Jumat, 11 Desember 2009

SUN CITY

Salam jumpa!
Mudah-mudahan rekan-rekan tidak bosan dengan catatan perjalanan saya. Kalau bosan ya engga usah dibaca deh.

Kali ini catatan saya dari perjalanan ke Afrika Selatan dan Mauritius.
Hanya sedikit, tidak seperti biasanya, karena selain waktunya lebih banyak saya curahkan untuk mengurus pekerjaan, juga karena perjalanan sangat melelahkan sehingga saya biasanya langsung tertidur begitu tiba di hotel.

Catatan yang saya tuliskan di sini tidak secara kronologis, karena toh merupakan flash-back dari apa yang muncul begitu saja.

Baiklah. Salah satu hal yang "wajib" bagi wisatawan di negara Nelson Mandela ini adalah kunjungan ke "Sun-City", sebuah kota dunia khayal yang terletak sekitar satu jam bermobil dari Johannesburg. Begitu masuk ke gerbang, kita diingatkan bahwa di wilayah kota ini berlaku "Sun-Buck", yaitu kepingan plastik senilai 15 rand (rand adalah satuan mata uang Afsel. Satu dollar Amrik setara dengan kurang lebih 7 rand, waktu itu).

Pengunjung membayar 40 rand untuk karcis masuk, dan otomatis menerima 2 keping sun-buck yang bisa Anda gunakan untuk belanja, atau berjudi!

Ya, Sun-City memang tempat judi maha luas. Aneka jenis judi bisa Anda temukan di sini. Mulai dari mesin-mesin jackpot dan sejenisnya yang bertebaran, sampai permainan Kim Bingo (ingat jaman Jakarta Fair di Gambir dulu), bahkan Casino ala Monaco. Roulette, baccarat, sebutlah apa saja, saya tidak tahu namanya tapi pasti ada di Sun-City ini, sehingga mungkin lebih tepat disebut "Sin-City", ya?

Pengunjung biasa mesti turun di pelataran parkir, lalu naik kereta api gratis menuju lokasi yang diinginkan. Para tamu hotel serta tamu penting (artinya yang punya banyak uang untuk dijudikan), bisa masuk langsung lewat gerbang khusus. Saya sendiri karena ikut taksi dari perusahaan tour, boleh masuk sampai Pusat Informasi. Sopir taksi menurunkan kami di sana dan berjanji akan menjemput sore nanti. Tak lupa ia berpesan, bahwa di sini segala sesuatu yang kita pegang bisa berubah menjadi "emas", tentunya kalau nasib kita baik. Kalau tidak, ya jadi emas juga, tapi buat bandarnya!!

Dari Pusat Info ada bis yang bisa mengantar kita keliling. Mulai dari Hotel Cabana yang paling murah, sampai Hotel Cascade yang dimiliki oleh Michael Jackson yang katanya dulu sering juga datang mengunjungi miliknya ini. Lalu Sun-City Hotel yang isinya judi melulu, terus ke hotel termahal di dunia, yaitu Palace of the Lost City. Semuanya indah-indah belaka dipandang mata.

Ada juga kolam renang raksasa yang menyerupai pantai lengkap dengan ombak buatan, serta papan luncur yang mirip air terjun. Sebuah jembatan menampilkan patung-patung gajah, kera raksasa, singa dan binatang rimba lainnya. Pada waktu-waktu tertentu daerah itu bergetar, mengeluarkan asap dari dry-ice dan terdengar suara menggelegar seakan-akan gempa bumi dan gunung mau meletus. Pada malam hari katanya ditambah dengan sinar laser sehingga tambah mengesankan sambaran petir!

Aneh. Buat saya dalam tempo yang tidak terlalu lama segenap kekaguman akan keindahan yang begitu wah itu tiba-tiba berganti dengan rasa muak karena rasanya jenuh. Sungguh terasa begitu palsu, artifisial. Semuanya semu, segalanya bentukan tanpa sedikitpun menyiratkan sesuatu yang alami.

Kemegahan buatan manusia itu tidak terasa menghibur, tapi menyakitkan.

Segera saya cari kedai makanan karena hari sudah semakin siang (untung ada pizza vegetarian!). Saya habiskan Sun-Buck buat makan dan minum. Daripada....

Saya segera menelepon sopir supaya langsung menjemput, tidak usah menunggu sore. Ia heran kok saya bisa begitu cepat selesai (mungkin ia mengira paling-paling saya kalah taruhan dan duit saya sudah habis).

Di perjalanan pulang ke Johannesburg saya malah lebih menikmati pemandangan alam. Satu-dua peternakan burung unta kami lalui. Juga karena hari itu libur maka ada beberapa pasar barang kerajinan yang digelar penduduk di sepanjang tepian jalan raya. Menjelang kemacetan di sebuah jembatan, saya sempatkan membeli sekotak strawberry yang menggiurkan. Harganya 5 rand, rasanya segar dan enak. Tapi yang besar hanya bagian atasnya saja, di bawahnya diisi dengan buah yang kecil-kecil. Sama aja kayak di Indo, ya?

Tahukah Anda apa yang diucapkan pedagang starwberry asongan itu? Ia berkata : "Thank you, Buddha! Shab, Buddha!"
Sopir taksi pun langsung menyambar : "Shab, Buddha! Thank you!"

Saya bingung, dan sopir taksi lalu menjelaskan bahwa itulah ucapan yang populer di Afrika Selatan. Bahkan sesama teman yang bertemu di jalan akan saling menyapa : "Hai, Buddha!"
Saya lebih bingung lagi karena sopir taksi itu malah bertanya pada saya, sebenarnya siapakah Buddha itu? Saya coba jelaskan sebaik mungkin, dan ia manggut-manggut tapi entahlah apakah ia mengerti atau tidak.

Saya masih menduga-duga bagaimana istilah Buddha bisa menjadi begitu populer tanpa orang mengerti siapa maksudnya. Karena tetap merasa gelap, saya simpulkan sederhana saja : Barangkali mereka nonton film kungfu Shaolin, dan Amitabha diterjemahkan di text film itu sebagai "Thank you, Buddha!". Barangkali ... ..?

(masih bersambung. Tunggu : "Kejutan Kedua")