Selasa, 22 Desember 2009

Wiku Sadayana ~ Yang Cerdas Lebih Beruntung?

Ditulis oleh Tatang Gowarman


Musim penghujan baru saja usai. Seluas mata memandang seluruh lembah di bawah bukit tempat Padepokan Wiku Sadayana berada diselimuti oleh warna hijau segar dari kuncup daun yang baru tumbuh diselang seling oleh warna warni bunga yang bermekaran.

Pada saat itu terdengar suara Wiku Sadayana yang berkata dengan nada lembut: "Sunyaprajna, yang harus dicabut adalah rumput-rumput dan tanaman liar yang seperti ini , dan ini, kalau yang itu, jangan, itu bisa tumbuh menjadi tanaman bunga yang indah, mengerti?"
Tampak Wiku Sadayana sedang berjongkok menemani Sunyaprajna mencabut rumput dan tanaman liar yang tumbuh sangat cepat di akhir musim penghujan.

"Eh, yang itu jangan dicabut. Itu adalah pohon pepaya yang masih kecil, nanti bisa besar dan berbuah. Engkau suka pepaya Sunyaprajna?"

"Aku suka pepaya, Eyang guru," kata Sunyaprajna. "Ini juga anak pohon pepaya ya Eyang? Tidak boleh dicabut."

Citramatra yang berada agak jauh dari situ mendengarkan pembicaraan Wiku Sadayana dengan Sunyaprajna, menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sunyaprajna sudah lebih dari setahun tinggal di padepokan. Meskipun sudah berusia 17 tahun dan berbadan kekar, cara berpikir Suryaprajna masih seperti anak umur 7 tahun, akibat sakit panas yang dideritanya pada waktu masih bayi. Sedangkan ibu dari Sunyaprajna telah meninggal dunia ketika dia berusia 12 tahun. Oleh ayahnya yang masih keponakan dari Wiku Sadayana, Sunyaprajna dititipkan di Padepokan, karena dia sering bertugas keluar kota, sehingga tidak ada yang memperhatikan Sunyaprajna.

Yang bisa dilakukan oleh Sunyaprajna tidak lebih dari mengambil air di sumur dan memasukkannya ke dalam tempayan besar di tiap kamar mandi. Memotong kayu bakar dan membantu mencabut rumput. Itu pun kalau tidak ditemani, tanaman lain yang berguna ikut tercabut. Dia belum bisa membedakan mana yang tanaman liar dan mana yang berguna walaupun sudah setahun diajarkan oleh cantrik, sampai mereka bosan dan malas mengajar Sunyaprajna yang bebal. Apalagi untuk menghafal tembang mantra suci, belum ada satupun yang bisa dihafal dengan sempurna. Watak yang baik dari Sunyaprajna adalah jarang rewel atau menimbulkan keributan. Mudah puas, selalu senyum, dan tetap tertawa kalau ditegur oleh cantrik yang lain. Selain itu jika sedang bekerja, tidak memperhatikan hal hal lain, asyik dengan pekerjaannya sendiri.

Seperti biasa penguncaran tembang mantra suci dilakukan di Sanggar Pamujan. Malam itu Sunyaprajna juga hadir, walaupun hanya bisa mendengarkan tanpa bisa membacakan tembang mantra apapun. Dia duduk dengan tenang di sudut belakang yang jauh dari tempat duduk Wiku Sadayana.

Setelah usai pembacaan tembang mantra, Wiku Sadayana menjawab pertanyaan pertanyaan para cantrik yang membutuhkan petunjuk untuk kemajuan olah batin masing masing. Dan akhirnya Citramatra bertanya: "Guru, jika ada seseorang yang dilahirkan dengan tidak beruntung, karena sejak kecil menderita penyakit yang mengakibatkan dia tidak bisa berpikir dengan baik seperti manusia yang lain, apakah dia bisa mencapai kemajuan batin, Guru?"

Dengan tersenyum Wiku Sadayana menatap Citramatra, lalu berkata:
"Citramatra, pertanyaanmu ini mungkin bertautan dengan keadaan Sunyaprajna?"

"Betul, Guru."

Wiku Sadayana melayangkan pandangan matanya ke sudut, ke tempat duduk Sunyaprajna yang masih duduk dengan tenang. Dan dengan lembut berkata:
"Sunyaprajna, mari kesini, duduk di sebelah Eyang Guru."

Setelah mengangguk, Sunyaprajna bangkit dan menuju ke depan dan duduk di samping Wiku Sadayana.

"Muridku, kalian semua tahu pikiran Sunyaprajna sangat sederhana. Mantra yang lebih dari satu kalimat, tidak mampu dihafalnya. Dalam bekerjapun hanya pekerjaan yang tidak rumit yang bisa dilakukan dengan baik, itupun terbatas mengisi air di tempat mandi, dan memotong kayu bakar. Mencabut rumput masih perlu ditemani, salah salah benih jagung yang baru tumbuh dicabutnya pula. Tapi hari ini Sunyaprajna bisa membedakan mana yang pohon pepaya dan mana rumput yang harus dicabut, bukan begitu Sunyaprajna?"

"Bisa Eyang guru, pohon pepaya daunnya bercabang, kalau rumput tidak bercabang," sahut Sunyaprajna dengan bangga.

"Bagus Sunyaprajna, engkau sudah makin pandai," puji Wiku Sadayana sambil mengelus kepala Sunyaprajna, yang dibalas dengan senyum bangga oleh Sunyaprajna.

