Tempat lain yang juga "wajib" di negeri Afsel tentunya adalah Tanjung Pengharapan atau "Cape of Good Hope". Titik paling selatan dari benua Afrika ini, mulanya dinamakan Tanjung Badai atau Cape of Storm oleh Vasco da Gama, karena saat ia tiba di sana, ia putus asa mencari jalan ke India karena diterjang badai. Untunglah beberapa tahun kemudian dalam percobaan pelayaran berikutnya ia bisa mengitari tanjung ini, sehingga dengan penuh pengharapan ia bisa mencapai India melalui laut (waktu itu tentu saja belum ada terusan Suez).
Sesingkat apapun waktu yang saya punya, saya nekatkan pergi ke Tanjung Pengharapan ini pada pagi hari sesaat sebelum saya berangkat ke bandara Cape Town. Dari hotel, begitu selesai sarapan, sopir taxi segera ngebut sebab jaraknya cukup jauh. Sekitar satu setengah jam. Asyik juga saya menikmati pegunungan batu karang di sekitar Cape Town. Ada Puncak Kepala Singa (Lion's Head Peak), ada juga Pegunungan Meja (Table Mountain) yang kadang bila diselimuti awan putih nampak seperti meja yang rapi dengan taplaknya, sampai-sampai penduduk setempat mengatakan Sang Ibu (Cape Town adalah salah satu Ibukota Afsel) sudah siap menjamu tamu-tamunya!
Deretan bukit lainnya antara lain disebut 12 apostles, yaitu 12 murid utama Yesus. Memang agama Kristen cukup terasa pengaruhnya di sini. Namun ketika saya tanyakan kepada penduduk asli, umumnya mereka mengatakan bahwa mereka beragama Sion, dan tidak mempunyai gereja. Mereka melaksanakan kebaktian dengan berkumpul di bawah pohon, menyanyikan puji-pujian sambil bertepuk tangan dan menari sesuai budaya Afrika. Suatu akulturasi yang bagus, pikir saya.
Sejak sebelum berangkat, sampai sepanjang jalan, sopir taxi yang merangkap pramuwisata ini menjelaskan berulang-ulang kepada saya bahwa di Tanjung Pengharapan, kita bisa mengagumi dua samudra sekali gus. Di Timur tentu Samudra Hindia, dan di Barat Samudra Atlantik. Katanya lagi, air Samudra Hindia itu hangat, sedangkan air Samudra Atlantik terasa dingin. Apakah benar begitu saya tidak sempat merasakannya sendiri, sebab Tanjung Pengharapan yang kita singgahi terletak di atas bukit karang dan air laut berada jauh, jauh sekali di bawah kita.
Karena Tanjung Pengharapan adalah titik paling selatan dari benua Afrika, maka jika kita memandang ke Selatan, tidak tampak ada daratan lagi. Sejauh mata memandang, hanya laut lepas yang indah membiru. Pemandangan dari atas sini memang menakjubkan. Ombak seakan memecah dengan gerak-lambat (slow-motion), kemegahan alam tak terkatakan. Samudra Hindia maupun Samudra Atlantik memang terlihat sekali gus. Suatu hal yang tidak bisa kita alami di tempat lain.
Bagi saya pribadi muncullah perenungan, bahwa yang disebut Samudra Hindia maupun Samudra Atlantik itu hanya sekedar nama yang diberikan manusia. Pada kenyataannya, kita tidak bisa menarik garis batas secara tegas, tidak ada batas yang memisahkan keduanya. Kita hanya melihat satu samudra maha luas, yang isinya sama dan tak terbatas.
Kehidupan seakan terpisah menjadi kesatuan-kesatuan individu yang terpisah dan bisa diberi nama sendiri-sendiri. Namun pada hakekatnya, kehidupan itu sama, tak ada batasnya. Naiklah ke Tanjung Pengharapan dan kita akan melihat satu samudra. Panjatlah Gunung Cintakasih dan kita akan merasakan kesamaan semua mahluk.
Di Tanjung Pengharapan saya terdiam sejenak, merasakan hilangnya batas-batas.
Merasakan anatta?
(besok - Mauritius)
6 October 2000