadi penganiayaan dan pembunuhan, tetap akan ada karma buruk, karena niat mendiamkan tersebut melahirkan kondisi terjadinya penganiayaan dan pembunuhan."
Setelah berdiam sejenak , Viriyabala berkata: "Bhante untuk meyakinkan kami, bila terjadi di wihara ini misalnya ada serombongan wanita dan anak-anak mengungsi ke vihara, lalu para perampok yang mengejar mereka tidak mau melepaskan mereka, dan tetap menuntut untuk mendapatkan wanita dan anak-anak tersebut, apa yang akan Bhante lakukan?"
Wiku Sadayana tersenyum lebar dan berkata : "Viriyabala, engkau sungguh cerdik, dengan pertanyaanmu ini, jelaslah aku harus mengambil keputusan.
Baiklah, jika hal itu terjadi, yang pertama aku lakukan adalah mencoba berbicara dan menjelaskan kepada kawanan perampok tersebut agar tidak melakukan hal-hal yang menimbulkan karma buruk pada mereka sendiri.
Namun bila upaya ini tidak berhasil karena mereka diliputi oleh angkara murka, maka aku akan melepaskan jubahku, dan menjadi umat biasa agar tidak melanggar Sila yang luhur yang dibabarkan oleh Hyang Buddha, dan aku akan mengambil tongkat pemukul ataupun parang, untuk mempertahankan keselamatan wanita dan anak-anak tersebut."
Dhyanaloka 25 Juli 1998