"Citramatra, engkau dilahirkan dengan memiliki kecerdasan yang melebihi orang orang lain. Suatu tembang mantra yang rumit, dengan mudah engkau hafalkan. Kemampuanmu membaca dan mengerti lontar yang berisi Darma Suci yang dibabarkan dari Hyang Guru Buddha tidak diragukan lagi. Itulah kelebihanmu Citramatra," kata Wiku Sadayana sambil mengurut jenggotnya yang panjang.

"Tetapi engkau sering mengungkapkan betapa sulitnya untuk bersamadhi, pikiranmu bagaikan kuda liar yang melonjak-lonjak, berkelana kian kemari, sehingga untuk mencapai ketenangan , sulitnya luar biasa," lanjut Wiku Sadayana sambil menatap Citramatra.

Dengan menangkupkan telapak tangan di dahi, Citramatra menjawab: "Betul guru, pikiranku terus bermunculan, disertai berbagai keinginan. Ada yang baik ada yang jahat, sangat sukar untuk dikendalikan, kadang kadang sampai menjelang pagi, aku tidak dapat membuat pikiranku menjadi tenang."

Sambil matanya berkeliling menatap para cantrik, Wiku Sadayana bertanya: "Coba murid-muridku ingat ingat, selama ini apakah Sunyaprajna pernah berkelakuan yang didasari oleh keinginan yang jahat, menyiksa hewan kecil seperti burung, ikan, atau semut misalnya? Salah memotong kayu, salah mencabut pohon yang dilakukan, bukan didasari oleh keinginan jahat, tetapi karena dia tidak mampu membedakan."

"Betul Guru, selama ini Sunyaprajna berkelakuan baik, tenang, selalu senyum walaupun ditegur karena salah mencabut anak pohon pepaya atau anak pohon singkong, dan mudah kumintai tolong," kata Citrabala, yang disusul oleh anggukan kepala cantrik yang lain.

"Pikiran Sunyaprajna sederhana, dan tidak memiliki banyak keinginan. Karena bentuk pikiran yang disertai keinginan tidak bermunculan, maka dia mudah menjadi tenang. Paling-paling pada waktu lapar, dia menjadi gelisah, tapi itupun dialami oleh setiap orang, termasuk engkau Citrabala," tutur Wiku Sadayana sambil tersenyum.

"Sebaliknya sangat sulit bagi orang yang cerdas untuk menenangkan pikirannya. Menyadari ini, pikiran yang buruk jangan dikembangkan. Pikiran yang baik perlu dikembangkan. Selain itu begitu banyak kecemasan yang bermunculan dalam diri orang yang cerdas. Dia harus terus menerus bergulat sampai suatu ketika semuanya menjadi reda. Bukankah ini suatu penderitaan? Apakah ini bisa disebut suatu keberuntungan?

"Tetapi bagi orang seperti Sunyaprajna, berbagai bentuk pikiran yang rumit, tidak ada. Karena pikirannya kosong, kebutuhannya pun mudah dipuaskan. Jika dia bekerja, seluruh perhatiannya tercerap pada pekerjaannya. Maka dia selalu tenang, gembira, dan banyak tersenyum. Bukankah ini keberuntungan?

"Mungkin pada kelahiran saat ini, Sunyaprajna tidak mampu mencapai kemajuan batin. Karena itu bisa kita katakan, dia tidak beruntung. Tetapi dengan mengajarkan dia untuk selalu tenang, bersikap welas asih terhadap semua mahluk hidup; mungkin saja dalam kelahirannya yang akan datang dia akan mendapat kemajuan batin yang pesat. Kita semua sudah ribuan, mungkin ratusan ribu kali bertumimbal lahir, bila ada satu masa kehidupan,- karena karma masa lampau-, dilahirkan dalam kondisi tidak mampu berpikir dengan jernih, sehingga kita tidak bisa mendapatkan kemajuan batin, tetapi apalah artinya satu kehidupan itu jika dibandingkan dengan ratusan ribu kali tumimbal lahir? Anggap saja jeda dalam satu masa kehidupan, toh pada masa kehidupan itu karena ketidak mampuan kita untuk berpikir, atau kebodohan kita, kita tidak menyadari sama sekali, seperti keadaan Sunyaprajna saat ini," ujar Wiku Sadayana.

Setelah menyeruput wedang jahe yang disediakan salah satu cantrik, Wiku Sadayana melanjutkan : "Tetapi sebaliknya jika dalam kehidupan ini, kita mampu berpikir dengan baik, mengerti untuk berperilaku welas asih, -terutama pada yang dilahirkan dengan kemampuan terbatas seperti Sunyaprajna-, dan kita berkesempatan untuk berlatih samadhi; lalu kita mensia-siakan bekal kemampuan yang ada ini untuk mendapat kemajuan batin, itu sama artinya mensia-siakan buah karma baik pada saat kehidupan sekarang; bukankah hal ini merupakan suatu kebodohan yang luar biasa?"
Sunyi senyap dalam Sanggar Pamujan ketika para cantrik mencerna ucapan Wiku Sadayana.

"Bagaimana Citramatra? Engkau lebih beruntung atau Sunyaprajna? Engkau yang karena cerdas adalah orang yang beruntung, atau sebaliknya karena mensia-siakan peluang untuk kemajuan batin, sebenarnya engkau bodoh luar biasa, dengan demikan berarti engkau yang cerdas adalah yang kurang beruntung?" tanya Wiku Sadayana melanjutkan sambil tersenyum.

"Aku pikir, akulah yang bodoh luar biasa dan karena itu kurang beruntung, Guru," jawab Citramatra sambil tertawa, disambut derai tawa cantrik yang lain.